Aram cukup terkejut ketika Steven yang membuka pintu kamar Emily. Ia mengangkat sebelah alisnya tinggi. "Kenapa kau disini?", tanya Aram bingung karena sejak pagi Emily tidak mengatakan apapun tentang Steven yang akan datang hari ini.
"Oh tadi aku kebetulan lewat. Jadi aku mampir."
"Dimana Emily?"
"Dia sedang mandi.", jawab Steven dengan santainya.
Aram mengerjap mendengar jawaban itu. Ia berdehem pelan sebelum berkata, "Sampaikan padanya aku pergi bersama Antonio."
"Akan kusampaikan. Tenang saja.", kali ini senyuman di bibir Steven semakin lebar.
Aram mendengus. "Selama aku pergi. Aku sarankan kalian berdua tidak melakukan hal yang aneh-aneh."
"Seperti?"
"Kau tahu apa maksudku."
Steven menepuk bahu Aram cepat. "Tenang saja. Aku tidak akan melakukan apapun dengannya malam ini.", katanya. Ia menekankan dua kata terakhir. "Hati-hati dijalan.", tambahnya. Ia hendak menutup pintu kamar ketika Aram menahannya.
"Dua hal lagi.", sergah Aram cepat.
"Ya?"
"Aku tahu kau punya sejarah dengan Emily dan mungkin jika kau memiliki kesempatan untuk mengulang semuanya kembali- Natalie dan Nate merestuimu. Tapi tidak denganku. Kau masih dalam pengawasanku. Jadi jangan senang terlebih dahulu."
Steven mengangkat sudut bibirnya. "Tidak kusangka kau kakak yang protektif."
"Terakhir... Sampai sesuatu terjadi dengannya. Aku benar-benar akan membuatmu menyesal dan berharap kau tidak pernah bertemu denganku."
"Pesan diterima, kakak ipar."
...
"Kau tidak mengajak Emily?"
Aram baru saja masuk kedalam ruang VIP kelab malam ketika Antonio bertanya. Pria itu mencoba mencari-cari seseorang di belakang Aram. "Dia sedang bersama mantan kekasihnya."
Antonio menoleh menatap Aram, matanya mengikuti pria itu hingga duduk di sofa yang ada di sebrangnya. "Apa?",
Aram melemparkan dompet dan ponselnya pelan diatas meja. "Dia bersama mantan kekasihnya.", kemudian ia menyandarkan diri.
"Dan kau kemari, bertemu denganku?", tanya Antonio dengan nada tidak percaya.
"Aku sudah memperingatkan mantan kekasihnya. Jadi tidak perlu khawatir."
Antonio menggelengkan kepalanya. "Kau benar-benar kacau. Bisa-bisanya kau membiarkan Emily bersama mantan kekasihnya. Apa kau tidak takut cinta lama bersemi kembali?"
"Tidak terlalu.", jawab Aram cepat. "Emily pernah berkata jika ia tidak berencana kembali dengan mantan kekasihnya itu. Ia hanya ingin memperbaiki hubungan pertemanan mereka. Itu saja."
"Tetap saja!", Aram melirik Antonio sekilas sebelum memberikan tip kepada pelayan yang baru saja menuangkan minuman untuknya. Ketika pelayan itu sudah keluar dari ruangan mereka berdua. Aram berkata. "Memangnya kau ingin aku melakukan apa?"
"Kau masih bertanya apa yang harus kau lakukan?"
"Karena aku tidak melihat ada sesuatu yang membuatku harus melakukan sesuatu."
"Aram...", panggil Antonio. Ia mencondongkan tubuhnya. "Kau boleh mempercayai Emily. Tapi jangan percaya pada mantan kekasihnya."
"Sudah kukatakan tadi bukan? Aku sudah mengancamnya."
"Ancaman itu hanyalah kata-kata. Dan akata-kata tanpa perbuatan itu sama saja bohong!"
Aram mendengus geli sambil membuat gerakan 'pour the champagne' pada gelasnya. "Kau sekarang mengutip dan memodifikasi kata-kata dari alkitab?"
"Dude! Im serious!"
Aram menyesap sedikit bir-nya. "Aku juga serius.", serunya. "Lagipula pria itu juga belum melakukan apapun pada Emily. Jika aku bertindak- mungkin dengan menjauhkan mereka. Bisa dipastikan Emily yang akan membenciku."
"Tapi kau benar-benar gila. Jika aku jadi kau. Aku tidak akan membiarkan wanitaku berada dalam radius sepuluh meter dengan mantan kekasihnya.", gerutunya. Tanpa Antonio sadari. Ia memang mirip dengan Aram- seperti yang dikatakan Emily. Mereka berdua sama-sama protektif, tidak menyukai Harper, dan sama-sama membenci sebuah hubungan dengan mantan kekasih.
"Masalahnya dia bukan wanitaku."
Antonio menoleh cepat. "Bukan wanitamu?"
Aram meletakkan gelasnya diatas meja. "Hmm dia bukan.", jawabnya. Namun Aram menyadari jawabannya bisa dijadikan Antonio alasan. Dengan cepat ia mengatakan, "Dan dia juga tidak akan menjadi wanitamu.", sebelum Antonio sempat membalas. Padahal dalam benak pria itu sudah terbesit hal-hal mengenai 'mendekati Emily'.
"Kau sendiri berkata jika dia bukan wanitamu. Jadi apa salahnya aku mencobanya?"
"Dia bukan barang."
Antonio mengerutkan keningnya. "Aku masih tidak mengerti kenapa kau seperti, dude."
"Karena kau tidak tahu yang sebenarnya.", gumam Aram namun masih dapat didengar Antonio.
"Kalau begitu katakan yang sebenarnya."
Aram menghela napasnya. Ia mendongak menatap Antonio. "Because she's my sister."
"Your sister? You kidding me? Aku mengenalmu sejak lama dan kau tidak memiliki adik perempuan. Jadi jangan menipuku."
"Aku tidak menipumu. Dia memang adikku. Ralat- akan menjadi adik tiriku."
Antonio tersedak salivanya sendiri. Ia dengan cepat menyambar bir milik Aram dan meneguknya sebagian. Kemudian mendesis pelan karena merasakan tenggorokannya panas. "Dan kau membiarkanku percaya kalau kau dan Emily ada hubungan serius?"
"Terpaksa." jawab Aram cepat. "Pada intinya jangan katakan pada siapapun tentang hal ini. Biar orang-orang mendapat kejutan ketika ayahku dan ibu Emily membagi undangan."
"Aku tidak akan mengatakan apapun pada siapapun. Terutama Harper."
Aram menjentikkan ibu jari dan telunjuknya. "Kau benar. Kalau sampai dia tahu. Tamat sudah riwayatku. Jadi biarkan saja dia beranggapan jika Emily kekasihku."
Antonio meringis. "Sayangnya aku sudah mengatakan pada Harper jika Emily bukan kekasihmu."
Aram melototi dan hendak menyembur Antonio. Namun pria itu terlebih dahulu mengatakan. "Dia bertanya maka kujawab. Setidaknya Harper tidak tahu kalau Emily adalah adikmu.", elaknya.
"Kalau begitu berhati-hatilah untuk yang kali ini.", peringat Aram.
Antonio menepuk tangannya, "Tenang saja. Aku akan mengunci mulutku rapat.", kemudian tangannya membuat gerakan menutup resleting didepan bibirnya.
Aram tidak terlalu menggubrisnya. Ia kembali menuang bir kedalam gelas. Sementara Antonio mulai memanggil wanita-wanita sewaannya. Satu menit kemudian. Tiga orang wanita masuk kedalam. Dua diantaranya mengenakan pakaian yang sama persis. Bahkan dari riasan wajah dan potongan rambut pirang mereka sama. Dan mereka bertiga berdiri di berjejer seolah sedang dalam peragaan busana.
"Yang benar saja? Berempat?", tanya Aram melihat tiga wanita itu bergantian sebelum menoleh menatap Antonio.
"Tidak. Bertiga. Aku dan yang kembar."
Aram mendengus. "Aku tidak ikutan malam ini. Jadi kau ambil saja semuanya."
"Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi."
"Apa maksudmu?", tanya Aram penuh curiga.
Antonio meringis sambil perlahan mengeluarkan sebuah strip obat dari saku kemejanya. Seketika Aram menatap Antonio tajam dan melemparkan bantalan sofa disisinya kepada pria itu. Aram jelas tahu jenis apakah obat itu. "Sialan kau!"
...
Emily dan Steven berjalan di lobi menuju pintu keluar bersamaan dengan petugas valet yang sudah membawakan mobil pria itu. Mereka berdua berpelukan sesaat sebelum Steven masuk . kedalam mobil. Ia memasang sabuk pengaman dan menyalakan mesin. Kemudian membuka kaca jendela mobilnya agar ia dapat melihat Emily dengan jelas. Emily membungkukkan tubuhnya sambil bertumpu pada lutut. Ia tersenyum simpul. "Hati-hati dijalan.", katanya.
"Pasti.", Steven tersenyum.
"Sampai jumpa.", kata Emily. Ia kembali meneggakkan tubuhnya bersamaan dengan Steven yang menutup kaca jendela mobilnya. Perlahan mobil itu melaju sampai pada akhirnya menghilang dari pandangan. Emily mengeratkan jaketyang dikenakannya karena cuaca malam ini sangat dingin hingga seluruh tubuhnya terasa membeku dan mati rasa. Ia buru-buru membalikkan tubuh hendak masuk kedalam lobi. Namun ia mengurungkan niatnya ketika melihat sebuah Audi sedang berwarna hitam.
Emily melihat nomor polisi mobil tersebut dan mendesah pelan. Ternyata Aram sudah pulang. Ia pikir malam ini ia sendirian di griya tawang karena Nathaniel sejak pagi belum pulang. Dan juga sepertinya tidak ada tanda-tanda laki-laki itu pulang cepat meskipun sekarang sudah pukul sebelas malam. "Hai."
Aram yang baru turun dari dalam mobilnya dan memberikan kunci mobil pada petugas valet kini mendongak menatap Emily. Ia terkejut mendapati wanita itu ada di luar. Aram pikir- Emily sudah tidur.
"Oh aku baru saja mengantarkan Steven.", timpal Emily seperti dapat membaca raut wajah Aram.
Aram tidak menjawab. Ia menunduk, mengintari mobil, dan berlalu melewati Emily begitu saja masuk kedalam lobi. Emily membalikkan tubuhnya. Ia menatap punggung Aram yang semakin menjauh sebelum memutuskan mengikuti pria itu. Emily merasa ada sesuatu yang salah. "Aram! Apa kau baik-baik saja?"
Aram tidak menjawab. Ia semakin mempercepat langkahnya hingga Emilly tertinggal ketika ia masuk kedalam lift. Ia segera menekan tombol untuk menutup pintu. Ia benar-benar harus menghindari Emily. Namun ternyata dewi keberuntungan tidak berpihak pada Aram. Emily dengan cepat berlari, menjulurkan tangannya tepat di sela-sela pintu lift yang hendak menutup dan segera masuk. Ia menatap Aram dengan penuh pertanyaan sambil berusaha menetralkan debaran di dadanya.
Aram langsung mengambil selangkah untuk mundur hingga punggungnya menabrak dinding lift berlapis kayu yang dipoles mengkilap. Ia meneguk salivanya susah payah dan berusaha mengontrol napasnya. Tangannya mencengkram kuat rail besi silinder di belakangnya. Emily benar-benar khawatir. Ia mencoba melangkah mendekat hendak menyentuh lengan Aram. "Apa kau-"
"Diamlah!", bentaknya tanpa sadar. "Dan jangan menyentuhku.", tambahnya dengan nada lebih pelan namun tetap terdengar ketus.
Emily terkejut. Ia menarik tangannya dan mengerjap beberapa kali sambil meneliti tubuh Aram dari atas kebawah. "Maafk-"
"Aku bilang diam."
"Aku tidak bisa!", kini gilir Emily yang membentak Aram. "Ada apa denganmu?"
Aram memejamkan matanya dan mendesah panjang. Dalam hati ia memaki dirinya sendiri karena memilih griya tawang di lantai teratas. Sementara gedung ini memiliki total empat puluh lantai. Dan rasanya saat ini terasa seperti neraka. Benar-benar menyiksa bukan hanya tubuh namun juga pikiran dan batinnya. "Aku baik-baik saja.", katanya. Kali ini nadanya terdengar netral. Ia membuka matanya. Namun tidak menatap Emily. Ia menatap layar kecil diatas papan tombol lift yang menunjukkan dimana lift berada.
"Tidak. Kau tidak baik-baik saja, Aram.", bantah Emily.
Aram tidak membalas perkataan Emily. Ia meringis karena berusaha menahan diri dan melawan rasa panas di tubuhnya. "Sialan!", maki Aram entah pada siapa.
Yang pasti Emily tidak merasa jika makian itu untuknya. Dan kini Emily mulai panik. Ia benar-benar tidak mengerti dengan situasi yang terjadi saat ini dan apa yang harus ia lakukan. Ia menyentuh Aram ketika pria itu memejamkan matanya. Namun dengan cepat Aram mencekal kedua pergelangan Emily dan mendorong wanita itu hingga menabrak dinding lift. Emily memekik. Ia memejamkan mata dan seketika menahan napas karena merasakan deruan napas berat Aram menerpa wajahnya. Aram menunduk menghapus jarak diantara wajah mereka hingga ia bisa mencium aroma wangi dari rambut Emily. Aroma perpaduan antara kayu manis dan lavender yang menenagnkan pikirannya yang kalut. Perlahan Aram memundurkan kepalanya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakitimu.", bisiknya.
Saat itu pintu lift terbuka. Aram melepaskan cekalannya dan berlalu cepat. Sementara Emily naru membuka matanya. Ia menghela napas yang tertahan sejak tadi dan segera menghirup udara sebanyak mungkin.
...
Aram memejamkan mata sambil mendongakkan kepala ketika air dingin dari pancuran air yang mengguyur. Kemudian ia mengusap wajahnya sebelum membuka mata dan menunduk menatap tetesan air di lantai. "Sialan!", entah sudah berapa kali ia memaki sejak di klub malam hingga detik ini.
Kalau saja bukan karena perbuatan bodoh Antonio yang memasukkan obat perangsang di dalam bir-nya. Semua kejadian di lift dengan Emily tadi tidak mungkin terjadi. Sekarang Aram tidak tahu harus berbuat apa. Ia benar-benar tidak dapat menatap mata Emily besok.
Di sisi lain. Emily berdiri di depan wastafel kamar mandi didalam kamarnya dan merendam handuk kecil dengan air hangat yang mengalir dari kran. Sebelum menempelkan handuk itu di kedua pergelangannya yang sedikit memar. Emily menghapus embun dan menatap wajahnya di pantulan cermin. Tanpa sadar ia menggigit bibir bawahnya ketika tangannya menyentuh rambut, lalu berpindah ke pipi hingga rahang-nya yang kini terasa panas. Lalu berpindah menyentuh dadanya ketika merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. "Mungkin efek air hangat.", gumamnya terdengar berusaha meyakinkan diri sendiri. "Ya efek air hangat.", tambahnya kemudian sambil menggeleng berusaha menghilangkan pemikiran aneh yang merasuki benaknya baru saja. ...