bc

Allura

book_age16+
1.0K
FOLLOW
8.1K
READ
love after marriage
age gap
goodgirl
powerful
drama
bxg
like
intro-logo
Blurb

Karena permintaan sang mama, Allura harus terlibat perjodohan bodoh dengan Hezkiel Elang Samudra, lelaki dewasa yang usianya terpaut tujuh tahun dengannya.

Allura yang muda dan berambisi tentu mempermasalahkan kondisi Elang yang jauh dari tipe idealnya. Lelaki dewasa dan mapan itu nyatanya memiliki penampilan yang sangat mengganggu mata Allura, berkacamata tebal dan sangat tidak modis.

Dalam pernikahannya, Allura yang berusaha merubah penampilan Elang menjadi sesuai dengan tipe idealnya, harus dihadapkan pada sisi lain dari sosok nerd suaminya. Tutur katanya yang terkesan cuek namun selalu jujur, pemalu dan kuper namun penuh teka-teki, serta penampilannya yang mengganggu namun membuat Allura tambah dewasa.

Tanpa sadar, Elang sudah menumpas habis segala jajaran 'tipe ideal' menurut Allura. Membuat Allura jatuh sepenuhnya pada pesona tersembunyi yang hanya dimiliki oleh suaminya.

***

Cover by Lanamedia

chap-preview
Free preview
Allura : 1. Perjodohan Bodoh
Ruang dosen Ekonomi tertutup rapat. Senyap. Hanya ada satu tulisan menggantung di depan pintu. Sepertinya sedang ada pembicaraan penting di dalam sana. Membuat waktu pulang kerja sedikit terlambat dari yang dijadwalkan. "Astaga, lama banget," keluh Allura. Tidak hentinya menggerutu sebal sembari menatap pintu kecokelatan itu. Dhia melirik sekilas kemudian berdecak. "Si Nenek ada minta kita tungguin?" "Ya, nggak." "b**o! Ngapain kita ndlosor di sini kalau nggak minta ditunggu? Balik aja ayo." Dhia beranjak. Menepuk rok jeansnya untuk membersihkan debu yang menempel. "Gue perlu ngomong sama Eyang, Dhi. Lo ngerti dong teman lo lagi frustasi begini," ucap Allura seraya menggaruk rambutnya yang dicepol. Membuatnya nampak lebih berantakan. Dhia sempat menghela napas sebelum kembali duduk di sebelah Allura. "Kenapa sih? Lo bisa ngomong sama gue aja. Nggak usah bawa-bawa si Nenek, repot." Allura tahu. Sangat tahu malah. Kalau membawa Kanaya untuk ikut serta dalam pembicaraan adalah hal yang buruk. Perempuan Jawa tulen yang menjadikan kebaya sebagai pakaian favoritnya itu selalu menentang Allura dan Dhia. Tidak pernah sekalipun sependapat. Entah dari segi sikap, ucapan, bahkan sampai pergaulan. Intinya apa yang Allura dan Dhia lakukan adalah sebuah kesalahan di mata yang terhormat Kanjeng Ratu Kahiyang Gayatri atau Kanaya, atau Yaya, atau Nenek, atau Eyang, atau penyebutan nama lainnya yang tidak kalah mentereng. Namun, kondisi saat ini membuat Allura harus merelakan harga diri dan telinganya. Untuk mendengarkan pendapat lain, dari kacamata Kanaya. Yang jauh lebih dewasa, lebih luas, dan luhur. Bukan pendapat dari Dhia atau Adeo yang akan selalu sejalan dengannya. "Dhi, please, ini soal masa depan gue." Dhia menatap tidak percaya. Sejak kapan sahabat karibnya mulai sadar jika akan ada masa yang harus mereka lalui nantinya, bernama masa depan? Sejauh usia pertemanan, Allura tidak pernah membahas mengenai masa depan. Jangankan membahas, menyebut "masa depan" saja tidak. Alasannya, tentu saja karena Allura terlahir dari keluarga berada. Tidak ada plan tersendiri mengenai arah perjalanan hidup. Daripada itu, Allura lebih suka menghabiskan waktunya untuk menghambur-hamburkan uang keluarga atau membuat masalah yang minimal mampu menarik keluar teriakan marah sang mama dari balik ponsel. Di saat kebanyakan anak rantau akan memilih kos murah dengan fasilitas lengkap, Allura justru memilih kos mahal. Itu masih cukup normal. Sebelumnya, Allura berniat menginap di hotel setiap harinya. Setiap kali Dhia menasihati, Allura hanya akan menjawab, "biarin duit nyokap gue abis sekalian. Lo kira hidup gue enak? Wujud gue manusia, Dhi, tapi fungsi gue jadi robotnya nyokap." Dhia memilih tidak melanjutkan pembicaraan. Takut suasana hati Allura akan semakin memburuk. "Kalian nungguin?" Allura mengangguk tak acuh. Akhirnya apa yang ditunggunya sejak tadi muncul juga. Dengan tampilan yang sebenarnya mampu membuat Allura mengumpat. Tapi mengingat keperluannya, ia lebih memilih untuk memijat pelipisnya. Secara otomatis, Allura dan Dhia berdiri di samping kanan-kiri Kanaya. Mengikuti langkah pelan nan gemulai khas Kanaya. Perempuan itu mengenakan dress batik sebatas lutut dengan tali pinggang yang mempercantik tampilan, rambut diikat rapi separuh, menyisakan beberapa helaian bergelombang menggantung di punggung. Sebelah tangan menenteng tas. Pandangannya lurus ke depan, dengan bibir yang senantiasa tersenyum. Sementara itu, Dhia di sebelah kiri mengenakan kaus dongker lengan pendek yang dipadukan dengan rok jeans sebatas lutut. Dan Allura di sebelah kanan mengenakan sweater biru laut dengan bawahan celana jeans panjang yang sobek-sobek di bagian lutut. Belum lagi rambutnya dicepol asal ke atas. Bukankah kondisi saat ini sudah cukup membuktikan posisi ketiganya, Kanaya si putri keraton dengan dua dayangnya? "Seriusan ya, Dhi, gue males banget tiap si Eyang sok jadi turunan darah biru. Matanya itu loh, kayak natap kita sebagai rakyat jelata yang kurang asupan." Gerutuan Allura tempo hari. Sepulangnya dari hangout bersama Dhia dan Kanaya. "Lo tahu sendiri, Lura, teman lo yang satu itu tajir melintir tujuh turunan. Tahu gitu, ngapain juga lo ajak? Di tempat karaoke mana ada lagu keroncong. Pusing kali dia." Allura tertawa puas. Mengingat dengan begitu jelas wajah keberatan Kanaya saat Dhia tidak hentinya memperdengarkan lagu k-pop. Perempuan langka itu sampai mengeluarkan minyak kayu putih dan memijat pelipisnya. "Sekali-kali, Dhi. Kapan lagi coba ngerjain itu cewek langka?" Begitu memang Allura dan Dhia. Kalau di depan Kanaya akan senyum manis dengan tutur kata halus. Tapi saat di belakang, akan ada banyak cercaan dan u*****n yang keluar. Tapi bagaimanapun, persahabatan ketiganya terjalin dengan begitu baik. Setidaknya untuk dua tahunan ini. *** "Jadi ada apa?" tanya Kanaya setelah membersihkan mulutnya dengan tisu. Ketiganya sudah berada di salah satu tempat makan khas daerah Yogyakarta. Kanaya ingin makan gudeg. Membuat dua sisanya mengiyakan. Karena petuah Kanaya wajib hukumnya untuk dituruti. "Allura tuh, katanya mau ngomong penting," ucap Dhia di sela kunyahannya. Kanaya langsung melotot seraya geleng kepala. Membuat Dhia hanya bisa tertawa garing. "Yang sopan dong, Dhia. Kamu itu perempuan. Makan dulu, dikunyah 33 kali sampai halus, ditelan, baru bicara." Dhia mencebik tidak terima, bergumam lirih, "nyebelin banget nih cewek. Gue karungin juga lo, bawa museum biar awet. Makhluk langka masih berkeliaran sembarangan!" "Gue dijodohin," ucap Allura. "Apa?" Dhia berteriak. Sampai Kanaya terlonjak kaget. "Dhi, apa-apaan sih kamu? Kita di tempat makan, bukan di hutan," protes Kanaya, lagi. Dhia berdecak sebal. Begini memang kalau membawa Kanaya dalam pembicaraan. Tidak ada selesainya. Setiap selesai satu kalimat, akan ada kalimat panjang untuk menanggapi. "Astaga, Ya. Hidup lo jangan lurus-lurus banget bisa kali. Lagian salah gue kaget?" ucapnya kesal. Setelahnya beralih pada Allura yang sejak tadi hanya manggut-manggut setuju dengan kalimat Dhia. "Nyokap lo kira ini zaman apaan, masih eksis dijodohin?" "Nah, iya 'kan, Dhi. Gue juga ada nentang omongan nyokap. Lagian gue masih muda, 20 tahun. Gila kali seumuran gue udah punya suami. Mana calon gue om-om lagi, Dhi. Nggak level banget, sialan." "Ini kelewatan sih, Ra. Gila, amit-amit jangan sampai gue bernasib sama kayak lo. Om-om, umur berapa?" "27 tahun, lihat nih mana bukan tipe gue banget. Lo lihatin gayanya kuno banget, Dhi. Itu kacamata apa kaca jendela tebal banget lensanya?" "Ini mah manusia langka kedua yang pernah gue lihat setelah si Yaya. Dia harusnya hidup di era 70an atau 80an, tapi karena nggak ngikut kawanannya ketinggalan deh. Malah hidup di era sekarang." Kanaya hanya mampu menggelengkan kepalanya seraya menyabarkan diri. Menatap dua sahabatnya yang belum berhenti membicarakan calon suami Allura, sembari sesekali menatap fotonya dari layar ponsel. "Bagus kok, kelihatan mapan dan dewasa." Allura dan Dhia yang sebelumnya ribut sendiri langsung menatap Kanaya tidak percaya. Perempuan itu hanya tersenyum. Menunjuk foto calon suami Allura yang terlihat jelas di layar ponsel. "Yang begini bagus?" Dhia mengangkat ponsel. Menunjukkan pada Kanaya. Siapa tahu Kanaya kurang jelas memperhatikan fotonya. Tapi responnya benar-benar menyebalkan. Kanaya mengangguk beberapa kali dan tersenyum. "Ya, lo tahu, ini tahun berapa? Dan lo bilang manusia model begini bagus. Okey, bagus kalau dia calon lo, lah ini calon Allura, Ya," ucap Dhia menggebu. "Lihat deh, Allura yang begini modelnya, dengan segala deretan tipe ideal harus bersanding sama cowok begini. Ini namanya kelangkaan, Ya," lanjut Dhia. Allura terus mengangguk setuju. Benar memang ini sebuah kelangkaan. Penampilan si calon pilihan Mama yang demikian tidak akan cukup memenuhi kebutuhan Allura yang sudah menaruh harga dan kualitas tinggi untuk calon suaminya. Allura bahkan sudah berkali-kali menolak perjodohan ini pada Mama semalam. Tapi Mama yang keras kepala itu terus menuntut Allura untuk tetap menjalankan perjodohan bodoh itu. Atau paling tidak, temui si calon dan keluarganya terlebih dahulu, baru boleh mengajukan penolakan. Yang Allura yakini tidak akan membuahkan hasil apa-apa. "Mama kamu pasti punya alasan kenapa memilihkan laki-laki ini untuk jadi suami kamu, Lura." Allura mendengus sebal. "Kamu perempuan, jauh dari orang tua. Sudah jelas alasannya supaya kamu nggak salah pergaulan." Allura melirik Dhia seolah mengatakan, "emang selama ini gue salah pergaulan, Dhi?" "Apalagi laki-lakinya dewasa dan mapan. Sudah jelas bisa ngemong. Mama kamu tahu yang terbaik untuk kamu." Yang terbaik, katanya. Allura lagi-lagi mendengus sebal. Jelas sekali alasan Mama bukan untuk kebaikan Allura. Tapi untuk kebaikan bisnisnya. Memang siapa lagi yang bisa Mama andalkan untuk melanjutkan bisnis alat tulisnya yang sedang berkembang pesat, di saat kedua kakak laki-lakinya sudah berada di jalur yang berbeda? Allura jelas menolak keras. Melihat mereknya di hampir setiap buku catatan, loose leaf, sampai binder yang digunakan teman-temannya saja sudah membuatnya muak. Apalagi harus suka rela melanjutkan bisnis sialan yang membuat sang mama sibuk dan mengabaikannya. Sejak kapan pula Mama memikirkan "yang terbaik" untuk Allura? Bukankah sejak dulu hidupnya memang sudah diatur sedemikian rupa oleh Mama? Allura hanya bertugas menjalani, tanpa bisa menentang atau sekadar menyalurkan pendapat. "Tapi, Ya, ini era modern. Emang Mama gue ada mikir anaknya nggak laku apa pakai dijodohin segala?" keluh Allura. "Dhi, gue cantik, 'kan? Nggak ada tanda-tanda bakalan jadi perawan tua?" Dhia hanya tertawa sumbang. Merasa bingung sekaligus kasihan dengan nasib Allura yang tidak terduga. Ya, siapa sangka, Allura yang super menyebalkan harus terperosok dalam satu hubungan bernama perjodohan. Dhia saja yang sudah berteman lama tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan Allura dalam pernikahan nanti. "Sini loh tak ajarin, supaya kamu yakin kalau laki-laki ini memang tepat jadi jodoh kamu." Dhia meringis dalam. Memperhatikan wajah keberatan Allura saat mendengarkan penjelasan Kanaya mengenai bibit, bebet, bobot. Sampai pada segala macam alasan yang masuk akal, menurut Kanaya, untuk menolak perjodohan. "Alasan kamu ini nggak valid, Ra. Kamu menjadikan fisik sebagai penolakan utamanya. Itu nggak boleh. Tuhan aja nggak pernah tuh memandang fisik makhluk, semua yang Tuhan ciptakan, apalagi manusia adalah versi paling sempurna bagi masing-masingnya. Kalau kamu menolak karena sifatnya buruk, nggak berbakti sama orang tua, suka kasar, baru boleh. "Lagi pula ini pilihan mamamu langsung loh, Ra, nggak ada salahnya kamu pikir-pikir dulu. Setahuku, nggak ada orang tua, terutama ibu, yang mau membuat anaknya sengsara. Apa yang beliau pilihkan pasti tujuannya baik." Ringisan Dhia kian lebar. Prihatin dengan nasib Allura yang menyedihkan. Belum lagi respon Kanaya yang terlampau menyebalkan. Seolah mendukung apa yang menjadi keputusan adalah yang terbaik. *** "Lura, lo nggak apa-apa, 'kan?" Suara Dhia terdengar dari balik ponsel. Ini sudah pukul sembilan malam. Allura baru bisa mengembuskan napas lelah setelah menutup pintu kamar kosnya. Pembicaraan sore tadi membawa Allura sampai di rumah orang tua Kanaya. Untuk mendapatkan wejangan macam-macam menurut sesepuh. Sebagai bekal sebelum pernikahan, katanya. Allura tidak habis pikir, bisa-bisanya Kanaya sampai membawanya ke rumah keluarga besarnya itu. Menemui Kanjeng Ibu dan Kanjeng Bapak, sampai Kangmas Rangga yang turut serta memberi nasihat. "Dhi, gue ngantuk banget," keluh Allura. Membaringkan tubuhnya begitu saja, tanpa mengganti dress batik yang dikenakannya. Kanaya sempat membawanya ke pusat perbelanjaan tadi, untuk membeli pakaian. Karena pakaian yang Allura kenakan dianggap tidak layak di mata keluarga besar Kanaya. Belum lagi kakinya harus mengenakan flat shoes yang membuat jari-jarinya memerah. Kaki Allura ini terbiasa mengenakan sepatu converse, bukan beragam sepatu perempuan. "Lo diapain aja tadi?" "Panjang, Dhi. Teman lo begitu banget sih. Nyesel gue ceritain semuanya." "Ya lo lagian. Gue bilang juga 'kan, nggak usah bawa-bawa si Nenek, panjang urusannya." "Dhi, masa gue disuruh datang tiap Sabtu, Minggu buat latihan jadi istri yang baik. Kanjeng Ibu mau mentorin gue coba. Katanya suami itu akan menempati posisi nomor satu sebagai manusia yang harus dihormati, jadi gue kudu latihan biar nggak sembrono sama suami." Tidak perlu menerka-nerka, Allura sudah tahu wajah seperti apa yang sedang Dhia tunjukkan saat ini. "Lanjut besok deh, Dhi. Gue ngantuk banget." "Iya, iya istirahat gih. Miris gue sama nasib lo." ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.1K
bc

My Secret Little Wife

read
97.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook