4 - Bertemu lagi

1231 Words
Anjani dibuat salah tingkah karena ditatap pemuda tampan yang tak sengaja ia tendang oleh batu kerikil. Jantungnya berdebar-debar tak karuan, sama seperti saat ia membaca adegan romantis dari novel yang ia pinjam dari perpustakaan. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama? "Neng, nggak apa-apa?" tanya pemuda itu sambil menghampiri Anjani yang masih saja termenung. "Neng?" panggil pemuda itu sekali lagi. Karena tatapan mata Anjani terlihat kosong, takutnya gadis yang ada di depannya kesambet setan. "Y - ya?" sahut Anjani gugup. Jantungnya dibuat bertalu-talu, kala pemuda tadi sudah ada di hadapannya. Dengan senyuman yang menghiasi wajah tampannya, dan sorot mata yang sangat aduhai, yang mampu melemahkan sendi-sendi dalam tubuh Anjani. "Neng nggak apa-apa?" tanya laki-laki itu sekali lagi. Memastikan jika gadis yang ada di depannya itu memang baik-baik saja. "A - aku nggak apa-apa, kok!" jawab Anjani cepat. "Syukurlah kalau si Neng nya emang nggak apa-apa." Sial! Tubuh Anjani mendadak tak bertenaga, setelah melihat senyuman maut dari laki-laki yang ada di depannya. Tanpa sadar Anjani langsung memegangi dadanya, merasakan debaran jantungnya yang sudah jauh dari kata normal. "Maaf sebelumnya aa mau tanya, di sini ada kontrakan nggak, ya?" tanya pemuda itu sopan. Karena jujur saja dia baru saja pindah ke daerah sini, dan hal itu memaksanya mau tak mau harus bertanya pada gadis yang ada di depannya. "Eh? Kontrakan?" ulang Anjani memastikan. "Iya, kontrakan." Anjani manggut-manggut, tapi detik berikutnya dia berhenti manggut-manggut. Curiga dengan pemuda yang ada di depannya, karena jujur saja Anjani baru pertama kali melihat pemuda itu di kampungnya. Perasaan Anjani langsung gusar, saat ucapan Ratna melintas di kepalanya. Katanya, sekarang lagi musim penipuan dengan modus menanyakan tempat, seperti menanyakan kontrakan, rumah Pak RT, dll. Dengan cepat Anjani melihat keadaan sekitar, barangkali ada orang yang lewat agar memudahkan dirinya meminta tolong. Tapi sialnya keadaan jalanan saat itu sangat sepi, hanya ada dia dan pemuda itu saja. "Tak usah khawatir, saya Surya. Yang pegawai baru di minimarket yang ada di pertigaan. Neng juga tau minimarket yang ada di pertigaan sana, bukan?" tanya Surya sambil menunjuk minimarket yang ada di pertigaan jalan. "Oh, orang yang gantiin Teh Irma, bukan?" tanya Anjani. Karena kebetulan dia kenal dengan Irma, wanita yang berkerja di minimarket pertigaan. Yang katanya mau resign, gara-gara mau married. "Iya, saya penggantinya Irma," sahut Surya sambil tersenyum. "Oh, begitu." "Iya, Neng." ***** Anjani pulang ke rumah dengan wajah yang berseri-seri. Dia baru saja mengantar Surya ke kontrakan yang ia tau, kebetulan Surya minta ditunjukkan kontrakan yang murah meriah. "Lho, kamu baru pulang?" tanya Tono terheran-heran, karena dirinya dengan Anjani itu pulangnya Anjani duluan. Tapi yang sampai duluan malah dirinya. "Iya, Pak." "Bukannya kamu pulang duluan, ya?" "Iya, tadi Jani nganter orang dulu, Pak. Pengganti Teh Irma, yang bakalan kerja di minimarket depan," jelas Anjani. Anjani bergegas masuk ke dalam rumah, mengambil baju dari jemuran, lalu melipatnya setelah itu baru menyiapkan makan malam untuk mereka semuanya. Makan malam hari ini sedikit mewah, dengan goreng tahu dan sambal kecap. Keluarga Anjani bersyukur mereka masih bisa makan dengan nasi. Mereka selalu bersyukur dengan apa pun yang mereka punya, bersyukur salah satu cara agar membuat hati mereka tenang, tak merasa iri dengan apa yang dimiliki oleh orang lain. Menatap ke bawah agar mereka senantiasa bersyukur dengan nikmat yang sudah Tuhan berikan pada mereka, melihat ke atas agar mereka bisa bekerja keras dan tidak berleha-leha dan memasrahkan semuanya pada keadaan. "Hari ini kelulusan Teh Jani, jadi kita semua makan enak. Hitung-hitung sebagai syukuran karena Teh Jani sudah lulus dengan nilai tertinggi," ucap Tono malam itu. Kedua adik Anjani hanya mengangguk. Hati Yuni justru dilanda rasa bersalah, seandainya saja kondisinya tidak seperti ini, mungkin anak gadisnya akan melanjutkan pendidikannya sampai bangku kuliah. Mereka semua menikmati makan malam mereka dengan khidmat. Sampai makan malam selesai, Anjani langsung membereskan lauk pauk, dan nasi lalu menyimpannya di atas meja. Mencuci piring di belakang rumah, dengan lampu neon yang temaram. Tono menghampiri anak gadisnya, duduk di bangku yang terbuat dari bambu. Melihat anak gadisnya yang sedang cuci piring sambil terus bersenandung. "Eh, Bapak," panggil Anjani saat dirinya selesai mencuci piring, dan mendapati Tono sedang duduk di bangku bambu sambil menatapnya. "Jani, sini duduk," ajak Tono sambil menepuk-nepuk bangku kosong yang ada di sampingnya. Anjani menurut, duduk di samping Tono. Keduanya menatap langit yang bertaburan bintang, angin malam menerbangkan surai hitam milik Anjani. Mereka tinggal di sebuah desa yang masih sedikit asri, banyak perkebunan dan pesawahan di sekitar sini. Di tempat inilah Anjani dibesarkan, dan tumbuh berkembang menjadi gadis yang cantik. "Habis ini, kamu mau kerja di mana?" tanya Tono sambil terus menatap gelapnya langit. "Mungkin mau kerja di warung nasi Teh Ira aja, Pak. Jani dengar, katanya Teh Ira lagi butuh yang bantuin di warungnya," sahut Anjani sambil memilin ujung kaos lusuh yang masih ia kenakan. "Maafin bapak, gara-gara bapak kamu jadi nggak bisa lanjut kuliah, gara-gara bapak kamu jadi nggak bisa gapai mimpi kamu." Tanpa terasa air mata Tono sudah membasahi wajahnya, membasahi kaus yang ia kenakan. "Bapak jangan ngomong gitu. Jani nggak apa-apa, Pak. Jani masih bisa menggapai cita-cita Jani, meski nggak kuliah." Untuk saat ini Anjani ingin membantu perekonomian keluarganya dulu. Jika ada kesempatan, dan diberikan kesempatan Anjani ingin kuliah. Mengejar cita-citanya yang sempat tertunda. Untuk kali ini, dia hanya ingin fokus membantu bapaknya mencari nafkah. "Maafin bapak, ya ...." Tono mengusap wajahnya yang sudah basah karena air mata. "Udah, Jani nggak apa-apa, kok." Obrolan mereka malam itu terhenti karena waktu sudah cukup malam. Sudah waktunya untuk mereka semua beristirahat, mengistirahatkan tubuh mereka setelah hampir seharian bekerja. ***** Anjani sudah terlihat rapih, kaus yang berwarna maroon yang dipadukan dengan celana jeans hitam yang sudah pudar. Hari ini dia akan datang ke warungnya Teh Ira, untuk bekerja. Enya jadi tukang cuci piring, atau tukang ngelap meja, tidak apa-apa. Asalkan halal, Jani akan mengerjakannya. "Eh, Jani udah datang?" sapa Ira saat wanita itu sedang mengelap meja. Kebetulan dia baru saja selesai masak. "Iya, Teh." "Sini masuk dulu, Jani," anak Ira pada Jani. Ira memang sudah berencana mengajak Anjani untuk bekerja dengannya. Ira sendiri sebenarnya masih sanggup untuk menjaga warungnya seorang diri. Tapi karena merasa kasian pada Anjani, sehingga dia pun mengajak Jani untuk bekerja dengannya. "Di minum dulu, Jan," ucap Ira sambil menyodorkan segelas teh hangat. "Aduh, padahal aku ke sini buat kerja, kok malah disuguhi teh manis?" tanya Jani heran. "Nggak apa-apa, ayo diminum." Jani pun mulai meneguk segelas teh manis yang disuguhkan oleh Ira. Mereka mengobrol, dan Ira juga menjelaskan cara kerjanya di warung miliknya. Mulai dari harga satu potong ayam goreng, sayur asem empat ribu dapat berapa, harga satu batang rokok, dll. Ira menjelaskan semuanya, dan untungnya Anjani langsung mengingat apa yang Ira beritahu. Ira bersyukur, karena Anjani langsung mengerti meski baru satu kali dijelaskan. "Ya udah, teteh tinggal pulang dulu, ya? Mau mandiin si bungsu dulu, " pamit Ira. "Iya, Teh. Hati-hati." Jani pun mulai menunggu warung nasi seorang diri. Dia mengisi waktu luangnya dengan mengelap gelas, dan piring agar bersih. Saat sedang mengelap piring, ada seorang pembeli yang datang ke warung. "Teh, punten pengen makan," ucap laki-laki itu sambil duduk di kursi plastik. "Iya, sebentar," sahut Jani sambil bangkit dan membuka tirai etalase. "Mau makan sama apa, A?" tanya Jani sambil membuka kain penutup nasi. "Em, pengen makan sama semur telor, tumis buncis, sama bacem tempe." Anjani pun mulai mengambilkan lauk yang diinginkan oleh si pembeli pertamanya. Saat akan menyodorkan piring, dia terkejut dengan si pembeli ternyata adalah Surya. "Lho, A Surya?" "Anjan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD