Emily mendongak menatap gedung pencakar langit dihadapannya. Ditangannya terdapat dua buah box berisi tartlet buatannya. Seperti kata Maureen, ia akan mengantar pastry itu ke kantornya yang berada di Bishop Avenue. Kebetulan juga tidak jauh dari Langford Int, HQ- untuk itu Emily berniat memberi Adrian beberapa.
Setelah memastikan gedung dihadapannya merupakan lokasi yang tepat dari tulisan yang tertera di atas pintu masuk berputar. Emily melangkah masuk.
"Selamat datang di Langford International. Saya Jenna, ada yang bisa dibantu?",
Emily mmemberikan senyuman ramahnya. Ia meletakkan kotak ditangannya diatas meja konter resepsionis. Sedikit menggeser kekanan agar tidak mengganggu. "Aku ingin bertemu dengan Mr. Langford.",
"Mohon maaf, apa sudah membuat janji?",
Emily lupa jika Adrian pasti tidak bisa di temui di kantor tanpa janji. Dan seharusnya keadaan seperti ini, ia tetap bisa bertemu Adrian jika menyebutkan bahwa ia putrinya. Calon putrinya. Tapi ia tidak akan melakukan itu. Sebaiknya ia menghubungi Adrian langsung.
"Tunggu sebentar.", Emily menunduk, mengambil ponselnya dari tas selempangnya. Namun tangannya terhenti saat menyadari jika ia sama sekali tidak memiliki nomor Adrian.
"Maafkan aku. Bisakah kau menghubunginya dan mengatakan jika Emily Heywood ada disini?",
Wanita itu tersenyum masih dengan ramah. Ia menatap Emily menyesal. "Sayangnya saya tidak bisa memenuhi keinginan anda. Mungkin anda bisa titipkan pesan.",
Emily menggigit bibir bawahnya. "Kalau begitu aku titip kotak ini untuknya. Apa bisa?", ia menunjuk kotak berwarna biru pastel yang tadi dibawanya.
"Kalau itu saya bisa membantu.", wanita itu dengan cepat mengambil notes kecil dan pena untuk disodorkan kepada Emily. "Silahkan tulis nama dan pesan yang ingin disampaikan juga.",
Emily hanya menuliskan 'Dari Emily Heywood : Enjoy the pastry!'. Setelah selesai menuliskan pesan itu. Emily mengelupas notes dengan perekat itu. Ia menempelkannya diatas kotak sebelum mengembalikan pena dan notes sisanya kepada resepsionis.
"Apa ada lagi yang bisa saya bantu?",
Emily menggeleng kecil. "Tidak ada. Terima kasih.",
"Baiklah. Akan saya sampaikan pada Mr. Langford.",
"Apa yang ingin disampaikan?",
Emily memutar tubuhnya ketika suara itu terdengar. Wanita yang kini dibelakangi Emily dengan cepat menunduk memberi salam pada pria tinggi itu. Menurut Emily, untuk ukuran manusia dia sangat tampan.
"Maaf?", Emily tanpa sadar mengangkat kedua alisnya. Ia begitu bingung ketika pria itu menimpali pembicaraannya.
Pria itu juga menatap Emily bingung dengan mata abu gelapnya. Ia memasukkan kedua tangannya kedalam saku setelan jas nya yang tampak sangat mahal. Lalu ia menoleh kepada wanita dibelakang Emily. "Aku tidak sengaja mendengar Jenna mengatakan kalau kau ingin menyampaikan sesuatu padaku.", ia sudah selesai bekerja dan hendak pulang. Namun ketika baru melewati meja resepsionis ia mendengar namanya disebut. Jadi ia memutuskan untuk berhenti.
Emily mengerjap. "Tidak.", elaknya cepat. Ia berpindah posisi menyamping agar lebih mudah menatap pria itu dan wanita resepsionis bergantian. "Tidak ada yang ingin kusampaikan padamu.",
Mendengar jawaban Emily kini membuat wanita resepsionis itu ikut kebingungan. "Bukankah tadi anda ingin memberikan kue ini kepada Mr. Langford?", tanyanya dengan nada pelan dan was-was. Ia merasa jika situasi ini benar-benar aneh. Ia takut menyinggung perasaan salah satu dari dua orang dihadapanannya.
"Memang. Adrian Lan-", Emily terdiam, berpikir cepat. Ia menggeleng pelan sebelum menatap pria dihadapannya. "Jadi kau Aram Langford?", tidak mungkin orang lain. Ia yakin itu. Ia ingat jika Maureen tadi sempat menyebutkan nama seseorang yang diyakini Emily adalah putra Adrian. Dan ibunya pun pernah menyebutkan jika Adrian hanya memiliki satu orang anak.
Pria itu melipat tangannya di depan d**a sehingga tercipta kesan yang tegas dari tubuhnya. "Iya.",
Emily mendesah pelan. "So you're my future step brother?",
Aram mengerjap. "Your what?",
"My future step brother.", ulang Emily.
Aram membuka mulutnya, namun kembali tertutup karena tidak tahu harus mengatakan apa. Sejenak ia mencerna sebelum akhirnya paham dengan apa yang terjadi. Ia mengangkat sudut bibirnya dan berkata, "And you're my future step sister.",
...
"Pa, ada sesuatu untukmu.",
Adrian yang tadinya sibuk membaca dokumen dihadapannya mendongak menatap putranya yang menyembulkan kepala dan sebagian tubuhnya. Ia menurunkan kacamatanya dan memijit pelipis agar pandangannya lebih jelas. "Sesuatu apa?",
Aram melangkah masuk. Ditangannya terdapat sebuah kotak berwarna biru muda. "Tartlet.", ia meletakkan kotak itu diatas meja kerja, lalu duduk di kursi disebrang Adrian.
"Tartlet? Dari siapa?",
"Putrimu.", Aram melipat tangannya di depan d**a.
"Putriku?", Adrian tidak mengerti apa maksud Aram. Ia mengerutkan kening, sedikit mencondongkan tubuh untuk menarik kotak itu dihadapannya. Dilihatnya diatas tutup terdapat sebuah pesan tulisan tangan. Detik berikutnya ia mendengus geli saat tahu siapa pengirimnya. "Jadi kalian sudah bertemu?", ia melirik Aram.
"Dia datang ke kantor tadi. Ia pikir jika kau bekerja disana.", padahal Adrian sudah setahun belakangan ini menyerahkan seluruh pekerjaannya pada Aram. Meskipun usianya masih terbilang muda untuk pensiun. Adrian hanya ingin beristirahat dan menikmati hidupnya. Meluangkan waktu untuk hal yang berarti baginya seperti Natalie, Emily, dan Nathaniel.
"Oh...", ia mengambil satu tartlet dengan hiasan buah beri diatasnya. "Lalu?", tanyanya sebelum mencicipi.
"Lalu apanya?", Aram mengernyit.
"Apa kau mengajaknya mengobrol? Atau mungkin minum kopi?",
Aram menggeleng sambil mengatupkan bibirnya rapat. "Tidak.",
"Kenapa?",
Aram menyandarkan punggungnya dan mendesah pelan. "Karena dia buru-buru mengantarkan tartlet untuk temannya di blok sebrang kantor. Lagipula jika kami mengobrolpun. Apa yang harus kubahas?",
Adrian baru saja memasukkan gigitan tartlet terakhirnya sebelum menelan dan berkata, "Sejak kapan seorang Aram Langford tidak pandai mengajak wanita mengobrol?",
"Ini beda. Dia akan menjadi adikku.", jawabnya cepat. Ia sama sekali tidak bermaksud mengelak. Memang kenyataannya Emily akan menjadi adiknya. Hal itu membuat Aram merasa aneh karena selama ia hidup ia tidak memiliki saudara lain. Para sepupu dekat maupun sepupu jauhnua juga tidak begitu dikenal.
"Tapi tetap saja dia sama-sama seorang wanita.",
Aram mendengus geli.
"Kau tidak mau?", Adrian menawarkan. "Tartlet buatanya sangat enak.", tambahnya sembari mengambil tartlet itu lagi. Kali ini dengan toping buah kiwi. "Bahkan menurutku ini tartlet terenak yang pernah kumakan.", gumamnya.
"Tidak. Makanlah saja semuanya pa. Aku keluar.", Aram bangkit berdiri. Tangannya membuat gerakan menarik jasnya.
"Aram...", panggil Adrian.
Aram berhenti melangkah dan sedikit memutar tubuhnya. "Ya?",
Adrian menepuk kedua tangannya membersihkan remah-remah pasty. Ia menutup kotak biru itu. "Sering-seringlah menemuinya. Buat dia merasa nyaman agar dia benar-benar merestui hubungan papa dan Natalie. Kau mengerti maksudku bukan?",
"Ya aku mengerti.",
Adrian mengangkat sudut bibirnya. "Ada lagi...", ia sengaja menggantung kalimatnya.
"Apa?".
"Saat bersamanya, usahakan jangan membahas apapun atau bertanya mengenai kejadian lima tahun lalu.",
"Lima tahun lalu? Memangnya ada apa?", tanya Aram penasaran. Ia tidak tahu apapun mengenai keluarga Heywood sebelum ayahnya itu memberitahunya jika ia akan menikah lagi. Ia hanya tahu jika keluarga itu merupakan salah satu keluarga yang cukup berpengaruh di London.
"Suatu saat kau pasti tahu. Terakhir. Kalau kau mengajaknya pergi hindari menggunakan mobil.",
"Menghindari menggunakan mobil?", Aram balas bertanya, lalu keningnya berkerut. "Lalu naik apalagi?", terdengar seperti pertanyaan bodoh. Tapi tidak ada pertanyaan yang lebih tepat. Lagipula siapa yang tidak menggunakan mobil di zaman seperti ini?
"Kau punya motor. Tapi kalau butuh yang lebih cepat kau bisa membawa helikopter.",
Aram mendesah. Sepertinya memiliki saudara cukup merepotkan.
...
Emily bangun lebih pagi dari biasanya. Dengan penuh tekat, mulai hari ini dirinya akan membiasakan untuk berolahraga pagi. Dari yang dibacanya di internet semalam- olahraga pagi bukan hanya membuat tubuhnya sehat namun juga pikiran. Bukan berarti Emily merasa dirinya gila. Hanya saja ia ingin membuat pikirannya lebih tenang dan teralihkan dari hal-hal yang membuatnya terpuruk kembali.
Sambil mengeratkan ikatan rambutnya. Emily keluar dari gerbang mansion setelah satpam membukakannya gerbang. Ia berlari kecil di sepanjang jalan Kensington dan mendengarkan whistlist musiknya mengalir jernih dari earpod yang menempel di kedua telinganya. Benar saja semua teori yang dibacanya. Udara segar mampu menenangkan pikirannya. Ya meskipun olahraga pagi di musim dingin bukanlah ide yang bagus.
Beberapa saat Emily berlari. Ekor matanya tanpa sengaja menangkap sosok seorang pria yang juga berlari dibelakangnya ketika ia berbelok. Dari pantulan mobil-mobil yang terparkir di tepian jalan, wajah pria itu tidak begitu terlihat jelas. Emily tidak begitu menggubrisnya karena ia pikir orang itu hanyalah orang yang tidak dikenal dan kebetulan melakukan hal yang sama. Namun sepertinya ia salah duga. Pria itu masih saja berlari dibelakangnya, kearah yang sama bahkan ketika Emily berbelok hendak kembali ke mansion.
Perlahan Emily melepaskan earpod-nya dan dimasukkan kedalam saku jaket. Ia tetap berlari tanpa menoleh sedikitpun. Ia juga bisa mendengar langkah pria dibelakangnya semakin cepat ketika ia menambah kecepatan larinya. Benar-benar terdengar mengikuti pergerakannya.
Tidak kehilangan akal. Emily berhenti secara tiba-tiba untuk memastikan jika semuanya hanya rasa paranoid dibenaknya. Sesaat pria itu berlari melewatinya. Namun kini ia ikut berhenti beberapa meter dihadapannya.
Emily meneguk salivanya susah payah sambul menetralkan debaran jantungnya. "Kenapa kau mengikutiku?",
Pria itu masih membelakangi Emily dan tidak menjawab.
"Kau siapa?", tanya Emily lagi.
Perlahan pria itu membalikkan tubuhnya. Ia menunduk sehingga Emily masih belum bisa melihat wajah yang tertutup oleh topi kali ini. "Kau tidak mengenaliku?",
Emily menggeleng. "Tidak.",
Pria itu mendekat membuat Emily melangkah mundur perlahan. "Tetap ditempatmu!", seru Emily. Ia mulai panik dan mengedarkan pandangan kesekitarnya. Tidak ada siapapun di sebrang jalan bahkan kendaraan lewat. "Aku bilang tetap ditempatmu!", ia mulai berteriak.
Pria itu tidak menggubrisnya membuat Emily memilih untuk kabur. Ketika ia baru membalikkan tubuh hendak berlari kearah sebelumnya. Tiba-tiba dengan cepat pria itu memeluknya dari belakang sembari berteriak mengejutkan. Emily sontak menjerit dan meronta.
"TOLONG! TO-",
Mulut Emily dibungkam dengan telapak tangan pria itu. "Hei. Hei. Emily jangan berteriak!",
Emily terdiam dan berhenti meronta karena mendengar namanya disebut. Ia mendongak menatap pria itu. Wajahnya tampak begitu familiar. "Ini aku.",
Pria itu akhirnya melepaskan Emily. Ia melepaskan tudung jaketnya dan topi baseball yang dipakainya. Emily membenarkan pakaiannya dan berdiri dengan menjaga jarak.
"Kau tidak ingat aku?",
Emily menatap pria itu. Meneliti wajahnya dan berusaha mengingat sesuatu. Namun hasilnya nihil. Ia tidak bisa mengingat pria itu.
Pria itu mendesah panjang hingga uap dingin mengepul di udara. Tangannya berkacak pinggang. "Steven. Steven Arckeley.",
"Steven?", Emily membelalakan matanya. Ia tidak percaya pria dihadapannya ini adalah mantan kekasihnya.
"Yap benar. Aku Steven.",
Emily mencoba memastikan. Benar saja perkataan pria yang mengaku sebagai Steven tersebut. Ia memang Steven. Emily bisa mengenali dari manik mata hitamnya.
Seketika Emily menghela napas lega. "God! Aku pikir kau siapa!", serunya tidak terima. "Maaf aku tidak mengenalimu karena kau sangat berbeda.".
Steven yang ada dihadapannya ini berbeda seperti yang diingatnya dulu. Steven yang dulu begitu kurus, rambutnya berwarna pirang. Sedangkan sekarang? Rambutnya berwarna hitam dan tubuhnya tinggi tegap.
"Maaf aku membuatmu takut.", Ia meringis sambil mengusap tengkuknya. "Aku tidak sengaja melihatmu keluar dari mansion. Aku pikir tadi ibumu. Tapi ternyata itu kau.",
Emily tersenyum sungkan. "Seharusnya aku yang minta maaf. Aku tidak memberitahumu jika aku sudah kembali.",
"Kapan?",
"Ti-tiga minggu yang lalu.", Emily terbata. Ia benar-benar merasa bersalah. Padahal pria dihadapannya ini sudah membantunya beberapa tahun lalu.
"Oh...", Steven meneguk salivanya. "Kapan kau berencana memberitahuku?", tanyanya sambil mengangkat sebelah bahu dengan samar.
Emily terdiam sejenak sebelum mengatakan, "Bagaimana kalau kita mengobrol sambil minum teh? Kau mau?",
...