3 - Pandangan pertama?

1411 Words
Tati membuatkan minuman untuk anak sulungnya. Secangkir teh hangat, dan beberapa kue kering disuguhkan untuk Reza. "Diminum, A," kata Tati sambil meletakkan segelas teh hangat dan beberapa toples kue. "Nggak usah repot-repot padahal, Bu." Reza jadi merasa tak enak. "Nggak apa-apa, A. Udah lama kan Aa nggak main ke sini," ujar Tati sambil tersenyum. Wanita itu lalu ikut duduk di sofa, lebih tepatnya ia duduk di seberang Reza. Memandangi wajah tampan anaknya, yang menurun dari ayahnya. Kulitnya memang tidak seputih s**u, tetapi tak mengurangi kadar ketampanan Reza. "Gimana, lancar tadi persidangannya?" tanya Tati dengan suara lembut. "Iya, lancar, Bu." Reza tersenyum kecut, meratapi kisah cintanya yang ia kira akan happy ending, tetapi malah sebaliknya. Sad ending, di mana dia dikhianati dan pernikahannya berakhir di meja hijau. "Jangan sedih terus, A. Masih banyak wanita di luar sana yang lebih baik dari Maya, yang bisa membahagiakan Aa. Percaya sama ibu, kan?" "Iya, aa percaya sama Ibu, kok." Lalu obrolan keduanya berlanjut, mulai dari membahas mengenai perkembangan restoran milik Reza, yang semakin hari semakin berkembang. Lalu Tati pun menceritakan kegiatannya menjadi guru SMA, bagaimana menjadi wali kelas yang baik. "Oh, iya! Di sekolah juga, ada murid yang berprestasi. Tapi sayangnya dia ga bisa lanjut kuliah, gara-gara faktor ekonomi." Tati mulai menceritakan salah satu murid kebanggaannya. "Lho, bukannya sekarang udah ada beasiswa ya, Bu?" "Iya, udah ada memang dan dia juga dapat. Tapi sayangnya nggak dia ambil, karena berbagai hal yang membuatnya harus mengurungkan niatnya." "Ya ampun, kasian banget, Bu. Padahal kalo ada beasiswa, setidaknya sedikit ringan biayanya," ujar Reza sambil menyesap teh hangat buatan Tati. "Ya mau gimana lagi, A? Kalo dia kuliah, nanti siapa yang bakalan bantuin bapaknya cari nafkah? Adik-adiknya masih pada kecil, belum lagi ibunya yang sakit stroke udah dua tahun terbaring di ranjang." Reza merasa iba mendengar cerita salah satu murid ibunya. Dia bersyukur, karena sudah diberikan kesempatan untuk menyicipi manisnya bangku kuliah, lalu kehidupannya yang sekarang pun sudah lebih baik ketimbang dulu. Setidaknya sekarang dia sudah tidak merepotkan orang tuanya, dan sudah bisa memberi pada kedua orang tuanya, meski tidak seberapa. "Terus gimana, Bu? Murid Ibu itu mau kerja aja?" tanya Reza penasaran. "Kayaknya, dia bakalan kerja bantuin bapaknya nyari uang." Reza mengangguk, lalu obrolan mereka terhenti saat adik bungsu Reza datang. "Lho, ada Aa? Tumben ke sini, A?" tanya Della, adik bungsu Reza. "Iya, aa lagi kangen sama ibu," kata Reza sambil memakan kue nastar yang disuguhkan oleh ibunya tadi. "Gimana perceraiannya? Lancar?" tanya Della sambil ikutan mencomot kue nastar. "Hem, seperti yang kamu lihat." "Syukur, deh! Lagian aku dari dulu ga suka sama si Maya. Udah sok cantik, ga bisa masak, ga mau ngerjain pekerjaan rumah. Kerjaan cuma buang-buang duit aja! Ga guna banget, deh!" gerutu Della dengan mata yang berapi-api. Tati buru-buru menarik bibir Della, anak bungsunya itu memang kalo ngomong suka nggak pake rem dan ga pake filter. "Aduh, kamu ini kalo ngomong kasar banget?" omel Tati sambil melepaskan bibir anaknya. "Ih, sakit, Bu! Emang bener, kan? Si Maya itu nggak ada bagus-bagusnya! Muka cakep juga kebantu sama make-up! Cantikan juga aku, lha!" ucap Della sambil mengibaskan rambutnya, menyombongkan diri. Reza hanya terkekeh melihat tingkah adiknya yang satu itu. Della terkesan lebih blak-blakan dan cerewet, ketimbang kakaknya — Maria, yang lebih pendiam dan iri bicara. "Ya udah, kita makan dulu, yuk? Laper ini ibu!" ajak Tati pada dua anaknya. "Ayah nanti gimana, Bu?" tanya Reza khawatir. Karena ayahnya itu belum pulang dari sekolah. "Ayahmu masih lama pulangnya, mau ada kumpulan dulu katanya." Mereka bertiga pun masuk ke ruang makan, di atas meja makan sudah dipenuhi oleh masakan. Tidak biasanya Tati masak banyak makanan seperti ini, dan hampir semuanya makanan kesukaan Reza. "Ah, ini makanan kesukaan A Reza semua!" keluh Della sambil mengambil nasi ke dalam piring, karena dia tak melihat makanan kesukaannya nangkring di atas meja. "Udah, makan aja, Del. Lagian kamu nggak pilih-pilih makanan, kok!" omel Tati. Della hanya memanyunkan bibirnya, ya memang dia bukan tipe orang yang suka pilih-pilih makanan. Apapun akan dia makan, dan Tati pun pernah berkata, jika paling gampang memberi makan Della. Karena anak itu akan melahapnya dengan baik, dan tak ada pantangan dalam hidupnya. Sepertinya jengkol dan petai pun akan masuk ke dalam perut Della. "Enak, Bu," ucap Reza saat memakan opor ayam buatan Tati. "Syukurlah kalau enak." Reza benar-benar merindukan masakan ibunya. Rasanya sudah lama sekali dia tidak memakan masakan ibunya. Bahkan Reza lupa, sudah berapa lama dia tidak dimasakan oleh orang lain. Ya sejujurnya Reza tidak benar-benar sedih berpisah dengan Maya. Sudah cukup dia berada di dalam lubang penderitaan. Kesetiannya selama ini malah dibalas dengan pengkhianatan. ****** Seorang gadis pulang ke rumahnya dengan riang gembira. Senyuman tak pernah pudar dari wajahnya, meski pun beban hidup tak pernah lepas dari pundaknya. "Aku pulang!" ucap Anjani saat masuk ke dalam rumah yang sudah tidak layak huni. Gubuk reyot yang selama ini sudah melindungi mereka dari panasnya matahari dan derasnya hujan. Meski di saat hujan deras mengguyur bumi, mereka hanya bisa berdoa agar rumah mereka cukup kuat menahan derasnya hujan. Di dalam rumah, Anjani melihat hanya ada ibunya yang sedang terbaring lemah di atas ranjang reyot. Anjani tersenyum, lebih dari cukup untuk melihat ibunya masih tetap ada di sisinya. "Udah pulang?" tanya Yuni — ibunya Anjani. "Iya, udah, Bu." Anjani mendudukkan dirinya di tepi ranjang, dan menggenggam tangan ibunya. "Hari ini, hari kelulusan kamu, kan?" "Iya, Bu. Jani lulus, dengan nilai tertinggi." "Maaf ya, gara-gara ibu, kamu jadi nggak bisa kuliah. Harusnya ibu bekerja, bantuin bapak kamu cari uang, bukan malah terkulai lemah tak berdaya seperti ini di atas ranjang!" ucap Yuni sambil menangis, merasa menyesal karena tak bisa menyekolahkan anaknya hingga bangku kuliah. "Sstt ... Ibu ngomong apa, sih? Jani nggak apa-apa, kok. Lagian Jani nggak pengen kuliah, pusing, Bu. Pelajarannya lebih rumit dari pada pelajaran SMA." Bohong, apa yang barusan Anjani katakan itu semuanya bohong. "Sekali lagi, maaf ya, Nak." Yuni menangis tersedu-sedu sambil menciumi tangan anaknya. "Udah, Ibu jangan nangis, Jani nggak apa-apa, kok." Anjani langsung mengganti bajunya, dan mengambilkan nasi untuk ibunya. Dia melihat, di atas meja hanya ada tempe goreng dan ikan asin, yang ia masak tadi pagi. "Ibu makan dulu, ya. Abis ini aku mau nganterin nasi ke sawah, buat bapak." Yuni kembali ke dapur, dia mengambil nasi dan lauk pauk seadanya yang akan ia kirim untuk bapaknya. Bapaknya bekerja sebagai buruh tani, dan dulu Yuni pun ikut bekerja bersama suaminya. Tetapi semuanya berubah, saat Yuni tiba-tiba terkena stroke. Tentu saja, berbagai macam pengobatan telah mereka lakukan demi kesembuhan Yuni. Sayangnya, belum ada kemajuannya sama sekali. Hingga akhirnya mereka menyerah, karena uang mereka pun sudah habis, belum lagi hutang mereka di sana-sini yang harus mereka bayar. Anjani pergi ke sawah, mengantarkan bekal makan siang bapaknya. Sepanjang perjalanan menuju sawah, Anjani terus bersenandung ria. Gadis itu selalu tersenyum, apapun keadaannya senyuman itu tak pernah pudar dari wajahnya. "Bapak!" panggil Anjani saat melihat bapaknya sedang menanam padi. "Lho, Jani? Kamu udah pulang?" tanya Tono sambil menyeka keringat di dahinya. "Iya, Jani sudah pulang. Ini, Jani bawain bekal makan siang, Pak!" ucap Jani sambil berjalan menuju saung, tempat beristirahat. Tono melepaskan topi caping yang terbuat dari anyaman bambu, dan meletakkannya di saung. Dia menatap anak gadisnya yang sedang membuka bungkusan nasi beserta lauknya. Rasa bersalah langsung menyelimuti hatinya, karena tak bisa menyekolahkan Anjani sampai bangku kuliah. "Maaf ya, gara-gara bapak, kamu jadi nggak bisa lanjut kuliah." "Duh, Bapak ngomong apa, sih? Udah ah, jangan bahas kuliah lagi. Pusing kepala Jani, Pak." "Ya udah, maaf, ya." Tono mulai melahap nasi dan goreng tempe yang dibawa oleh Anjani. Tono memakannya dengan sangat lahap, karena anak gadisnya yang membawakannya. Selesai makan, Tono kembali bekerja sedangkan Anjani memilih menikmati desiran angin yang menerbangkan rambutnya. Menikmati angin sejuk, yang menerpa wajahnya. "Pak, Jani pulang dulu, ya!" pamit Anjani dengan sedikit berteriak. "Iya, kamu pulang aja! Sebentar lagi juga bapak selesai, kok!" Anjani mengangguk, dia pun kembali ke rumah sambil bersenandung. Sesekali kakinya menendang kerikil yang ia jumpai di jalan, hingga tak sengaja kerikil yang ia tendang mengenai seseorang. "Ah, maaf!" pekik Anjani saat kerikil yang ia tendang mengenai seorang lelaki yang sedang berdiri di pinggir jalan. "Iya, saya nggak apa-apa," ucap lelaki itu sambil tersenyum. Jantung Anjani berdetak dengan cepat, saat melihat lelaki yang tak sengaja ia kena kerikil yang ia tendang tadi. "Ada apa ini? Kenapa jantungku tiba-tiba berdetak kencang seperti ini? Apakah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?" batin Anjani.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD