3. Keraguan

2010 Words
Perasaan Kailin tak karuan, ia bimbang dengan apa yang akan ia lakukan. Ia sudah berjanji pada Vero bahwa ia akan menikahi wanita itu. Namun, ia begitu takut mengatakan yang sejujurnya pada Kani tentang niatannya untuk berpoligami itu. Kailin duduk di sofa ruang keluarga, ia menatap istrinya yang kini sibuk menyiapkan kopi untuknya. Ketika Kani menyuguhinya dengan secangkir kopi, ia meminta istrinya itu untuk duduk. "Dimana Kaira?" tanya Kailin karena tak melihat buah hatinya di rumah. "Kaira di rumah Ibu, Mas. Tadi nangis-nangis mau ke sana, pas diajak pulang malah nggak mau," jawab Kani apa adanya. Kailin hanya mengangguk lemah. "Ehm,-" Kailin ingin sekali menanyakan masalah poligami pada Kani, namun ia ragu. "Kenapa, Mas? Mau ngomong apa?" tanya Kani karena melihat mimik wajah suaminya yang terlihat murung. "Enggak, aku masih kaget aja sama Pak Juki dan istrinya. Selama ini mereka hidup rukun," ucap Kailin yang mencoba memancing pembicaraan mengenai poligami. Kani mengangguk, membenarkan ucapan sang suami kalau selama ini rumah Pak Juki terlihat baik-baik saja. "Dalamnya hati orang, siapa yang tahu, Mas? Sekalipun Bu Indri baik, poligami bukan hal yang mudah diterima bagi semua wanita." Kani menatap kosong pada foto pernikahannya yang terpajang cantik di ruang keluarga itu. Wanita itu secara tidak sengaja membayangkan kalau dirinya yang diperlakukan sama seperti tetangganya-dipoligami. Kailin terdiam. Apa yang Kani ucapkan barusan memang benar adanya. "Lalu, menurutmu ... poligami itu sendiri bagaimana?" Kailin masih membahas masalah poligami dengan istrinya. Kani menggeleng pelan. "Aku nggak tahu, Mas. Poligami itu kan intinya berbagi, dan ... menerima hasil pembagian itu bukanlah hal yang mudah." Kani menatap Kailin dengan tatapan penuh curiga. "Kenapa Mas tanya begitu?" Kailin tampak gelagapan. Untuk beberapa saat, ia sempat memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri karena bingung harus menjawab apa. "Enggak, aku cuma mau tahu aja apa yang kamu pikirkan tentang poligami," jawabnya dengan suara yang sedikit terbata. Kani semakin curiga. "Apa Mas ... sama seperti Pak Juki?" Kani mengumpulkan semua keberaniannya untuk menanyakan langsung kecurigaannya pada sang suami. Kani kembali tercengang, pertanyaan dari sang istri membuat degup jantungnya semakin cepat dan tak beraturan. Ia ingin jujur tentang rencananya yang ingin menikahi Vero, tetapi ia takut keputusannya itu akan membuat rumah tangganya dengan Kani harus berakhir. "Kamu ngomong apa? Kamu satu-satunya istri aku," ucap Kailin dengan sedikit menaikkan volume suaranya. Kailin tidak berbohong. Saat ini, Kani memang masih menjadi satu-satunya istri sahnya. Namun, ia tak menceritakan niatannya untuk menambah istri. Kani mengembuskan napas panjang. Ia lega dengan pengakuan Kailin, ia memilih percaya pada ucapan suaminya tersebut. Berburuk sangka pada sang suami hanya akan menimbulkan pemikiran negatif yang tidak baik untuknya, itulah yang ia pikirkan. Dengan mempercayai sang suami, ia berharap Kailin bisa mempertanggungjawabkan apa yang sudah ia ucapkan. "Maaf, Mas. Aku cuma tanya aja," ucap Kani sambil tersenyum malu. Kailin lalu beranjak meninggalkan Kani dan menuju ke kamar. "Kopinya, Mas," teriak Kani ketika melihat Kailin pergi tanpa mencicipi kopi buatannya. "Nanti, masih panas. Aku mau mandi dulu." Kailin hanya ingin segera meninggalkan Kani karena detak jantungnya yang masih tak terkendali. Ia terlalu takut untuk mengungkapkan keinginannya. "Aku nggak mau pisah sama kamu, kamu istri aku. Kamu akan jadi istri aku untuk selamanya. Dan aku berjanji akan berusaha bersikap adil untuk kalian," batin Kailin. . Sementara Vero, ia tengah berbahagia hari ini. Keinginannya untuk menjadi istri Kailin akhirnya bisa terwujud. "Aku nggak mau lama-lama menjanda. Aku juga masih cinta sama kamu, Kai. Aku nggak peduli kalau sekarang aku jadi istri simpanan kamu. Tapi lihat aja, aku akan segera buat kamu ninggalin istri kamu. Hanya aku yang nantinya jadi istri kamu." Vero bertekad ingin membuat Kailin menceraikan Kani. Ia tak ingin berbagi, ia ingin menjadi satu-satunya istri Kailin. Selain karena mapan, ia memang masih memiliki perasaan pada mantan kekasihnya itu. "Ma, bantuin Disa bikin gambar kapal. Tadi Ibu Guru kasih tugasnya ini, Disa nggak bisa gambar." Anak semata wayang Vero merengek, meminta ibunya untuk menyelesaikan tugas sekolahnya. Vero sendiri tak jago menggambar, ia mendengus kesal karena merasa lelah harus mengurus anaknya seorang diri. Semenjak diceraikan mantan suaminya, ia memang harus berusaha keras untuk mencari nafkah dan menjaga buah hatinya itu. "Sini Mama gambarin," ucap Vero sambil mendekat ke anaknya. Wanita itu lalu mengambil pensil warna dan menggambar di buku gambar milik anaknya. Beberapa menit kemudian, Disa berteriak kesal. "Ma, nggak mau, ini jelek. Maunya yang kayak gini, ini jelek," rengek Disa setelah melihat hasil gambar Vero yang dianggapnya jelek. Vero kebingungan. Ia sudah berusaha keras untuk menggambar kapal semirip mungkin dengan contoh yang Disa harapkan. Sayangnya, kemampuannya dalam menggambar memang tak bagus. "Maafin, Mama, ya. Nanti Mama gambarin lagi, jangan nangis." Wanita itu merayu sang anak, tetapi Disa terlanjur menangis dan berteriak meminta gambar yang bagus. Pada saat itu, Vero tiba-tiba memikirkan Kailin. Wanita itu ingat kalau mantan pacarnya itu jago menggambar. "Disa, Sayang, sebentar ya. Mama panggilin temen Mama yang pinter gambar. Nanti, Mama minta temen Mama buat gambarin Disa kapal yang baguuus banget. Disa mau?" Disa mengangguk. "Sekarang." "Iya, sekarang Mama telepon temen Mama." Vero segera menghubungi nomor ponsel Kailin. Saat itu Kailin baru saja tiba di tokonya setelah pulang mandi dan makan malam bersama Kani. Ia segera mengangkat telepon itu. "Kenapa, Ve?" tanyanya santai. "Kai, boleh minta tolong, nggak?" "Kenapa?" "Kamu kan jago nggambar. Anak aku ada tugas nggambar kapal ini. Aku udah gambarin, tapi jelek, eh dia malah nangis. Kamu bisa ke sini sekarang, enggak? Soalnya anak aku masih ngambek itu," ucap Vero dengan nada manja. Kailin menoleh ke sana ke mari, melihat kondisi tokonya yang masih ramai pembeli. Selepas maghrib, tokonya memang ramai karena kebanyakan pembeli baru berbelanja setelah pulang bekerja. Dengan berat hati, Kailin mengiyakan keinginan Vero. Ia terpaksa meninggal tokonya yang masih ramai itu dan menyerahkannya pada karyawannya. "Aku ada urusan, nanti kalau jam 9 aku belum balik ke sini, kirim laporan penjualan lewat WA," pinta Kailin pada Bambang, salah satu karyawannya yang paling ia percaya. "Baik, Pak." Kailin akhirnya pergi menggunakan sepeda motornya menuju ke rumah Vero. Sesampainya di sana, wanita itu sudah menanti kedatangannya dengan senyum mengembang di wajah ayunya. "Maaf, ya. Aku ngerepotin kamu, habis anak aku ngambek, terus nangis-nangis." Tanpa menyapa atau basa-basi, Vero langsung meminta maaf demi terlihat manis di depan Kailin. Kailin tersenyum sembari melepas helm. "Nggak apa-apa, selagi aku bisa, aku akan bantu." Pria itu lalu turun dari motornya dan mengikuti sang pemilik rumah untuk masuk ke dalam rumah. Ketika masuk, Kailin melihat Disa yang masih sibuk menggambar kapal di buku gambarnya. Anak kecil itu membuat garis lurus, lalu dihapus, hal itu dilakukan berulang kali karena ia pikir gambarnya tak sama. Kailin tersenyum melihat tingkah Disa. "Lucu banget anak kamu," ucapnya lirih. Vero mendekati Kailin dan berbisik tepat di samping telinga kirinya. "Sebentar lagi dia akan jadi anak kamu juga." Keduanya lalu saling tatap dan terkekeh lirih. "Disa, Sayang. Ini teman Mama udah dateng. Namanya Om Kai, nanti Om Kai yang akan bantu Disa buat nggambar kapal." Vero mengenalkan Kailin ke Disa. Anak perempuan itu menoleh dan memperhatikan Kailin dengan seksama. "Om beneran bisa menggambar kapal? Gambar Mama jelek, Disa nggak suka." Kailin mengangguk sambil tersenyum. Ia kemudian menghampiri Disa dan mulai menggambar sesuai yang anak itu inginkan. "Wah, gambar Om bagus banget!" Disa memekik senang ketika melihat hasil gambar Kailin di bukunya. "Siapa dulu dong yang nggambar, Om Kai." Pria itu menyombongkan dirinya sendiri. Suara gelak tawa mengisi rumah minimalis yang didominasi warna putih itu. Tak butuh waktu lama, Kailin berhasil menggambar kapal sesuai yang Disa inginkan hanya dalam waktu kurang dari 30 menit. Ia pikir ia bisa segera pulang. Sayangnya, anak perempuan yang akan menjadi anak tirinya itu malah meminta dirinya untuk menggambar lebih banyak. Mulai dari rumah, sawah dan bahkan kucing, Disa meminta kekasih ibunya itu untuk menggambarnya. Tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepat. Sudah jam 9 malam lewat 15 menit dan Disa masih merengek meminta Kailin menggambar. "Satu lagi, gambarin bunga mawar, ayo, Om, satu lagi," rengeknya. Kailin berulang kali melihat jam tangannya. Ia lalu melirik Vero, wanita itu hanya bisa mengendikkan bahu. "Udah ya, Sayang. Kan udah banyak gambarnya. Om mau pulang, ini udah malem, Sayang." Vero merayu anaknya. "Yah ... tapi, besok Om ke sini lagi, ya?" Sebuah permintaan lugu dari anaknya, membuat Vero bahagia bukan kepalang. Ia tak perlu merayu anaknya untuk menerima Kailin jika ia akan menikah dengan mantan pacarnya itu. Bahkan, sekarang anaknya itu malah seperti tak ingin pisah dari pria yang sudah menjanjikan pernikahan untuknya. Kailin pun ikut senang melihat tingkah Disa yang ia anggap lucu. "Om Kai kan harus kerja, Sayang," ucap Vero mencoba mencari perhatian dari Kailin. "Aku bisa ke sini lagi, kok, besok." Melihat Vero dan anaknya yang begitu mengharapkannya, Kailin begitu bersemangat memberikan janji untuk bisa ke rumah itu esok hari. Walaupun ada secuil rasa penyesalan di dalam hatinya karena ia seperti melupakan Kani dan Kaira. "Janji?!" Disa menyodorkan jari kelingkingnya ke depan Kailin. Pria itu mengaitkan jari kelingkingnya di jari kelingking anak perempuan itu. "Janji!" tegasnya. "Hore!" Disa bersorak senang. "Ya udah, Disa bobo ya, sekarang. Ini udah malem, besok Om ke sini lagi." Kailin akhirnya pamit pulang. Namun, ketika ia sedang memakai helm, Vero mempertanyakan kejelasan mengenai hubungan mereka. "Gimana? Kamu udah tanya sama istri kamu? Atau, kamu mau rahasiain pernikahan kita? Kapan kamu mau nikahin aku?" tanyanya lugas. Kailin mengembuskan napas panjang. "Aku pasti akan nikahin kamu, Ve. Kamu tenang saja, aku masih memikirkan banyak hal, termasuk melamar kamu di depan orang tuamu." Ucapan Kailin barusan menyadarkan Vero bahwa ia belum meminta izin untuk menikah lagi. Ia sendiri tak yakin orang tuanya akan menyetujuinya, status Kailin yang masih menyandang sebagai suami wanita lain adalah hal yang sulit untuk Vero jelaskan pada orang tuanya. "Aku kan udah bilang, aku nggak masalah nikah siri sama kamu. Jadi, kamu juga nggak perlu lamar aku di depan orang tuaku." "Kalaupun aku menikahimu secara siri, artinya aku hanya akan menyembunyikannya dari istri dan anakku. Tapi enggak buat orang tuamu, mereka tetap harus tahu. Bahkan, kamu butuh ayah kamu buat jadi wali nikah kita. Nggak mungkin aku nggak melamarmu, Ve." Dengan tegas Kailin mengatakan, membuat Vero sadar kalau pernikahannya memang harus disaksikan dan direstui kedua orang tuanya. Vero terdiam. Kailin yang sudah mengenakan helm, kembali ia lepas dan menatap wanita yang akan ia nikahi itu dengan lekat. "Aku udah janji akan menikahimu. Aku serius dengan itu, kamu nggak usah mikir yang aneh-aneh. Bukannya kamu bilang kalau orang tua kamu udah tahu dan setuju?" Vero tampak gelagapan. "I-iya. Tapi ... aku takut kamu nggak jadi nikahin aku," ucap Vero yang mencoba mengalihkan pembicaraan. Kailin mengembuskan napas panjang. Ia berjalan mendekati Vero setelah meletakkan helm di atas motor. "Aku serius ingin menikahimu, Ve. Aku masih suka dan sayang sama kamu. Selama ini aku juga masih memikirkanmu. Aku bahkan menyesali perjodohanku. Jadi, kamu tenang aja, ya. Aku pasti menikahimu." "Kamu nyesel? Kalau begitu, kamu mau ceraiin istri kamu?" Kailin menggeleng. "Aku udah bilang, aku nggak akan ceraiin dia. Aku hanya akan menikahimu kalau kamu mau berbagi dan menerima status aku sekarang. Bukannya kamu udah setuju, kemarin?" Kailin meninggikan suaranya. Ia merasa Vero seperti tak serius dengan ucapannya kemarin. "Jika aku bisa memilih, aku ingin dia pergi dan hidup berdua denganmu. Aku tak ingin berbagi." Kailin tercengang mendengar pengakuan Vero yang ternyata berbeda dengan apa yang wanita itu ucapkan kemarin. "Tapi ... aku nggak bisa memilih, kan, Kai? Aku hanya bisa menerima apa yang kamu pilihkan buat aku kan? Aku hanya akan jadi yang kedua buat kamu? Selamanya?" lanjut Vero, matanya kini mulai berkaca-kaca. Kali ini ia tak bersandiwara, ia memang masih mencintai Kailin dan berharap menjadi istri pria itu. Namun, kenyataan ia akan menjadi yang kedua membuat perasaannya hancur. "Maafin aku, Ve. Dari awal aku udah bilang kalau aku nggak bisa ninggalin istri aku sekarang. Kalau kamu tersiksa seperti ini, aku akan batalin niatan aku buat menikahi kamu. Aku nggak ingin menyakiti siapapun, Ve." Ucapan Kailin barusan membuat Vero terkejut bukan main. Ia menggeleng hebat. "Nggak, aku mau kok jadi yang kedua. Baiklah, apapun syaratnya, aku akan terima. Asal kita bisa menikah. Aku masih sayang sama kamu, Kai. Kamu bilang, kamu juga sayang kan sama aku?" "Tapi kalau pernikahan kita ternyata malah buat kamu sedih, aku akan batalin niat aku buat menikahimu." Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD