"Ayah!" seru Aira dari arah pintu, matanya menatap sekitar ruangan mencari keberadaan Rico. Namun Rico tidak ada di semua ruangan. "Mungkin ayah ke kantor," gumam Aira. Ia berjalan memasuki kamarnya dengan membawa sebuah lukisan, ia letakkan di atas tempat tidur.
"Sebaiknya aku tanya mbok Karsih, siapa tahu dia mengetahui tentang ibu." Aira berjalan kembali keluar kamar dan memanggil asisten rumah tangganya. "Mbok!"
Mbok Karsih yang sedang ada di dapur langsung bergegas menghampiri Aira dan duduk di kursi. "Ada apa neng?"
"Mbok, boleh aku tanya sesuatu?" mbok Karsih mengangguk. "Sejak kapan mbok bekerja di sini?" tanya Air
"Ayah!" seru Aira dari arah pintu dengan membawa sebuah lukisan. Aira menatap sekitar ruangan tamu, namun ia tidak menemukan Rico di dalam rumah.
"Mungkin Ayah ke kantor." Aira berjalan menuju kamarnya membawa lukisan itu dan meletakkannya di atas tempat tidur, lalu ia kembali lagi keluar.
"Mbok!" seru Aira memanggil asisten rumah tangga.
Mbok Karsih yang sedang berada di dapur, tergesa gesa menghampiri Aira, "iya Neng, ada apa?" tanya Mbok Karsih.
"Ayah kemana Mbok?" tanya Aira.
Mbok Karsih terdiam sesaat, ia coba mengingat, "Ayah Neng tadi keluar, tapi Mbok tidak tahu, hendak pergi kemana."
Aira menganggukkan kepala, "Mbok, aku boleh tanya sesuatu?" tanya Aira memegang lengan Mbok Karsih supaya duduk di kursi.
"Ada apa Neng?"
"Mbok berapa lama bekerja di sini?" tanya Aira coba mencari tahu tentang Ibunya leway Mbok Karsih.
"Seingat Mbok, dari semenjak Neng Aira baru berusia 4 bulan."
Aira menganggukkan anggukkan kepala, "jadi Mbok tidak kenal Ibuku, dong?" Aira mrngangkat krdua alisnya menatap Mbok Karsih.
Mbok Karsih menggelengkan kepala, "tidak tahu Neng," jawab Mbok Karsih. "Seingat Mbok, yang mengenal Ibu Neng Layla itu, Mbok Darmi dan Mang Usman."
"Siapa mereka Mbok? dan...ada di mana mereka sekarang?" tanya Aira semakin penasaran.
"Setahu Mbok, Mang Usman sudah meninggal, sementara Mbok Darmi berhenti bekerja dan pulang ke jawa."
"Oke, terima kasih ya Mbok." Aira menyenderkan kepala ke bahu Mbok Karsih sesaat, lalu ia beranjak pergi ke kamarnya.
"Mungkin, lain kali aku akan mencari tahu tentang Ibu," ucap Aira. "Lukisan ini akan aku simpan dulu." Aira menyembunyikan lukisan itu di belakang lemari pakaian miliknya. Kemudian ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Siapa pria bernama Kei itu..." gumam Aira pelan.
****
Sementara itu Rico sedang berada di ruangan Dokter Kenzi, ia memeriksakan kondisi kesehatannya. Rico merasa akhir akhir ini ia sering batuk batuk dan merasakan pusing di kepalanya.
"Bagaimana Dok?" tanya Rico menatap Dokter Kenzi.
Dokter Kenzi menutup file yang sedang ia periksa, lalu ia alihkan pandangannya menatap Rico.
"Saya belum bisa menyimpulkan penyakit Pak Rico," ucap Dokter Kenzi. "Saya harus menunnggu hasil Lab nya selesai."
Rico mengangguk anggukkan kepala, "baik Dok. Semoga tidak ada masalah serius."
"Amin, berdoa saja," timpal Dr. Kenzi. "Bagaimana kabar Aira. Pak?" tanya Dr. Kenzi.
"Ah, Aira baik baik saja Dok," jawab Rico. "Hanya dia sedikit menjadi tomboy."
Dr. Kenzi tertawa kecil, "itu sudah pasti, Aira di rawat oleh Pak Rico sendirian," Dr. Kenzi terdiam melihat perubahan wajah Rico yang nampak sedih. "Ada apa Pak?"
Rico menundukkan kepala sesaat, "Aira sering bertanya tentang Ibunya," ucap Rico pelan. "Saya takut, jika Aira tahu yang sebenarnya..." Rico tidak melanjutkan ucapannya.
Dr. Kenzi menganggukkan kepala, ia mengerti situasi sulit yang di hadapi Rico, "untuk masalah satu ini, saya tidak dapat membantu Pak," Dr. Kenzi termangu sesaat. "Semoga ada jalan keluarnya Pak."
Rico menganggukkan kepala, "kalau begitu saya permisi pulang Dok, mungkin Aira sudah pulang dari sekolah Ibunya."
"Ah, iya silahkan," jawab Dr. Kenzi.
Rico berdiri dan mengulurkan tangan," terima kasih Dok." Dr. Kenzi berdiri dan menjabat tangan Rico.
"Sama sama Pak, nanti saya kerumah Pak Rico jika hasil lab sudah selesai."
Rico menganggukkan kepala, dan menarik kembali tangannya. Sesaat ia membungkukkan badan lalu balik badan melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Rico tidak berhenti memikirkan bagaimana cara memberitahu Aira tentang Ibunya.
"Layla...kenapa kau bebankan semua ini padaku, kenapa kau meninggalkan aku Layla," gumam Rico dengan Mata berkaca kaca.
***
Seorang pria setengah baya dengan langkah gontai memasuki rumahnya. Ia berjalan dengan menundukkan kepala.
"Apa tidak ada pekerjaan lain, selain menelusuri kenangan kenangan, Kei?" sapa seseorang dari arah belakang.
Pria itu menghentikan langkahnya, "cukup Clara, aku sudah bosan bertengkar terus," jawab Kei dengan kepala tertunduk, tanpa menoleh sedikitpun pada Clara istrinya yang ia nikahi 20 tahun yang lalu, karena sebuah insiden.
"Kalau kau tidak ingin kita bertengkar," Clara berjalan mendekati Kei. "Stop bertingkah layaknya orang gila!" bentak Clara dengan mata melotot ke arah Kei.
Kei mengangkat wajahnya, ia menatap malas Clara, "rasanya aku tidak perlu menjelaskan apa apa lagi padamu, Clara," ucap Kei. "Bukankah kau sudah mengetahui mengapa aku seperti ini?" Selesai berkata seperti itu, Kei berlalu begitu saja meninggalkan Clara.
"Kei! seru Clara. " Aku belum selesai bicara!" Clara mendengus kesal menatap punggung Kei hingga hilang dari balik pintu, Clara kesal terhadap Kei yang tak pernah berubah dari semenjak mereka menikah.
"Lama lama aku kesal diam dirumah!"
Clara menoleh ke arah suara, nampak May dan Samuel berdiri di belakangnya.
"May...Mama" Clara tidak melanjutkan ucapannya.
"Rumah ini bagai neraka! tidak ada harmonisnya kalian sebagai orang tua!" May berjalan mendekati Clara, sementara Samuel hanya diam mencoba mencerna, bukan ia tidak perduli tapi Samuel selama ini sudah mencari tahu apa penyebab orang tuanya sering bertengkar, melihat sikap sikap Ayahnya yang tak wajar, Samuel menjadi penasaran.
"May, ini bukan salah Mama.."
"Lalu salah siapa?" May menatap tajam Clara. "Aku? atau kak Samuel?" May mengangkat kedua alisnya menunggu jawaban Ibunya.
"Ini semua berawal dari w*************a bernama Layla." Mata Clara terpancar kilat kebencian meskipun ia tahu, kalau Layla sudah tiada.
"Ma! cupup! potong Samuel. " Jangan selalu menyalahkan orang lain!"
"Kau tidak tahu apa apa Sam!" Clara balik membentak Samuel.
"Siapa Layla Ma?" tanya May penasaran.
"Layla w*************a, ia yang telah membuat Papamu menjadi tidak normal," jelas Clara. "Layla itu Ibu dari teman kampusmu si Aira itu."
"Apa?" May matanya terbelalak mendengar nama Aira di sebut. "Jadi si Aira itu anak pelakor?" Aira tersenyum, niat jahatnya untuk membuli Aira semakin kuat, entah kenapa May begitu membenci Aira.
"Ma! Mama sudah meracuni May!" Samuel tidak suka dengan sikap dan ucapan Mamanya yang tidak sesuai fakta, sedikitnya Samuel tahu kisah yang sebenarnya dari Papanya sendiri.
"Cukup Sam!" pekik Clara. "Kau mau seperti Papamu belain w*************a itu!"
"Ahhk!" Samuel mengusap rambutnya kasar, ingin rasanya untuk memberitahu Mamanya kalau apa yang di katakannya tidak mendidik May, tapi Samuel sadar, sebagai seorang anak akan salah di mata orang tuanya. Akhirnya Samuel memilih pergi meninggalkan Clara dan adiknya May.
"Pantas saja, kelakuan si Aira sama saja dengan Ibunya." May tersenyum sinis mengingat nama Aira.
"Sudah, Mama pusing." Clara melangkahkan kakinya meninggalkan May, dengan niat liciknya untuk mempermalukan Aira di sekolah nanti.