Emily sedang membuat sarapan ketika Aram dan Nathaniel melangkah masuk kedalam dapur. Nathaniel langsung mengambil posisi duduk di kursi di depan kitchen island sementara Aram membuka kulkas untuk mengambil pitcher berisi jus.
"Kalian mau roti isi?", tanya Emily sambil menatap Aram dan Nathaniel bergantian.
Nathaniel menggeleng, "Tidak. Aku sebentar lagi pergi bersama Annellise untuk sarapan di dekat sungai thames.",
"Aku juga tidak.", timpal Aram. Ia menuangkan jus kedalam dua gelas sebelum mengembalikan pitcher kedalam kulkas.
"Baiklah kalau begitu..", gumam Emily. Ia kembali melanjutkan mengoleskan mentega diatas dua roti gandum sebelum memasukkannya kedalam pemanggang roti. Kemudian ia menyiapkan isi untuk rotinya tanpa memperdulikan Aram atau pun Nathaniel yang mulai membahas otomotif.
"Kalau kau mau mencobanya. Ambil saja kuncinya di meja foyer.", kata Aram sambil menyodorkan segelas jus pada Nathaniel. Ia duduk di sisi laki-laki itu dan mulai menyesap sedikit demi sedikit jusnya.
Nathaniel menggeleng. "Tidak hari ini. Annellise membenci mobil sport karena suaranya yang keras. Belum lagi aku yang selalu tidak tahan untuk mengebut.",
Aram terkekeh pelan. Mendengar kalimat terakhir Nathaniel membuat Aram jadi ingat masa remajanya dulu. Ia juga kerap balapan dengan teman-temannya hanya karena harga diri dan pamer pada perempuan. "Kalau begitu bawalah saja rover-ku.",
"Tidak perlu. Aku akan menghubungi Jhonson untuk mengantar mobilku kemari.",
"Kau tidak akan menghubungi Jhonson. Selama kau dan Emily tinggal bersamaku. Kalian berdua akan memakai fasilitasku. Dan apapun yang kalian butuhkan jangan mengganggu orang-orang mansion. Biarkan mereka bersantai.",
Nathaniel menyeringai. "Kalau begitu aku pinjam ducati-mu.",
Emily yang mendengarnya langsung menimpali. "Percayalah Annellise juga membenci motor.", ia jadi teringat kejadian tempo hari saat Aram menjemputnya menggunakan motor saat mereka bertemu untuk kedua kalinya.
Aram melirik Emily sekilas. "Aku tidak masalah. Tapi apa kau yakin Annellise mau? Kau sendiri yang berkata jika dia membenci mobil sport.",
"Aku akan mencobanya. Siapa tahu ia mau dan menyukainya.",
"Terserahmu saja.", kata Aram sambil membuat gerakan memutar pada gelasnya.
Nathaniel turun dan bangkit berdiri. Dengan cepat ia meneguk habis jus miliknya. Kemudian menepuk bahu Aram. "Aku duluan.", pamitnya sambil lalu.
Emily yang baru saja membuat telur mata sapi langsung meneriaki Nathaniel. "Aku sarankan jangan mengebut atau kau akan diputuskan Anne!",
Aram yang mendengar teriakan itu mendengus geli dan kembali menyesap jus-nya. Ia menggeleng pelan.
"Apa?", tanya Emily. Ia menyadari dengusan Aram meninggalkan jejak ejekan.
Aram mendongak menatap Emily. "Apanya yang apa?", tanyanya tanpa dosa.
Emily mendesah pelan. "Lupakan.", jawabnya. Ia menata rapi roti lapis buatannya diatas piring dengan urutan ham, keju, dan telur. Lalu menambahkan sedikit saus tomat dan mayones.
Aram meletakkan gelasnya. Ia melipat kedua tangannya diatas kitchen island. "Aku dengar dari Antonio- kalian berdua hari ini akan melakukan tes produksi.",
"Oh ya, aku lupa memberitahumu.", Emily dan Antonio sudah merencanakan tes produksi itu sejak pertama kali mereka bertemu- tiga hari lalu.
"Pukul berapa?",
"Sepuluh nanti.",
Aram meneggekkan tubuhnya. "Kalau begitu aku akan mengantarmu.",
"Tidak perlu.", sahut Emily cepat. Ia mendongak menatap Aram. "Kau langsung saja menjemputku nanti sore di hotel.", ia tidak ingin merepotkan pria itu. Bayangkan saja, sebentar lagi Aram akan berangkat bekerja, kemudian kembali menjemput Emily, mengantarnya ke hotel, lalu menunggunya hingga sore. Atau skenario terburuk. Aram tidak bekerja hari ini dan menemaninya seharian.
Jika dipikir-pikir. Bahkan Aram sudah bisa dikategorikan sebagai supir pribadinya. Ralat- asisten pribadinya.
"Aku tidak mene-",
"Penolakan?", timpal Emily memotong perkataan Aram.
"Itu kau tahu.",
Emily menghela napasnya. "Aku tahu niatmu baik. Kau ingin menjagaku dan aku sangat menghargainya. Tapi kau berlebihan.", katanya pelan. "Kumohon jangan mengatakan kau tidak menerima penolakan atau menyombongkan diri dengan pundi-pundi uang yang tidak mungkin habis jika kau meninggalkan pekerjaanmu.",
Aram diam menunggu Emily kembali menjelaskan. Ia tahu jika Emily belum selesai mengeluarkan pemikirannya.
"Bagilah waktumu dengan baik. Ketika kau memang harus bekerja. Bekerjalah. Ketika kau harus menjemputku. Silahkan saja. Lagipula ada supirmu. Kau mengerti maksudku-kan?",
"Baiklah kalau begitu. Aku akan menjemputmu sore nanti.",
Emily mengerjap. "Kau setuju?",
Aram mengangguk kecil. "Iya. Kenapa? Do you want a fight?",
"Aku hanya tidak mengira kau menyetujui perkataanku secepat itu. Biasanya kau masih mendebatku.",
Aram mengangkat sudut bibirnya. "Karena kau sudah pandai membalik perkataanku. Aku memilih diam dibandingkan harus berdebat denganmu.",
"Baiklah kalau begitu... sampai jumpa nanti sore.",
"Kalau ada masalah hubungi aku.", Aram turun dari kursi sambil membenarkan dasinya.
Emily mengangguk. "Ya.",
Aram hendak berlalu. Namun tiba-tiba ia berhenti melangkah.
"Ada apa?", tanya Emily sambil mengedarkan pandangan keseluruh kichen island mencoba untuk mencari sesuatu yang mungkin lupa Aram bawa.
Aram tersenyum licik dan mengambil roti lapis milik Emily dengan cepat. "Sekarang aku lapar.",
"Aram!",
"I'll see you later.",
...
Emily memperlambat langkahnya ketika baru memasuki lobi hotel karena ponselnya berdering. Dengan cepat Emily mengambil ponselnya dari saku jeans dan mengangkat panggilan itu setelah melihat nama Steven tertera di layar. "Hai.", sapanya ceria.
"Hai... Apa yang sedang kau lakukan?",
"Oh aku berada di Hamstead Heat Royal Palazo.",
"Salah satu hotel milik Aram?",
Emily menghimpit ponselnya dengan bahu sebelum membenarkan posisi tas-nya. "Iya.",
"Untuk apa?", tanya Steven penasaran.
Emily kembali melanjutkan langkahnya. "Kau ingat aku ingin membuka kafe bukan?", ia masuk kedalam lift dan menekan lantai dua. "Aram membantuku untuk mempersiapkannya. Dia memperkenalkanku dengan salah satu temannya yang menjadi kepala koki di hotel ini.",
"Kalau begitu aku akan menghubungi lagi nanti. Aku sendiri juga baru sampai di kantor Home Secretary Presscott. Ia ingin membuat warisan untuk anak-anaknya.", jelas Steven. Berbicara mengenai pria itu. Steven sendiri juga terjun ke dunia politik mengikuti jejak orang tuanya. Namun ia belum begitu dikenal dan ternama seperti orang tuanya karena ia terfokus menyelesaikan gelar masternya dibidang hukum.
"Oh baiklah... Kemungkinan aku disini sampai sore. Jadi bagaimana nanti malam?",
"Ya. Nanti malam aku akan menghubungimu.",
"Selamat bekerja dan sampai jumpa.",
"Kau juga. Sampai jumpa.",
Emily memutuskan panggilannya secara bersamaan pintu lift terbuka.
Emily melangkah masuk dan langsung diijinkan oleh pelayan yang berjaga di pintu restoran tanpa bertanya hal lainnya selain nama. Mungkin Aram atau Antonio sudah memberitahu akan kedatanganya pagi ini.
Restoran tampak penuh karena pagi ini masih jam sarapan tamu-tamu hotel. Dan untuk tamu umum- kalau tidak salah dengar dari Aram. Restoran dibuka pukul sebelas siang.
"Emily.",
Panggilan Antonio membuat Emily menoleh mencari pria itu ketika ia hendak membuka pintu ruangannya. Dengan cepat matanya mencari sosok Antonio dan ia menemukan pria itu berdiri di belakang pembatas kaca untuk dapur panas. Emily mendekat dan berhenti tepat di depan pembatas itu. "Apa boleh aku masuk?", tanyanya. Ia belum mengenakan celemek, pengikat dan jaring rambut.
"Oh ambil saja celemek di ruanganku.",
Emily mengangguk kecil. Ia segera masuk kedalam ruangan Antonio dan meletakkan tas-nya di sofa. Beberapa saat kemudian, Emily keluar sudah menggunakan celemek dan rambutnya dicepol. Terlihat begitu menggemaskan bagi Antonio. "Oh you look so cute.",
Emily mendengus pelan. Antonio memang perayu wanita. "Don't start, okay?",
Antonio terkekeh pelan. "Aku hanya berkata apa adanya.",
Emily tidak menggubrisnya dan mengalihkan pembicaraan. "Apa ada yang bisa kubantu?",
"Tidak ada.", jawab Antonio cepat. "Kau kemari untuk membuat pastry bersamaku. Bukan membantuku menyiapkan sarapan para tamu.", kemudian Antonio menepuk bahu Emily, memutar tubuh wanita itu dan mendorongnya menuju dapur khusus untuk membuat pastry di ruangan selanjutnya.
Ketika mereka sampai. Emily mengedarkan pandangan keseluruh dapur dengan mata berbinar. Jika ditanya apakah surga dunia. Emily tentu akan menjawab dapur dimana ia berdiri saat ini.
"Ayo.", Antonio mengajaknya berkeliling beberapa saat sebelum memperkenalkan Emily pada semua orang yang ada. "Semuanya, perkenalkan Emily Heywood. Dia tamu kita hari ini.",
Empat orang yang ada di dapur tersebut menghentikan aktifitasnya sejenak dan menyapa Emily. "Hai Emily. Aku Ben- sous chef pastry.", kata seorang pria berambut merah yang berdiri di sebrang meje dekat Emily berdiri. Ia tersenyum ramah.
"Aku Julia. Apprentice.", sahut seorang perempuan berlesung pipi yang tampak seumuran dengan Nathaniel. Ia berdiri di depan chiller.
"Aku Jackson. Chef de partie.", kini gilir pria berparas asia yang sedang membuat adonan di ujung ruangan melambaikan tangannya.
Antonio melipat tangannya didepan d**a. "Dan mereka semua juga tentunya menjadi pastry cook. Kecuali aku.",
Emily menoleh menatap pria itu. "Kenapa?",
"Karena aku Executive Chef.", jawabnya dengan penuh percaya diri.
Emily menggelengkan kepalanya. "Kau dan Aram. Aku tahu kenapa kalian berdua bisa berteman dekat. Kalian mirip.",
"Tidak. Kita tidak mirip. Aku lebih tampan.",
Emily akui jika Antonio Maxwell adalah pria sejuta pesona. Kelebihannya mampu menutupi segala kekurangannya. Entah apa kekurangannya- Emily ragu jika pria itu memiliki kekurangan. Namun ia memiliki pendapat yang berbeda. "Aram lebih tampan.", sahut Emily sambil lalu menuju Julia.
"Sudah kuduga kau akan mengatakan itu.", gumam Antonio sambil mendengus geli. Ia menggelengkan kepalanya.
...
Emily sedikit berjinjit dan tersenyum puas melihat pastry-pastry didalam oven telah mengembang sempurna. Beberapa saat kemudian alaram yang telah dipasang Antonio berbunyi. Pria itu menghampiri Emily sambil memasang sarung tangan kain.
"Menyingkirlah. Aku akan mengeluarkan pastry-pastry itu.",
Emily melangkah mundur. Ia membiarkan Antonio membuka oven yang ukurannya lebih besar dibandingkan Emily. Seketika hawa panas dari dalam oven menerpa kulitnya. Namun tidak membuat Emily menyingkir semakin jauh sehingga Antonio berdiri di hadapan wanita itu.
"Kau siapkan saja rak pendinginnya.",
Emily mengangguk kecil. Ia mengambil peralatan yang diminta Antonio dari dalam pantry yang tidak jauh dari posisinya berdiri. Bersamaan dengan Antonio yang sudah meletakkan tray besar berisi banyak jenis pastry yang mereka buat- Emily datang. Ia meletakkan rak tersebut diatas meja.
Perlahan. Satu-persatu Antonio memindahkan pastry dari baki keatas rak dibantu Emily. Setelah semuanya selesai. Mereka berdua segera mencuci tangan.
"Oh jantungku berdebar.", gumam Emily sambil menyentuh d**a kirinya.
"Kenapa?", tanya Antonio bingung setelah ia mengeringkan tangannya yang basah dengan kain bersih.
Emily meringis. "Biasanya aku percaya diri jika yang mencicipi pastry buatanku adalah orang seperti ibu atau adikku. Intinya orang awam. Tapi kau- kau seorang kepala koki restoran ini.",
Antonio merasa tersanjung. Ia tersenyum simpul. "Tenang saja. Kau lulusan terbaik diangkatanmu dan pernah menjadi karyawan magang di Ramsay.",
"Tetap saja!",
"Jadi apa aku boleh mencobanya atau tidak?", tanya Antonio sambil menahan senyum di bibirnya.
Emily hanya mengangguk kecil. Kemudian ia menggigit kuku ibu jarinya ketika Antonio mengambil sebuah danish. Pria itu meniupnya beberapa kali sebelum mengambi gigitan pertama.
"Bagaimana?", tanya Emily penasaran.
Antonio masih mengunyah. Ia berusaha merasakan tingkat kerenyahan, kemanisan, dan segala sesuatu dari danish itu. Perlahan ia meletakkan sisa danish ditangannya membuat Emily meneguk salivanya susah payah. Namun ternyata pria itu hanya menggodanya. Dengan cepat Antonio kembali menggigit danish yang tadinya hendak ia letakkan smabil tertawa keras.
"Tidak lucu Antonio!", gerutunya.
Antonio mengontrol tawanya. "Maafkan aku. Sangat disayangkan tidak melihat raut wajahmu tadi.", katanya.
Emily mendengus. Tawa pria itu begitu menular sehingga mau tidak mau Emily tersenyum. "Apakah aku lulus?",
"Kau lulus!", serunya membuat senyum di bibir Emily semakin merekah. "Cobalah.", tambah Antonio sambil menyuapkan bagian danish yang belum digigitnya pada Emily.
Emily menarik pergelangan Antonio dan menerima suapan itu perlahan. "Kau harus coba tartlet-nya. Kata orang-orang, tartlet buatanku yang paling enak.", katanya setelah berhasil menelan danish didalam mulutnya.
Antonio mengikuti permintaan Emily. Ia meletakkan danish dan mengambil dua tartlet yang ada diatas rak. Ia memberikan satu untuk Emily. "Terima kasih.",
Mereka berdua melakukan sulang dan Emily membiarkan Antonio terlebih dahulu mencicipi tartletnya. Ia ingin mendengar pendapat pria itu. "Apa aku lulus lagi?",
Antonio memejamkan matanya ketika merasakan vla mengalir kedalam mulutnya ketika ia menggigit tartlet itu. Ia berdehem sambil mengatakan. "This is so good.", ia membuka matanya. "Kau benar. Tartelt-mu adalah yang terbaik.",
Emily tidak menjawab. Ia tersenyum lebar. Namun tanpa diduga- ketika Emily mengamati Antonio yang tampak lahap. Ia menekan tartlet dalam genggamannya sehingga pecah dan vla didalamnya menyembur. "Oh tuhan!", pekiknya.
Emily tercenga. Ia menunduk menatap tartlet ditangannya sebelum melihat bagian dadanya yang dipenuhi vla. Bahkan sangat terasa dibagian lehernya mengalir sesautu yang lengket dan kental. Sedangkan Antonio. Ia dengan sigap mengambil kain bersih untuk Emily. "Aku akan mencari tisu basah di ruanganku.", katanya sambil lalu.
Saat itu. Aram muncul dari pintu dapur bersisipan dengan Antonio yang berlari kecil. "Ada apa?", tanyanya. Namun Antonio terlebih dahulu pergi membuat Aram mengernyit bingung.
Ia melangkah masuk dan melihat Emily berdiri di belakang meja sambil mengusapkan sebuah kain ke leher hingga dadanya. "Apa yang terjadi?",
Emily mendongak menatap Aram. "Aku tanpa sengaja memencet tartlet sehingga isinya menyembur.", jawabnya sambil meringis. Kemudian ia melanjutkan aktifitasnya membersihkan kaus yang dikenakannya.
Aram mendengus geli. Ia menghampiri Emily dan membantu wanita itu membersihkan diri. Mulai dari tepung menggumpal di anak-anak rambut yang menjuntai kebawah. Lalu tepung kering di pelipis kanan Emily.
"Kau tunggu saja di ruangan Antonio agar pakaianmu tetap bersih.",
Aram tidak menjawab membuat Emily menatapnya. "Apa?", tanyanya.
"Kau benar-benar seperti tartlet-mu sendiri.", kata Aram sambil terkekeh pelan. Ia mengambil selangkah untuk mendekat. Ia mengusapkan ibu jarinya di ujung bibir Emily untuk membersihkan vla yang ada. Kemudian, perlahan Aram membuka bibirnya sedikit dan mencicipi vla itu. "Hmmm you're taste like sugar.",
...