2 - Berakhir

1293 Words
Anjani memberikan jeda sebentar, sebelum akhirnya dia menjawab pertanyaan Bu Tati. Dia menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, lalu menghembuskannya pelan. "Saya tidak akan lanjut kuliah, Bu." "Karena faktor ekonomi?" tanya Bu Tati, dan Anjani mengangguk. Dia pun akan dengan senang untuk kuliah, jika ada biayanya, jika orang tuanya mampu, dan jika keadaan orang tuanya mendukung. Ya jika semua itu tidak ada, dengan berat hati dia akan mengubur mimpinya. Dia tak boleh egois, dengan melanjutkan pendidikan sama saja dengan menambah beban keluarganya. "Kan, ada beasiswa, An." Bu Tati menyentuh tangan Anjani. "Nggak, Bu. Kalau saya kuliah, nanti siapa yang bantuin bapak cari nafkah? Adik-adik saya masih pada sekolah, ibu saya kan stroke. Sudah dua tahun ini terbaring di tempat tidur." Anjani menceritakan kembali kondisi keluarganya. Meski sebenarnya Bu Tati sudah tau akan semuanya. "Baiklah, jika seperti itu. Ibu tidak akan memaksa." Bu Tati tersenyum, dan memeluk Anjani yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. ******* Ketika palu diketuk, itu tandanya rumah tangga yang selama ini ia bina harus berakhir. Cukup mengesalkan memang, di saat dia berjuang untuk memenuhi kehidupan istrinya. Wanita itu malah bermain-main dengan pria lain. Reza, menghampiri istrinya. Ah ... ralat, mungkin mantan istri lebih tepat? Ya mantan istri, karena beberapa menit yang lalu hubungan mereka telah usai saat hakim mengetukkan palu. "Semoga kamu bahagia, Maya!" Reza menjabat tangan mantan istrinya. "Iya, kamu juga ya, Mas! Semoga mendapatkan pengganti yang lebih baik dari diriku!" bisik Maya, lalu pergi meninggalkan Reza. Lelaki itu menatap kepergian Maya, dengan gemuruh amarah yang memenuhi rongga dadanya. Bisa-bisanya wanita itu meminta cerai, dan memilih untuk menjadi simpanan orang kaya! Reza meninggalkan tempat yang sudah menjadi saksi, atas berakhirnya hubungan antara dirinya dan Maya. Masuk ke dalam mobil, dan ingatannya membawa pada kejadian beberapa bulan lalu. Saat sifat Maya perlahan-lahan berubah, lalu meminta cerai. Reza tentu terkejut dengan permintaan istrinya. Awalnya dia beranggapan jika ucapan Maya hanyalah sebuah candaan, tidak lebih. Hingga suatu hari dia melihat istrinya tengah bergandengan tangan dengan lelaki lain, lalu masuk ke dalam sebuah hotel. Sesaat itu pula hatinya hancur berkeping-keping, melihat wanita yang ia cintai, wanita yang ia percayai tengah bermesraan dengan lelaki lain. Dengan amarah dan rasa kecewa, Reza bergegas menghampiri Maya dan selingkuhannya, yang tengah menunggu lift. "Maya!" teriak Reza dengan suara yang lantang, sampai menarik perhatian beberapa orang. Maya terkejut saat melihat Reza sudah berdiri tak jauh di hadapannya, dengan tangan yang gemetar dia menggenggam erat tangan Heri, lelaki yang akhir-akhir ini selalu memanjakannya dengan materi yang berlimpah. "Apa?" sahut Maya dengan tidak tau malu. "Kamu! Siapa lelaki itu?" bentak Reza dengan mata yang memerah, akibat emosi yang menggebu-gebu. "Oh, dia? Kenalin, dia Mas Heri." Maya mengenalkan Heri sambil tersenyum bangga. "Oh, jadi dia laki-laki yang membuat kamu minta untuk bercerai, iya?" Reza bertanya dengan suara yang cukup tinggi, sampai orang-orang mulai memperhatikan mereka. Merasa jadi pusat perhatian, Heri berpamitan untuk menunggu Maya di kamar. Dan meminta Maya untuk menyelesaikan masalahnya terlebih dahulu, baru setelah itu menyusulnya ke kamar. Maya menurut, dia membawa Reza ke kafe yang ada di samping hotel. "Kenapa?" Reza mengawali pembicaraan. "Kenapa apanya?" "Kenapa kamu minta cerai? Apa gara-gara lelaki itu?" tebak Reza sambil menahan amarahnya. "Iya, karena dia aku ingin meninggalkan kamu, Mas! Dia bisa memberikan apa yang aku mau! Tas branded, sepatu, jam tangan, dress, anting, kalung, gelang, dll! Dia bisa memberikan apa yang nggak bisa kamu kasih, Mas!" ungkap Maya dengan berapi-api. Sudah cukup dia hidup dengan Reza, lelaki yang selalu melarangnya untuk membeli ini dan itu. Rasa malunya sudah tak bisa ia bendung, saat berkumpul dengan teman-temannya yang memakai barang-barang branded dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sedangkan apa yang dia pakai hanyalah barang-barang murah! "Maya, aku ngelakuin ini semua buat masa depan kita! Aku ga ijinin kamu buat beli tas, baju, sepatu karena apa? Di rumah tas, sepatu, dan baju kamu udah banyak! Bahkan tiga lemari isinya baju kamu semua! Aku ga bisa biarin kamu menghamburkan uang hanya untuk membeli barang-barang yang seperti itu!" Reza memang akhir-akhir ini selalu menolak permintaan Maya, yang sering merengek minta dibelikan tas, sepatu, dress, dll. Dia melarangnya karena memang barang-barang milik Maya sudah terlalu banyak. Saking terlalu banyaknya, sampai-sampai tak semuanya tidak terpakai. "Hah! Kamu ngerti apa tentang kehidupan di kalangan sosialita? Kamu ga ngerasain gimana malunya aku, di saat yang lain pake barang-barang branded, sedangkan aku nggak. Aku malu, Mas! Aku juga malu punya suami kayak kamu! Yang cuma punya restoran kecil!" Perih, hati Reza perih mendengar cacian yang dilontarkan Maya padanya. Padahal dia bekerja mati-matian untuk menghidupi istrinya, bekerja mati-matian untuk bisa memenuhi kebutuhan dan kemauan Maya. Tapi, ini, kah, balasan yang ia dapatkan? Bukankah sangat tidak adil? "Bukannya aku sudah bilang, bergaul lah dengan orang-orang yang sepadan dengan keadaan kita. Jangan terus memandang ke atas, yang ada kita hanya akan merasa kurang." Reza berkata dengan suara lemah. "Halah, basi aku dengernya! Udah, pokonya aku minta cerai, titik!" Setelah mengatakan itu Maya pergi meninggalkan Reza yang masih tertunduk. Hati dan harga laki-laki itu sudah hancur. Benar, mencoba untuk mempertahankan Maya pun percuma. Tak ada gunanya, karena wanita itu sangat keras kepala dan juga di dalam hatinya Maya sudah tak ada namanya lagi. Hingga di sini lah, Reza mengakhiri rumah tangganya dengan Maya, di sebuah pengadilan agama. Reza mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Tujuannya saat ini adalah rumah orang tuanya. Dia ingin menenangkan perasannya, dengan mendengarkan suara ibunya. Reza sadar, jika dia memang bukan berasal dari keluarga yang kaya raya, anak konglomerat, orang tuanya memiliki perusahaan, dan bekerja di dalam gedung pencakar langit. Bukan, Reza bukan anak dari golongan sana. Dia hanyalah anak seorang guru SMA dan SMP. Ibunya seorang guru di sebuah SMA negeri, sedangkan ayahnya guru SMP. Dia memiliki dua adik perempuan, yang satu masih kuliah dan yang satu masih duduk di bangku SMA. Reza sendiri bahkan setelah lulus kuliah langsung merintis usahanya bersama temannya, yaitu membuka restoran di dekat universitas dan perkantoran. Karena tempatnya yang cukup strategis, harganya yang cukup terjangkau, dan rasa yang cukup memanjakan lidah. Membuat Reza dan temannya perlahan-lahan memperluas tempat usaha mereka. Karena setiap istirahat berlangsung, para pelanggannya selalu tak kebagian tempat duduk. Usahanya berjalan dengan lancar. Dari sana restoran itu, dia sudah dapat membeli rumah dan mobil. Tentu saja, dia ingin membeli itu semua harus berhemat. Menahan diri agar tidak membeli barang-barang yang menurutnya kurang bermanfaat. Mobil yang ia kendarai sudah terparkir di depan rumah bercat abu. Rumah sederhana yang menyimpan sejuta kenangan. Dia melangkah menuju teras, lalu mengetuk pintu. Tapi tak ada sahutan, dia baru ingat jika orang tuanya masih berada di sekolah. "Ah, ibu sama ayah pasti masih di sekolah!" Reza duduk di kursi kayu yang ada di depan rumah. Meski ini rumah orang tuanya, dan dia pernah tinggal di sana. Tapi tak membuatnya berani masuk ke dalam. Rasanya tidak sopan dia masuk ke dalam, di saat rumah dalam keadaan kosong. Sekitar tiga jam ia menunggu, akhirnya ibunya datang dengan motor metik nya. "Lho, Aa? Kapan datang? Kenapa duduk di luar?" tanya Tati, ibunya Reza. "Tadi, sekitar tiga jam yang lalu, Bu." Reza menyalami tangan ibunya. "Ya ampun! Kenapa ga masuk aja, A? Itu kuncinya ada di bawah pot, kan!" omel Tati sambil mengambil kunci yang selalu ia simpan di bawah pot yang ada di teras. "Aa ga berani masuk, Bu." Tati menghentikan tangannya yang hendak membuka handle pintu. Wanita itu membalikkan tubuhnya, dan menatap anaknya yang sudah menjulang lebih tinggi darinya. "Aa, ini juga masih rumah Aa. Jangan sungkan, pintu ini selalu terbuka lebar untuk Aa." Tati tersenyum. Reza tersenyum lalu dia memeluk ibunya, wanita yang selalu membuat perasannya lebih baik. Wanita yang selalu menjadi tempat berkeluh kesah nya dari berbagai masalah. "Terimakasih, karena sudah menjadi ibu yang hebat untuk aa."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD