Emily menatap dirinya di pantulan cermin. Tangannya sibuk mengikatkan sabuk sebelum mengusap bagian pinggangnya kearah keluar untuk merapikan penampilannya. Setelah itu, Emily mempoleskan sedikit makeup agar wajahnya tampak segar dan menata rambutnya.
Malam ini adalah malam yang cukup penting bagi Natalie. Tentu ia tidak ingin mempermalukan ibunya.
Apalagi mengingat Emily sama sekali tidak tahu menahu tentang siapa Adrian- bagaimana sifatnya dan lain sebagainya. Pertemuan mereka di acara tempo hari begitu singkat sehingga Emily tidak mengingat jelas. Ia juga tidak sempat mencari tahu informasi mengenai Adrian karena seminggu belakangan ini cukup sibuk.
Setelah kepulangannya, tentu ia tidak akan berdiam diri dirumah. Sejak kecil ia diajarkan untuk hidup mandiri meskipun beruntung terlahir dalam keluarga yang sangat berkecukupan. Jadi, ia mulai mengurus semua surat-surat dari sebuah ruko yang diberikan Eaton sebagai kado natal beberapa tahun lalu. Dan kebetulan juga, pagi ini ia harus ke toko bunga dan berakhir berbincang hingga siang bersama Maureen.
Ketukan pintu dikamarnya membuat Emily menoleh. Ia melihat Lily berdiri diambang pintu sambil membawakan sebuah kotak sepatu.
"Boleh aku masuk?", tanyanya.
Emily mengangguk. "Boleh.", jawabnya. "Apa itu?", ia tahu bahwa itu sepatu, pertanyaannya bermaksud kearah siapa yang memberinya.
"Sore tadi ada kiriman dari Mr. Langford untukmu.",
"Who?",
"Adrian Langford.",
Emily mendesah pelan. Ia tidak tahu jika Adrian memiliki nama belakang Langford . Ia menerima kotak itu dan membukanya. Seperti perkiraannya, isinya memanglah sepatu. Tapi ia tidak mengira bahwa sepatu itu adalah salah satu sepatu dari designer kesukaannya yang bahkan belum keluar di pasaran. "No way..."
"Kenapa?",
Emily mendongak. Ia menatap Lily dengan pandangan tak percaya sambil mengangkat kotak sepatunya untuk menunjukkan isinya. "Sepatu ini, aku sudah menunggu tiga bulan dan masih masuk kedalam waiting list.",
"Mr. Langford adalah orang yang sangat baik. Aku harap, kau jangan mengira bahwa ia memberikan hadiah ini untuk menyogokmu ya?",
"Aku tidak berpikiran seperti itu.", sejak memutuskan untuk menerima dan mengenal Adrian. Bahkan sebelumnya. Emily tidak pernah mengira seperti itu.
"Aku tahu. Hanya saja mengingatkan.", ujar Lili pelan. "Kalau begitu aku duluan. Masih banyak yang harus dikerjakan. Sebentar lagi mereka datang.",
"Mereka?",
"Adrian memiliki anak tunggal.",
Emily mengangguk kecil. Ia tersenyum simpul. "Terima kasih.",
"Sama-sama.",
Setelah Lily berlalu. Emily segera mengenakan pump heels berwarna nude itu dan segera keluar untuk menyambut sang pemberi hadiah.
...
"Akhirnya kau sampai.",
Natalie menyambut Adrian Langford yang baru saja turun dari dalam luxury SUV dengan pelukan hangat dan kecupan di pipi. Seorang pelayan yang membantu mengambil mantel pria itu segera berlalu dan menyimpanya di dalam closet di bawah tangga.
"Kau sepertinya sangat lega.", Adrian menyematkan anak-anak rambut cokelat Natalie ke belakang telinga.
Natalie mengangguk. "Tentu aku sangat lega. Akhirnya yang kita tunggu-tunggu akan segera berakhir.", ujarnya. "Ngomong-ngomong, dimana anakmu?", tanyanya sambil mencoba mencari keberadaan seseorang di balik punggung Adrian.
Adrian mengangkat tangannya sebatas d**a. Melirik jam tangan berlapis emas yang melingkar di pergelangan kanannya. "Mungkin setengah jam lagi ia sampai. Katanya masih ada urusan mendadak di kantor sehingga membuatnya sedikit terlambat.",
"Tak apa. Yang penting pastikan dia datang. Aku ingin hari ini kita semua saling mengenal satu sama lain.",
"As your wish my quenn.", ujarnya lembut dan mengecup bibir merah Natalie.
Natalie mengangguk. "Ayo kita masuk. Aku yakin anak-anakku sudah tidak sabar ingin bertemu dan berterima kasih langsung padamu.",
Sambil berjalan bergandengan. Adrian bertanya, "Berterima kasih untuk?", tanyanya bingung.
"Kau memberi dua anakku hadiah.", jawabnya. "Maaf merepotkan.", tambahnya setelah itu.
"Oh tentang hadiah. Tak masalah. Anggap saja sebagai sogokan agar aku boleh menikahimu.", candanya.
Natalie mendengus geli sambil menepuk d**a Adrian. Bersamaan dengan itu, Emily baru saja menuruni tangga dan langsung menghampiri mereka.
"Hai ma, Mr. Langford.", sapa Emily.
Gadis itu memeluk Natalie singkat dan berbisik. "Im really happy for you. I mean it.".
Kemudian beralih memeluk Adrian. "Nice to see you, again. Maaf tentng kejadian tempo hari.",
Adrian tersenyum ramah. Setelah nelepaskan pelukan, ia mengulurkan tangannya. "It's okay, and nice to see you too.",
"Dimana Nate?", tanya Natalie.
Emily menoleh singkat kearah tangga dibelakang nya. Lalu mengangkat bahunya. "Aku rasa dia masih memeluk sepatu yang baru kau berikan.",
Adrian tertawa renyah. Ia menepuk bahu Emily. "Bagaimana denganmu? Apa kau suka?",
"Sangat suka. Terasa sangat pas.", jawabnya sambil melihat kebawah sambil menggerakkan kakinya.
"Ya mom bisa lihat ternyata juga sangat pas dengan pakaianmu.", timpal Natalie.
"Terima kasih.",
"Sama-sama, Emily.", Adrian mengangguk. "Anggap saja itu kado natal dariku.",
"Kalau begitu, kita duluan ke ruang makan. Kau bisa panggilkan Nate?", tanya Natalie dengan nada sungkan.
Emily dengan cepat membalas, "Ya tentu. Aku akan memanggilnya. Kalian duluan saja.",
"Baikah, sampai bertemu lagi.", ujar Adrian sebelum merangkul Natalie dan berlalu.
Melihat kepergian dua orang tersebut membuat senyuman Emily perlahan memudar digantikan dengan helaan napas. Sejenak memang ia merasakan turut bahagia dengan ibunya dan Adrian. Namun tiba-tiba ia merasakan hampa.
...
Milan, Italia
Two days before Emily's Party
Sudah delapan belas kali ponsel yang berada di atas meja di ruang tamu kamar hotel palazzo berbunyi. Tapi pemiliknya masih saja terlelap tanpa busana dengan seorang wanita asing disisinya.
Hingga pada dering selanjutnya. Pria itu terbangun dan mengangkat panggilan itu.
"Sebaiknya informasi yang kau sampaikan cukup penting. Jika tidak, kau siap-siap mencari pekerjaan lain.", suara itu terdengar cukup menyeramkan bagi orang di sebrang panggilan.
"Mohon maaf Mr. Langford. Tapi ayah anda menyuruh saya utuk menyampaikan pesan bahwa anda harus segera kembali ke London. Anda diwajibkan datang pada perayaan kepulangan saudara perempuan anda.",
Alis pria itu terangkat sebelah. "Since when i have a sister?",
"Maaf, bagaimana?",
Pria itu langsung memutuskan panggilannya secara sepihak. Percuma juga bertanya pada orang yang tidak tahu. Dirinya sendiri juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ia bangun, turun dari atas ranjang dan segera mengenakan pakaiannya kembali.
"Sayang, mau kemana?", wanita yang tadinya masih terlelap kini terbangun. Tangannya di lioat untuk menjadi sandaran ketika ia berguling kesamping menghadap pada pria itu.
"Back to London.",
"Why? Bukankah kau masih punya waktu seminggu di sini?",
"I have to see my sister.", ujarnya sambil mencari dimana dompet dan ponselnya berada.
"Sejak kapan kau memiliki saudara perempuan?",
"Sejak lima menit yang lalu.",
...
"Aram Langford. Bersyukurlah kau sudah dewasa. Jadi aku tidak akan menghukummu karena melewatkan dua kali makan malam bersama keluarga Heywood. Pesta kepulangan Emily dan perkenalan akhir pekan lalu.",
Baru satu jam yang lalu ia mendarat dan satu menit yang lalu ia sampai di penthouse.
Dan Aram pikir, setidaknya hari ini ia bisa istirahat dan menghindari ayahnya. Tapi ia lupa jika Adrian Langford bisa melalukan apa saja termasuk menerobos masuk ke tempat tinggalnya. "Aku punya banyak sekali pekerjaan.", ia tidak berbohong atau mencari alasan. Kenyataannya memang ia mendadak memiliki banyak sekali pekerjaan. Awalnya ia hendak memutuskan kembali ke London dari Milan. Tapi tampaknya ada pekerjaan lebih mendesak sehingga ia membatalkan kepulangannya saat itu dan terbang menuju Singapore.
Adrian yang duduk di single sofa yang sengaja Aram pesan khusus di Swiss kini berdehem dan mengangguk pelan.
"Aram...", panggilnya.
Aram mengambil posisi duduk di sebrang Adrian. Ia mengangkat alisnya sebagai tanda bahwa ayahnya itu bisa mengatakan sesuatu padanya.
"Kau tahu bahwa mereka cukup penting bagi papa. Terutama makan malam sabtu lalu. Papa ingin mengenalkanmu dengan mereka. Begitupula sebaliknya.",
"Aku tahu. Tapi sayangnya aku baru tahu saat asistenmu menghubungiku di Milan.", sindir Aram. "Kenapa papa tidak langsung memberitahuku? Kenapa aku harus tahu di detik-detik terakhir bahwa ternyata selama ini papa menjalin hubungan dengan Natalie Heywood?",
"Papa sengaja baru memberitahumu karena mempettimbangkan beberapa hal.",
"Hal seperti?",
"Papa tidak mau membuatmu tersakiti.",
"Tersakiti karena apa?", Aram mengangkat sebelah alisnya. Meminta penjelasan dari perkataan Adrian. Ia tidak mengerti apa maksud dengan kata 'tersakiti'.
Adrian menghela napas. "Rasanya sangat tidak enak bila papa harus bahagia diatas penderitaanmu.",
Aram mendengus geli. Ia menyadari pada akhirnya. "Jadi ini semua karena aku dan Vanessa putus hubungan?",
Adrian mengangguk.
Aram mengalihkan pandangannya menuju balkon. Lalu ia mencondongkan tubuh sambil bertumpu siku diatas kedua lututnya.
"Sebenarnya sudah lama papa dekat dengan Natalie dan papa ingin memberitahumu. Tapi karena kau dan Vanesssa dalam masalah, jadi papa mengurungkan niat.
Dan sekarang hubungan papa dan Natalie samakin serius.",
"Baiklah kalau begitu. Aku juga setuju.", kata Aram tanpa berpikir panjang.
Adrian mengerjap. "Hmm that's so fast. Papa pikir kau akan menolak atau setidaknya berpikir terlebih dahulu.",
"Untuk apa berpikir lagi?", tanya Aram sambil mengangkat bahunya. Ia menatap Adrian.
"Karena anak pertama Natalie sempat berpikir. Ya meskipun ia masih berusaha menerima semuanya.",
Aram mengangguk kecil. Ia menegakkan tubuh dan bersandar. "Aku tidak punya alasan untuk berpikir pa. Mama meninggal saat aku masih berusia dua tahun. Dan selama ini papa tidak pernah dekat dengan wanita lain. Jadi untuk apa aku mempersulit masalah?",
Perlahan senyuman Adrian mengembang. Rasanya ia puas karena telah membesarkan putranya dengan baik meski seorang diri. "Terima kasih nak. Aku harap kau juga akan segera menemukan kebahagiaanmu.",
...
"Siapa?",
Emily memutar matanya ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan Maureen kedua kalinya. Ia baru saja memasukkan tartlet buatannya kedalam oven sebelum menoleh pada sahabatnya itu.
"Adrian Langford.",
"Kau bercanda!", Maureen menutup mulutnya. Ia tidak percaya mendengar jawaban Emily. Tadinya ia berpikir jika ia salah dengar.
"Aku serius.", Emily menjawab dengan mantap sembari bersandar dan setengah duduk di kitchen island. Tangannya bersedekap di depan perut. "Adrian Langford dan ibuku sudah menjalin hubungan cukup lama sehingga mereka berencan untuk menikah di akhir tahun depan atau mungkin tahun depannya lagi. Entahlah, belum dipastikan.",
Tumpuan tangan Maureen yang menopang kepalanya mendadak lemas. Ia hampir saja terjatuh dari bangku tinggi di sebrang Emily. Untungnya dengan cepat ia meneggakkan tubuh. "Ini benar-benar gila!",
Emily mengangkat bahunya. "Iya, aku juga merasakan hal yang sama. Aku belum siap memiliki ayah baru setelah kepulanganku. Kau ta-"
"Bukan itu maksudku!", sela Maureen cepat. Ia menggelengkan kepala. "Lima tahun sepertinya membuatmu banyak ketinggalan berita!",
Jika berbicara mengenai berita. Sepertinya kata yang lebih tepat diucapkan Maureen adalah gosip. "Memangnya ada gosip apa mengenai Adrian Langford?", ia membalikkan tubuhnya menghadap pada Maureen sembari kedua tangan memegang tepian marmer.
"Bukan gosip. Ini memang fakta.", Maureen melipat tangannya. "Adrian Langford- he's really boyfirend material. Maksudku tentu untuk wanita sepantarannya.",
"Tampan dan mapan?",
Maureen mengangguk. "Sangat mapan.",
"Well... ibuku juga.", tambah Emily. Ia tidak bermaksud menyombongkan diri. Namun itulah kenyataannya.
Maureen berdecak lidah. "Kalau itu tidak perlu ditanya! Keluargamu memang sudah dari zaman batu aku rasa sudah kaya raya.",
"Jadi?",
Maureen berdehem pelan. "Hmm seperti katamu tadi. Adrian Langford, tampan dan mapan. Sedangkan ibumu, cantik dan juga tidak kalah mapan. Bisa kau bayangkan bagaimana nantinya ketika mereka berdua menikah? Aku yakin pernikahan itu akan mengalahkan pernikahan keluarga kerajaan abad ini. Aku juga yakin bila semua orang di dunia ini akan iri!.",
Emily mendengus geli. Ia lupa betapa besar imajinasi dalam kepala Maureen. Dulu dirinya sempat mengusulkan agar wanita itu menjadi penulis dan semacamnya.
"Ngomong-ngomong aku juga iri padamu!", seru Maureen tiba-tiba sambil merengek seperti anak kecil.
"Iri apa? Kau mau ayah kandungmu meninggal hmm?", Emily mengangkat sebelah alisnya.
Maureen meringis. Ia bergidik ngeri. "Bukan itu maksudku. Demi Tuhan aku tidak mau itu sampai terjadi.", gerutunya di akhir kata.
"Kau sudah tahu jawabannya kenapa masih bertanya?", cibir Emily sambil berlalu menghadap ke kitchen set- mengecek ovennya agar berada di suhu yang tepat.
"Tapi bukan itu... aku iri karena kau bisa berdekatan dengan Aram.",
Emily memalingkan wajahnya. "Aram? Aram siapa?", tanyanya bingung. Ia sama sekali tidak pernah mengenal seseorang bernama Aram.
"Tinggi, bermata abu, dan sangat tampan? Kau tidak tahu?", Maureen mendesah panjang ketika Emily menggelengkan kepala. "Kau memang benar-benar tidak tertolong. Banyak-banyaklah membaca artikel atau berita.",
"Gosip maksudmu?",
"Apapun itu! Dan kusarankan sebaiknya kau cari tahu siapa saja yang akan menjadi keluargamu.", setelah itu Maureen turun dari bangkunya. "Sudahlah aku mau kembali ke kantor. Terima kasih untuk makan siangnya.",
"Bagaimana dengan tartlet mu?", Emily menatap oven dan Maureen bergantian. Padahal ia membuat pastry tersebut khusus untuk sahabatnya itu.
Maureen tersenyum tanpa dosa. "Kirimkan saja ke kantorku. Jangan khawatir. Akan kumakan.",
Emily mendelik sebal. Ia melemparkan remah-remah adonan yang ada di atas papan pemotong kearah Maureen. "Dasar!",
...