Bab 2

3173 Words
Cambria melintasi lorong panjang istana yang terdiri dari pilar-pilar besar berwarna abu-abu yang diukir dengan langit-langit melengkung yang dilukis bak lukisan indah di atas sebuah kanfas putih. Tiap langkahnya dipenuhi deret mata memandang yang kemudian menundukkan pandangan ketika ia lalu dengan langkah tergesa dan wajah marah setelah pertemuan tadi dengan Hazal. Ketika ia melintas jauh dari kerumunan pekerja istana, banyak bibir kemudian berbisik tentangnya dan menertawakan dirinya diam-diam. Cambria tahu betul pandangan menyedihkan orang lain padanya, namun ia tak bisa berbuat banyak, karena keadaan memang membuatnya harus banyak mengunci mulut. Pintu berwarna merah di depan kamarnya dibuka dua pelayan. Setelah melintas masuk ia menghambur ke arah meja yang diipenuhi guci hias berwarna keemasan. Mulutnya mendesis kesal berulang kali lalu lantas menyapu deret guci di hadapannya dalam satu gerakan tangan hingga terdengar suara berdentum dan pecahan kaca memenuhi seluruh ruangan. Salah satu pecahan kaca itu bahkan menggores kakinya hingga berdarah namun ia abaikan begitu saja karena ia masih belum puas mengentaskan kemarahannya. Cambria menarik selimut sutera yang menutup tempat tidur dan membuangnya ke atas lantai bersama bantal bulu di hadapannya. Ia menendang tempat tidur berulang kali lalu berteriak dengan nada lantang penuh rasa sakit sebelum kemudian jatuh ke atas lantai dengan rasa sedih yang membuatnya menangis tersedu seperti seorang anak yang tak berdaya. Dibalik pintu para pelayan mendengar tangisnya, namun tak ada bergeming mereka hanya menunjukkan wajah dingin seolah hal itu memang telah biasa terdengar tiap hari. Ketika masih terisak dengan air mata menggantung di mata hijaunya, seorang pelayan berusia 45 tahunan yang telah mengabdi padanya selama beberapa tahun membranikan diri mendekat. Ia menatap wanita muda 30 an tahun namun yang masih nampak berusia 20 tahunan di depannya dengan penuh belas kasihan. “Yang mulia ...” panggilnya lirih sedikit takut untuk mendekat. “Apa Anda tidak apa-apa?” setelah diam beberapa detik, Cambria berteriak lantang dengan nada memerintah. “Panggil perdana menteri kemari. Cepat panggil dia ke mari!” pelayan itu memberi hormat kemudian berlalu dengan langkah terburu-buru, sementara dirinya diam terpaku memeluk kedua lututnya dengan bibir mengerut ditimpa air mata berguguran. Pelayan wanita Cambria menyuruh seorang penjaga pintu masuk paviliun ratu untuk mencari perdana menteri ke kantor pemerintahan yang berada beberapa komplek jauhnya dari istana kerajaan Humington. Namun Arez sedang tak ada di sana, ia sedang bersama dengan Hazal di halaman belakang istana sambil menikmati segelas teh sore dengan pemandangan danau hijau yang dikelilingi tanaman bunga dan beberapa ekor angsa sedang berenang di permukaan air danau yang jerniah. Angin sore berembus sepoi. Hazal duduk dengan kaki melintang dan gelas teh di tangannya. Ia menyeruput minuman hangat berbau melati di tangannya dengan hanti-hati. Sesekali mata hijau Ares melihatnya sedikit waspada, menunggu apa yang akan dikatakan kaisar muda itu padanya. Gelas berdenting lirih, membuat Ares terbangun dari lamunannya. Hazal diam-diam tersenyum tipis melihatnya. “Kurasa Ayah sudah mendengar mengenai mengenai petisi fraksi timur ‘kan?” lelaki berambut gelap dengan hidung tinggi dan rambut yang disisr rapi ke belakang itu nampak sedikit terkejut ketika Hazal menyebutnya sebagai Ayah. “Itu ...” gumamnya dengan nada panjang sedikit bimbang. “Hanya ada kita berdua, bagaimana pun akan penting bagiku meminta pertimbangan Ayah mertua sekaligus perdana manteriku” Ares menelan ludah. Ia tahu arah pembicaraan yang ditujukan Hazel tak sesederhana apa yang ia utarakan. “Saya sudah mendenarnya sejak lama” jemari Hazal yang bertaut tiga buah cincin permata di tangannya meletup beberapa kali. Masing-masing cincin mewakilkan satu gelarnya sebagai pemimpin negara, simbol negara dan pemimpin tertinggi kemiliteran. “Lalu?” Ares bimbang tak bisa menjawab, ia tersudut karena pertanyaan itu merupakan sebuah simbol kesetiaan untuknya. Apakah ia masih setia pada kaisar atau hanya akan patuh karena kasih sayangnya pada puterinya. “Saya tidak tau keputusan Anda” lelaki bermata abu-abu di sampingnya berpaling. “Kau sudah melayani Ayahku, lalu kemudian aku. Aku tidak pernah meragukan kesetiaanmu karena itu aku mengangkatmu lagi setelah aku terpilih bahkan sebelum aku menunjuk Cambria sebagai calon istriku. Kau tau itu?” Ares mengangguk, sambil memperbaiki kacamatanya. “Saya mengerti maksud Anda, jika ini tentang kesetiaan saya maka sampai kapan pun saya akan selalu setia pada Anda, bahkan kalau anda meminta saya mati maka saya tidak akan segan mati untuk Anda, tapi sampai kapan pun saya tetap adalah seorang Ayah. Anda tau seperti apa saya memperlakukan ratu sampai hari ini” Hazal mengangguk. “Aku hargai kejujuranmu, politik dan keluarga selalu jadi bahan perbincangan yang berseberangan” tubuh tegap Hazel bangkit sambil merapikan jas hitam yang membalut bahunya yang tegap. “Aku sudah cukup menikmati perbincangan kita dan mengerti jawabanmu” Arez berdiri dengan sikap hormat. Ia menunduk menatap tanah yang tertutup rumput hijau di bawah kakinya. “Terima kasih” Hazal berlalu tanpa mengatakan apa pun. Setelah pertemuan itu berakhir, Ares melintas keluar paviliun megah kaisar yang terdiri dari jendela-jendela lebar yang bersampingan dengan sebuah ruangan lain di mana paviliun ratu berada. Di depan persimpangan jalan menuju pintu keluar, ia tiba-tiba teringat dengan Cambria setelah pembicaraan barusan tadi. Ia yakin kalau puterinya itu tentulah merasa amat bersedih menahan tekanan-tekanan dari luar yang harus ia terima mentah-mentah, namun semua itu telah menjadi bagian dari resiko yang harus ia tempuh untuk tetap berada di posisinya sebagai ratu. Di depan sebuah pintu yang lebar dengan langit-langit melengkung tertutup kaca tebal ia berhenti. Dua orang pelayan pria menggeledah tubuhnya kemudian menunduk dan membiarkan Arez masuk dalam paviliun ratu. Paviliun ratu merupakan ruangan megah berlantai tiga yang diperuntukan sebagai kediaman para wanita istana dalam tingkt tertinggi selama bertahun-tahun. Setiap orang yang keluar masuk paviliun hanya orang-orang yang mendapat izin resmi. Jarang seorang pria dibiarkan masuk dalam paviliun ratu tanpa izin khusus. Arez berdiri di depan pintu. Dua orang wanita ingin membukakan pintu untuknya, namun ia menahan karena masih bimbang, tak tau apa yang akan dikatakannya ketika bertemu Cambria nanti. Ares selalu berusaha membuat Cambria bahagia, ia selalu merasa bersedih karena Cambria tidak pernah sempat bertemu dengan ibunya karena ia meninggal ketika melahirkannya. Pelayan utama Cambria menunduk hormat dan menyapa ketika melihat lelaki yang tadi ia cari akhirnya ada di sana. “Perdana menteri” lelaki bewajah lembut itu memaling. “Nyonya Raim. Apa ada sesuatu yang terjadi?” wanita dengan kerut dikeningnya itu mengangguk. “Sebaiknya Anda masuk dan temui beliau. Saya rasa Anda satu-satunya yang bisa membuat ratu tenang” lelaki itu mengangguk, ia membiarkan dua pelayan membukakan pintu untuknya. Melihat kesedihan puterinya sepanjang waktu, kadang kala Ares pun merasa tak senang, tapi sejak dulu Cambria selalu mencintai Hazal, sekalipun cinta itu tak terbalaskan selama bertahun-tahun namun harapannya amat besar, hingga sebagai Ayah ia akhirnya membantu Cambria meraih tahta itu. “Ratu?” panggilnya. Cambria mendongak, ia melap air matanya dan menggantinya dengan senyum lebar seperti anak kecil. “Ayah, aku senang Ayah kemari” ucap gadis bergaun merah setinggi lutut itu kemudian berdiri menghampiri Ayahnya dan memeluknya dengan perasaan sedikit lega. Cambria sangat mencintai Ayahnya, baginya hanya Ayahnya satu-satunya orang yang mencintainya dengan tulus hingga segala penghiburan bisa ia dapatkan darinya. “Apa yeng terjadi dengan kamarmu, dan lihat kakimu terluka. Apa yang kau lakukan?” celetuk Arez melepaskan pelukan Cambria. Anak perempuannya itu menelan ludah, “Aku tadi tidak sengaja menjatuhkannya”Arez membelai rambut bergelombang Cambria dengan penuh kasih sayang. “Apa karena itu kau menangis?” Cambria memulas senyum tipis dan menyeka sisa air matanya yang mulai mengering. “Iya, tapi aku menangis juga karena merindukanmu. Apa kau baik-baik saja, kau meminum obatmu ‘kan dan tidak bekerja dengan terlalu keras ‘kan?” Arez tersenyum. “Aku senang mendapat perhatian dari ratu. Jangan cemas pekerjaan saya tidak terlalu berat. Sekarang bagaimana kalau Anda duduk dan saya akan mengobati luka di kaki Anda” Cambria mengangguk sambil mengamati lelaki tua itu. Ia tau betul sudah meminta terlalu banyak pada Ayahnya yang sudah berusia 60 tahun lebih. Menyatakan kesulitannya yang tinggal dalam istana seorang diri hanya menambah beban pria tua sepertinya yang sudah disusahkan dengan banyak urusan kerajaan. Ares memulas obat merah ke kaki Cambria. Setelah selesai ia duduk di depan salah satu sofa beludru merah tempat Cambria duduk mengamatinya. “Sekarang sudah selesai Yang Mulia” bibir penuh gadis itu memulas senyum kemudian balas memegang tangan Ayahnya dengan erat. “Kapan Ayah akan mengajukan pengunduran diri untuk pensiun nanti?” Arez termangu. Ia memang telah berjanji untuk mundur dari urusan pemerintahan, namun ia paham jika berhenti sekarang maka puterinya tidak akan mendapat pelindung dari dua tekanan sekaligus. Kaisar dan fraksi timur. “Saya merasa masih kuat, dan beberapa orang dari partai juga belum mau saya berhenti” Cambria menatap sedih wajah Arez. Ia tau betul alasan Ayahnya yang sebenarnya namun tak berani disampaikan padanya, hingga tanpa bisa ditahan lagi ia lantas memeluknya. “Aku tidak apa-apa dan akan menjaga diriku. Kau sudah melakukan banyak hal jadi berhentilah dan nikmati masa tuamu” Arez mengangguk sambil menepuk punggung Cambria. “Akan saya dengarkan ucapan Anda” ** Makan malam istana sedang disiapkan para koki. Aneka makanan disajikan di atas meja yang tertutup taplak meja putih dan hiasan lilin serta aneka bunga segar yang diganti tiap dua hari sekali. Bel makan malam berbunyi, Cambria muncul menuruni anak tangga pertama kali lalu disusul kemudian oleh Lady Inha dan kemudian oleh Lady Arabel dan terakhir oleh Hazal. Mereka berempat duduk bersamaan dengan Hazal sebagai kepala keluarga yang menyilahkan. Lady Inha mengamati jengkel ke arah Cambria yang melihatnya sinis. Tiap bertemu mereka berdua memang tak pernah saling akur dan cenderung selalu saling menyerang bahkan dalam makan malam keluarga sekalipun. Lady Arabela, Ibu Hazal tak begitu ingin ikut campur urusan politik istana antara kedua ratu beda generasi itu. Lady Inha, wanita berusia 70 tahun dengan wajah bundar, mata cokelat dan rambut yang telah memutih namun memiliki semangat muda itu membuka perbincangan keluarga di meja makan untuk saling mengakrabkan diri. Seperti tradisi yang sudah-sudah di masa lalu. “Aku selalu berharap bisa mendengar kabar baik, kapan ratu muda akan mendapatkan anugerah seorang anak untuk kita. Benar ‘kan Arabel?” Ibu Hazal, wanita anggun bermata abu-abu dengan senyum menawan itu hanya tersenyum melirik Hazal yang tampak dingin, karena ia paham betul kalau pertengkaran di meja makan sudah merupakan sebuah tradisi juga dalam keluarganya. Alis gelap Cambria sedikit menukik, ia memulas senyum ke arah Lady Inha, “Aku harap kau segera bisa mendengarnya sebelum masuk yayasan kerajaan. Anda harusnya menenangkan diri dan tidak lagi ikut campur dalam urusan istana. Biarkan Lady Arabela yang mengurus semuanya” Lady Inha tertawa dengan nyaring sambil menutup bibirnya kemudian menatap Hazal dan Lady Arabela bergantian. “Maafkan aku, aku sungguh merasa senang mendengar harapan itu dari ratu muda. Yah, jika dia bisa melahirkan seorang puteri atau pun putera sekarang juga maka aku tidak akan tinggal di sini lagi. Sudah tugasku sebagai seorang tetua untuk mengatur istana dalam sebagai mana mestinya. Aku harap orang berhenti membicarakan kalau dia mandul, benar ‘kan?” Lady Inha tersenyum puas ke arah Cambria yang hanya bisa menunjukkan senyum kecut sambil mengepalkan tangan di atas lututnya. “Sebiknya kita makan saja” ucap Hazal pada mereka berdua setelah mendengar basa-basi tidak perlu di meja makannya. Cambria mendorong kursinya, hingga bunyi menderit terdengar tajam di telinga, “Silahkan menikmati makan malam, aku kehilangan selera” ucapnya sambil menunduk memberi hormat membelakangi ketiga orang di meja makan itu. Belum seberapa jauh dia beranjak, Lady Inha menyeru dengan suara yang sengaja dibesarkan agar didengar Cambria sebelum jauh. “Meninggalkan meja makan sebelum orang yang lebih tua, apa tidak ada cara lain bagiku selain meyakini apa yang dikatakan orang banyak?” Hazal dan Lady Arabela hanya mendengarkan apa yang dikatakan Lady Inha tanpa menggubris. “Aku juga tidak tau kenapa kalian berdua masih membiarkan wanita pemabuk sepertinya tinggal dalam istana. Wanita yang sungguh kotor bisa duduk di atas tahta yang suci, memikirkannya saja membuatku jijik” setelah cukup mendengar semuanya Cambria pergi. Hazal berdiri dari duduknya tak berapa lama kemudian bahkan sebelum sempat menyendok makanan. Ia pergi tanpa mengatakan apa pun dan hanya menyisakan Lady Arabela dan Lady Inha di sana. “Mereka berdua memang cocok” kata perempuan itu dengan ketus. Lady Arabela berjalan menuju kamarnya setelah makan malam tadi. Ia memang sengaja untuk tinggal di sana sebagai bentuk penghargaan pada Lady Inha yang lebih dituakan dalam istana. Di depan pintu kamarnya suasana nampa sepi membuatnya penasaran mencari keberadaan pelayan yang biasanya selalu menunggu di sana menjaga ruangannya. Rasa ingin taunya menghilang ketika wanita berambut gelap itu terpana saat melihat Hazal sedang berdiri dengan bersender dinding sambil tersenyum padanya. “Kau tidak makan malam sama sekali, mau Ibu pesankan sesuatu pada pelayan?” Hazal beranjak dan memeluk ibunya dengan manja. “Nanti saja, aku ingin bicara dengan Ibu” Arabela menyapu rambut coklat keemasan Hazal dengan senyum senang. Sekalipun tinggal bersama dalam satu lingkup istana, ia dan Hazal jarang bertemu akibat kesibukan anaknya menjalankan banyak tugas istana. Hazal berbaring di atas pangkuan Ibunya yang membelai kepalanya seperti anak kecil yang sedang bermanja. Ia menatap jendela di sampingnya dan melihat langit malam yang gelap dan sunyi tanpa semangat. “Belakangan ini kau pasti makin sibuk” ucap wanita berusia 50 tahunan itu pada Hazal. “Seperti yang Ibu lihat” lirih lelaki gagah dengan mata abu-abu yang bersinar indah seperti sinar mata ibunya itu. “Lalu apa keputusanmu mengenai petisi itu?” mata abu-abu Hazal hanya melirik kemudian menegakkan tubuh dan berhadapan Ibunya. “Aku bahkan tidak mau memikirkannya” tegasnya dengan nada lembut. Lady Arabela menatap dalam mata Hazal. “Tugas seorang kaisar bukan hanya memerintah sebuah negara tapi memberikan pewaris bagi kerajaan juga kewajiban” Hazal menarik napas dengan bimbang tidak tau akan menjawab apa ucapan ibunya itu. “Aku tidak pernah mempertanyakan keputusanmu selama berahun-tahun bahkan ketika kau memilih untuk duduk di atas tampuk kekuasaan. Sebagai Ibu sudah merupakan tugasku membimbingmu. Aku tau kau membenci Afreen selama enam tahun ini, tapi kau tau kalau sejak awal dia tidak sekalipun berubah ketika menunjukkan dukungan dan kebaikan padamu” Mendengar nama itu disebut seketika ketenangan di wajah Hazal menghilang berganti rasa benci. “Afreen sudah lama mati, sekarang dia adalah Cambria. Cambria dan Afreen adalah orang yang berbeda” Sepasang mata abu-abu Lady Arabela menatap kejauhan, mencoba mengingat masa lalunya bersama Hazal sebelum masuk ke dalam istana yang megah tempatnya sekarang bernaung. “Aku ingat dulu sekali ketika hidup di luar istana. Kau dan Afreen adalah teman yang sangat akrab. Di mana ada kau di sana juga ada Afreen. Dia adalah gadis yang cerdas, penuh semangat dan kadang berhasil menggunggulimu dalam banyak hal. Kau mengakuinya, dia bukan hanya teman tapi seorang rival yang selalu coba kau kalahkan. Apa sampai hari ini pun kau masih memiliki perasaan seperti itu?” Hazal berdiri dari duduknya kemudian beranjak dan berdiri di depan jendela sambil mengamati lampu-lampu di puasat kota yang amat benderang menghias malam gelap gulita. “Dia terlalu egois” “Dia mencintaimu” Hazal berpaling dengan wajah yang penuh kekesalan. “Bukan salahku ketika dia mencintaiku, dia seharusnya melepaskan aku ketika aku memintanya. Aku memperlakukannya seperti yang seharusnya dia minta dan dapatkan dariku” Lady Arabela menghela napas panjang, “Aku tidak membelanya. Aku hanya cemas suatu hari kau akan menyesal. Apa kau yakin tidak akan menyesali apa pun?” Hazal mulai muak dengan ucapan Ibunya. Ia berjalan menuju pintu dan mengetuknya beberapa kali hingga terbuka dari luar. “Aku tidak akan pernah menyesali apa pun” Lampu dalam ruangan Hazal nampak gelap, hanya menyisakan sinar pucat yang memantul dari jendela-jendela yang tertutup tirai-tirai putih dari seberang jalan istana dan membias ke atas lantai dan tempat tidurnya. Ia menghela napas dengan perasaan lelah kemudian beranjak beberapa langkah menuju tempat tidur tanpa menyalakan lampu. Pria berambut cokelat keemasan itu telah hapal betul tiap inci ruangannya hingga ia melenggak santai saja dan melepas kaos yang membalut tubuh berototnya yang ia lemparkan sembarangan. Belum sempat berbaring, seseorang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Ia bisa merasakan bibir seseorang menempel di tulang selangkanya dan meraba perut dan dadanya bergantian. Sepasang mata abu-abu Hazal menutup sekilas sebelum kemudian ia melepaskan dekapan yang membalut tubuhnya dan menarik lengan Cambria dengan hentakan keras berhadapan dengannya, hingga helaian rambut gelap perempuan berwajah mungil itu memenuhi wajah dan menyembunyikan mata hijaunya yang indah. “Apa yang kau lakukan dalam kamarku?” bisiknya dengan nada mendesis menahan kesal. “Aku ingin bertemu denganmu” Cambria memeluk tubuh Hazal, lelaki itu bergeming selama beberapa detik sebelum kemudian ia berpaling dan membanting tubuh Cambria ke atas tempat tidur dan menindih kedua kakinya. Ia menarik sebuah belati dari balik salah satu bantalnya dan kemudian menancapkannya tepat ke samping leher gadis itu yang hanya bisa diam menatap mata abu-abu lelaki di depannya. Cambria tersenyum tipis dengan sedikit prihatin. Hazal menatapnya lewat biasa cahaya lampu yang menerangi tempat tidur. “Apa kau tau aku sangat membencimu dan aku merasa sangat jijik padamu. Tidak peduli berapa kali pun kau ingin mendapatkanku tidak sekalipun kau akan memiliki hati atau pun tubuhku” gadis itu menelan ludah. Itu bukan pertama kalinya ia mendengar penolakan kasar seperti itu. “Kau benar, tidak sekalipun. Ini salahku” Hazal menyalakan lampu yang berada tepat di sampingnya kemudian beranjak menuju sebuah meja dan meraih minuman beralkohol yang ia teguk dengan cepat sambil membelekangi tubuh Cambria. Gadis itu bangkit dengan bahu yang berdarah akibat belati yang tadi tanpa sengaja melukai bahunya. Ia terpaku menatap kakinya selama beberapa saat kemudian bertanya dengan nada sedih yang tertahan di ujung tenggorokannya. “Kau pernah bertanya padaku, hadiah apa yang bisa kudapatkan setelah menolongmu. Kau bilang akan berikan apa pun padaku. Apa pun. Aku tidak segera menjawab, tapi saat aku memintanya ketika itu aku menyadari bahwa kau sudah tidak sama lagi” Hazal berpaling dan melempar gelas ke arah lantai membuat Cambria sedikit terkejut namun hanya bisa menunduk menyembunyikan wajahnya. “Jangan berpura-pura tidak tau, seberapa lama kau berdusta padaku. kau membunuh Hana, kau sudah membunuhnya ‘kan?” bentak lelaki itu dengan mata jalang. “Hana, Hana dan Hana. Ini sudah berapa tahun tapi kenapa hanya ada dia di hatimu,” Cambria berpaling dengan mata penuh amarah yang berupaya menahan kesedihan, “apa yang dia punya dan aku tidak memilikinya. Aku bisa menjadi apa saja untukmu kalau saja kau meminta tapi kau tidak memberikan kesempatan padaku. Tidak sekalipun kau mau memandangku. Apakah cintaku ini terlalu rendah untukmu” Hazal berpaling dengan amarahnya yang masih berkobar, “Berhenti mengatakan keserakahanmu sebagai cinta. Kau membunuh temanmu sendiri itulah kenyataannya” “Serakah? Benar, untuk mencintaimu aku harus serakah. Jika aku hidup dengan kebaikan hati di dalam istana maka aku akan dilemparkan begitu saja. Ada banyak wanita yang mengharapkan tempatku dan bahkan kau tidak ingin memprtahankan aku. Aku hanya melindungi diriku dengan politik ini. Maka dengan barbaik hati aku tetap bersedia menanggung rasa benci darimu” Cambria beranjak ke depan Hazal. “Jika kau ingin membunuhku kau bisa ambil kepalaku sekarang juga” Hazal menarik kerah mentel tidur keemasan dari sutera yang membalut tubuh Cambria dan mengguncang tubuhnya dengan penuh kemarahan yang berkobar. Ketika melihat luka di sudut lehernya, ia tiba-tiba melepaskan cengkramannya. “Pergilah dan jangan pernah lagi berani menginjak kamarku” perintahnya. Cambria diam mengerutkan bibir dan mengangguk dengan air mata yang jatuh di pipinya kemudian membungkuk hormat sebelum pergi
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD