1 - Hari Kelulusan

1207 Words
Pagi itu SMA Bakti Husada terlihat ramai. Hari ini adalah hari kelulusan, banyak para siswa dan siswi yang sudah menantikan hari ini. Seorang gadis tengah membaca novel yang ia pinjam dari perpustakaan. Wajahnya terlihat berseri-seri, gara-gara terbawa suasana dari alur yang ia baca. "Ah, aku jadi pengen nikah muda!" ucap gadis itu dengan suara yang cukup kencang. Sampai teman-temannya melihat ke arahnya, sambil geleng-geleng kepala. "Astaga, ini anak kebanyakan baca novel. Jadi ga waras gini, nih!" "Apa, sih? Iri? Bilang, bos!" balas gadis itu. "Jani, kamu itu kebanyakan baca novel." Ratna mengingatkan sahabatnya itu, yang sudah kecanduan baca novel romansa. "Apa salahnya baca novel?" "Ya nggak salah, sih. Tapi, kamu juga harus inget, kehidupan kita di dunia ini nggak semanis dengan kehidupan di dalam novel." "Huh!" Anjani Ayuningtyas, gadis cantik yang kecanduan baca novel. Dia tak pernah absen untuk membaca novel, bahkan di saat ujian sekali pun. Gadis itu selalu menyempatkan diri untuk membaca novel, bukan buku pelajaran. Meski demikian, otaknya cukup encer untuk ukuran siswa yang jarang belajar. Setiap tahunnya dia selalu mendapatkan juara umum di sekolahnya. Sifatnya yang ceria, membuatnya mudah bergaul dengan siapa saja. Tak heran, jika hampir semua penghuni sekolahnya kenal dan menyukainya. Meski Anjani berasal dari keluarga yang kurang mampu, tapi tak membuat gadis itu hilang semangat. Dan senyuman selalu menghiasi wajahnya, lalu gelak tawa selalu terdengar dari gadis itu. "Jani, kamu yakin nggak akan lanjut kuliah?" tanya Ratna dengan hati-hati. Karena ia tau, jika perkara melanjutkan jenjang pendidikan sedikit sensitif bagi Anjani. "Yakin, dong," jawab Anjani santai. Meski terasa sakit seperti dicubit, tetapi selalu ia tutupi dengan senyuman. "Nggak akan nyesel?" Anjani diam sejenak, dia menutup novel yang sedang ia baca lalu memasukkannya ke dalam tas. "Kamu juga tau, kan?" "Tapi kan ada beasiswa, Jani!" "Nggak, kalau aku kuliah, nanti siapa yang bakal bantuin bapak kerja? Sedangkan adikku masih pada sekolah. Ibu? Kamu juga pasti tau, ibu udah nggak bisa bantu bapak kerja. Jauh di lubuk hatiku juga, aku pengen kuliah. Pengen banget! Tapi aku ga boleh egois, Na. Aku juga harus bantuin bapak cari uang, buat sekolah adik-adik aku, buat makan kita juga." Ratna tertegun mendengar jawaban sahabatnya itu. Dia tau betul keadaan sahabatnya itu. Untuk sekolah saja dia mengandalkan beasiswa. Dan seragam sekolah pun Anjani dapat dari Ratna, itu pun hanya seragam bekas. "Maaf ya, aku nggak bisa bantu apa-apa." Ratna merasa bersalah. Karena kondisinya pun tak cukup mampu untuk membantu Anjani. "Ah, kamu ngomong apa, sih? Udah ah, jangan kayak gini!" Anjani langsung memasang wajah kesal. Dia paling tidak suka jika melihat Ratna yang merasa bersalah, karena tak bisa membantu dirinya. Obrolan mereka terhenti, saat terdengar pengumuman dari pengeras suara. Dan mengintruksikan kepada seluruh siswa untuk pergi ke lapangan. "Kita ke lapangan aja, yuk!" ajak Anjani sambil menarik lengan Ratna. Mereka berbaris sesuai dengan jurusan kelas mereka masing-masing. Cuaca siang itu cukup terik, matahari sudah hampir di atas kepala. Tetapi tak membuat para siswa mengeluh. Karena sebentar lagi penantian mereka selama ini akan berakhir. Padahal itu bukanlah akhir, melainkan awal untuk semuanya. Awal di mana kita mulai serius menata masa depan kita, akan jadi apa kita nanti. Kepala sekolah memberikan sambutan, dan beberapa nasihat untuk siswa yang sebentar lagi akan lulus, dan berubah status menjadi alumni. Setelah selesai pemberian sambutan, para siswa disuruh untuk kembali ke kelas masing-masing. Dan mereka akan menerima surat kelulusan dari wali kelas mereka. "Aduh, gue deg-degan!" keluh Ratna sambil meletakkan tangannya di atas d**a, merasakan degup jantungnya yang berpacu dengan cepat. "Santai aja kali. Kita bakalan lulus, ko." "Ah, kamu enak udah pasti lulus! Aku, gimana? Otakku aja pas-pasan gini!" "Ya salah siapa kamu nggak pernah belajar?" "Heleh, kayak kamu nya aja suka belajar! Kerjaan baca novel mulu!" cibir Ratna. Mereka pun masuk ke dalam kelas, dan duduk di bangku mereka. Tak lama kemudian, wali kelas mereka Bu Tati datang. "Baik anak-anak, yang namanya dipanggil, langsung maju ke dapan saja, ya. Dan buka amplopnya nanti kita lakukan bersama-sama." "Baik, Bu," seru seluruh siswa. Bu Tati pun mulai memanggil nama-nama anak didiknya satu per satu. Mereka menerima amplop dari Bu Tati sambil tersenyum, menutupi ke-gugupan mereka. "Sudah mendapatkan amplop semua?" tanya Bu Tati memastikan. "Sudah, Bu," jawab seluruh siswa. "Saya, saya belum dapet amplop, Bu." Anjani mengangkat tangannya, karena hanya dia satu-satunya yang belum mendapatkan amplop. Seluruh mata langsung tertuju pada Anjani, sedangkan yang ditatap hanya cengengesan, menutupi kegugupannya. Bagaimana bisa teman-temannya sudah dapat amplop, tetapi dia sendiri belum? "Wah, jangan-jangan kamu ga lulus, An!" kata Aldo sambil diiringi gelak tawa. "Wah, bisa jadi tuh! Tapi, si Anjani kan langganan juara umum, masa iya ga lulus?" sahut Nina merasa tak masuk akal jika Anjani, si juara umum tak lulus. "Ibu ...." Anjani merengek. "Nanti, punya kamu ambil di meja ibu, ya?" "Baik, Bu." Setelah itu Bu Tati menyuruh siswanya untuk membuka amplop itu dengan hati-hati. Dan tak lama kemudian, terdengar sorak-sorai dari mereka. Tak lupa rasa syukur pun mereka panjatkan pada Tuhan. Rona kebahagiaan terlihat jelas di wajah mereka, kecuali Anjani. Gadis itu malah memasang wajah kecut. Tidak mungkin ia ikutan bergembira, di saat dia sendiri tidak yakin apakah dirinya itu lulus atau tidak. "Anjani, setelah ini ikut ibu ke kantor, ya." "Iya, Bu." Setelah itu Bu Tati keluar, dan satu per satu para siswa mulai keluar meninggalkan kelas, dan meninggalkan Anjani yang masih duduk di kursinya. "Kamu gapapa, Jani?" tanya Ratna khawatir. "Aku ... nggak baik-baik aja," lirih gadis itu. "Tenang, kamu bakalan lulus, kok! Percaya, deh!" Ratna menyemangati sahabatnya. "Iya. Ya udah, kamu pulang duluan aja, aku mau ke kantor dulu." Anjani keluar dari kelas dengan lunglai, seolah-olah nyawanya sudah hilang, terbang tertiup angin. Kakinya sudah tiba di depan kantor. Menelan ludahnya dengan susah payah, dan mencoba untuk menenangkan dirinya. Setelah merasa tenang, Anjani mengucapkan salam dan masuk ke dalam kantor dan menghampiri meja Bu Tati. "Bu," panggil Anjani. "Eh, sudah datang? Sini, duduk!" Bu Tati menarik kursi, dan mempersilahkan Anjani untuk duduk. Anjani menurut, ia duduk di kursi yang sudah disediakan oleh Bu Tati. Wajah gadis itu terlihat sangat gusar, dan Bu Tati hanya tersenyum melihatnya. "Kenapa gugup, An? Santai sajalah." "Tapi, saya takut nggak lulus, Bu." Anjani berbicara jujur. "Kamu yang selalu dapat juara umum, takut nggak lulus? Astaga, si Anton yang selalu dapat ranking terakhir saja dia lulus." "Tapi, Bu ...." "Sudah, percaya sama ibu. Kamu lulus, kok." Bu Tati menyerahkan amplop dengan nama Anjani tertera di sana. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Anjani membuka amplop itu. Sambil mulutnya komat-kamit, berharap jika di lulus. Senyuman mengembang di wajahnya, saat melihat jika ternyata dia lulus. Jika sedang tidak di kantor, gadis itu akan jungkir balik saking senangnya. Berhubung ini di kantor, dan banyak guru-guru, dengan berat hati ia urungkan. "Apa kata ibu juga? Kamu pasti lulus." "He-he-he, saya terlalu takut, Bu." Anjani tersenyum. "Sebenarnya ada yang ingin ibu tanyakan, sehingga ibu menyuruh kamu untuk ke sini." Wajah Bu Tati berubah sedikit lebih serius. "I - iya, ada apa ya, Bu?" tanya Anjani gugup. "Kamu beneran nggak mau lanjut kuliah, An?" Pertanyaan yang Bu Tati lontarkan tak membuat Anjani kaget sedikit pun. Karena wali kelasnya itu sudah sering menanyakan hal itu sejak semester dua dimulai. "Saya ...." Anjani menggantungkan ucapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD