Chapter 4 : Stuck On The Same Side

1790 Words
Suara ketukan pintu membuat Emily membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia menoleh kearah pintu kamar dan menghela napas panjang. "Emily... we need to talk.", suara Natalie terdengar menggema dibalik pintu. Emily tidak menjawab. Ia terduduk sembari menangkup wajahnya. "Please?", Perlahan Emily mengusap wajahnya sebelum turun dari atas ranjang. Ia sama sekali tidak berniat membukakan pintu untuk Natalie. Ia duduk di lantai sembari bersedekap ketika kakinya di tekuk. "Just talk...", "Tidak bisakah kau membuka pintumu?", Emily tidak menjawab lagi membuat Natalie menghela napasnya panjang. Ia menempelkan keningnya dinimtu. "Baiklah...", ia tidak bisa memaksa bahkan mendobrak pintu. "Tentang tadi malam. Maaf kalau kau harus tahu dengan cara seperti itu. Mom berniat memberitahumu secera langsung disaat waktunya tepat.", "Kapan?", Emily bertanya. "Mom juga tidak tahu. Setidaknya saat kau bisa menerima Adrian.", "Bagaimana kalau aku menjawab aku tidak akan pernah menerima Adrian atau siapapun- pria lain?", Natalie meneguk salivanya. "Emily...", panggilnya. "Sejak daddy meninggal. Mom begitu kesulitan. Banyak hal yang harus mom tangani. Perusahaan, rumah tangga. Belum lagi mengurusmu dan Nate. Menjadi single parents tidaklah mudah.", "You have me. You have Nate.", nada Emily terdengar bergetar. Ia berusaha sekuat mungkin menahan air matanya yang kini mulai menggenang di pelupuk mata. Bahkan rasanya terasa perih bersamaan dengan wajahnya yang memanas. "Nate had Annellise and Lily. But me? I had no one. You left.", Natalie mulai terisak. "Jangan bilang kau lupa dengan semua itu...", "Kau bilang kau mencintai dad.", "I do. And i still love him. He always in my heart. But he's not here.", perlahan Natalie merosot dan duduk di lantai. "Maaf kalau mom egois. Tapi mom benar-benar butuh Adrian. Selama ini dia yang membantu semua masalah yang mom alami, masalah Nate.", "It's really hard for me. I can't handle this anymore.", Emily terisak. Ia begitu menyayangi Eaton dan sampai kapanpun tidak ada sosok yang bisa menggantikannya. "Mom tahu. Mom juga merasakannya, sayang. Semuanya terasa berat.", Natalie mengusap air matanya. "No you don't.", Emily merasakan dadanya begitu nyeri. Ia memejamkan matanya hingga air mata menetes, mengalir melewati pipinya. Bayangan kejadian lima tahun lalu kembali teringat. "Kau hanya tahu fakta bahwa kita semua kehilangan dad. Kau tidak ada di mobil saat itu. Kau tidak melihat betapa besar cintanya. He saved me. Im supposed to be death.", "What do you mean?", "He was still alive before the car fell from the bridge.", Natalie begitu terkejut mendengar perkataan Emily. "You lied.", polisi mengatakan bahwa Eaton sudah meninggal ketika mobil tebalik dan hanya Emily yang tersisa sebelum akhirnya mobil jatuh ke dasar jembatan. "Aku terjepit dan tidak bisa dikeluarkan. Dad memaksa semua polisi untuk menolongku terlebih dahulu. Tapi saat aku sudah keluar, jembatan langsung runtuh, mobil terjatuh dan meledak.", Emily berusaha menyelesaikan kalimatnya. "Steven membantuku menutupi semua kejadian itu dan aku pergi ke Amerika untuk menghindari kenyataan. Kenyataan dimana kau dan Nate mungkin akan membenciku seumur hidup karena akulah penyebab daddy meninggal.", Natalie tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Ia menundukkan kepalanya, menangis dalam diam. ... Sarapan pagi ini benar-benar terasa aneh. Biasanya dipenuhi dengan obrolan ringan tapi kali ini sama sekali tidak ada yang membuka suara. Ditambah Nathaniel yang tidak tahu menahu apapun mengenai masalah diantara Natalie ataupun Emily. Laki-laki itu masih dengan santainya menikmati hidangan sampai pada akhirnya dentingan sendok dan piring yang beradu membuatnya mendongak. Ia menatap Emily dengan bingung. "Kenapa?", Emily mengerjap. Ia melihat tangannya yang tanpa sengaja menjatuhkan sendok karena melamun. Lalu ia menggeleng. "Kenapa apanya?", Nathaniel berhenti menyendokkan sup kedalam mulutnya. Ia menatap Emily dan Natalie bergantian. "Aku merasa ada yang aneh pagi ini.", Tidak ada yang menjawab membuat Nathaniel yakin jika ada sesuatu. "Apa kalian yakin?", "Aku harus membereskan kamarku.", sela Emily membuat Natalie yang sejak tadi menunduk kini mendongak. "Kau tidak pernah membereskan kamarmu, Em.", Nathaniel tahu pasti jika Emily tidak pernah membersihkan kamar seorang diri. Dirinyapun juga. Setiap kali mereka mandi. Selalu ada pelayan yang masuk dan membereskan kamar. Emily tidak menggubris perkataan Nathaniel. Ia bangkit berdiri dan kursi berderit. "Kalian nikmati sarapannya.", Ketika Emily sudah berlalu, Nathaniel mengangkat sebelah alisnya. "Apa ada sesuatu yang terjadi dan aku tidak tahu?", ia menoleh pada Natalie. Natalie mengusap wajahnya, menghela napas. "She knows.", "Tahu apa?", "Adrian." "Wh-", sepata kata hendak keluar dari mulut Nathaniel tapi detik selanjutnya ia tidak tahu harus mengatakan apa. Ia mengusap tengkuknya. "Dan dia tidak setuju." ... Emily merasa de javu. Ia sedang merebahkan diri diatas ranjang sembari melamun menatap kearah langit diluar jendela kamarnya. Lalu tiba-tiba sebuah ketukan terdengar. Ia menoleh ketika pintu terbuka. Benar saja dugaannya, Nathaniel masuk. Tidak mungkin sekali Natalie. Dalam kondisi normal pun, Natalie atau siapapun tidak akan berani masuk ke dalam kamarnya sebelum diizinkan. "Ada apa?", Emily kembali menatap keluar jendela. "Aku ingin membantumu membersihkan kamar.", Emily ingin mendengus. "Kau tahu itu hanyalah alasan agar aku bisa kembali ke kamarku.", "Jadi kau sudah tahu?", "Hmmm.", Emily berdehem pelan. "Dan tampaknya kau juga sudah tahu.", Perlahan Nathaniel duduk di tepi ranjang. Ia menunduk, menatap kearah kakinya yang terangkat sebelah. "Awalnya aku juga tidak setuju. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak. Aku yakin mom akan melakukan apapun untuk membuatku bahagia. Jadi aku berpikir, kenapa aku tidak melakukan hal yang sama? Kalau memang dia bahagia bersama Adrian, aku juga ikut bahagia.", Emily tidak akan membalas perkataan Nathaniel dengan fakta yang selama ini ia sembunyikan. Natalie yang mendengarnya mungkin saja akan membencinya. Begitupula dengan Nathaniel. Alasan lainnya, ia juga tidak ingin membuat adiknya kembali terpuruk. Nathaniel masih sangat muda untuk mengetahui semuanya. "Adrian mungkin tidak bisa menggantikan posisi dad. Tapi setidaknya dia bisa menutupi kekurangan di keluarga ini. Sadar atau tidak aku juga butuh dia.", "Aku baru saja kembali.", Emily memiringkan sedikit kepalanya. "Itu dia kenapa mom menyembunyikannya darimu. Dia memikirkanmu lebih dari yang kau kira, Em. Dia ingin kau kembali seperti dulu sebelum akhirnya kau tahu semuanya.", "Dan kau juga tahu kalau aku tidak mungkin sama seperti dulu.", dibandingkan Nathaniel. Emily adalah anak yang paling dekat dengan Eaton. Jadi jelas ia tidak mungkin akan kembali sama seperti Emily yang dulu. Nathaniel menghela napasnya. "Aku akan bicara pada mom untuk memberimu waktu. Dan untukmu, kuharap kau mau mencoba setidaknya berkenalan dengan Adrian. Dia benar-benar pria yang baik.", ia bangkit berdiri. Menepuk bahu Emily perlahan. "Pikirkan kata-kataku. Kau sudah setengah jalan untuk keluar dari segala ketakutanmu saat kau memilih kembali ke London. Jadi jangan sampai kau kembali lagi pada titik awal.", ... Langkah Emily perlahan melambat ketika ia baru saja menuruni tangga karena beberapa pelayan tampak sibuk membawa kardus menuju ke ruang tamu- kearah luar. Ia menoleh ke kanan dan kekiri, mengedarkan pandangan sebelum memutuskan mengikuti kemana kardus-kardus itu dibawa. Sesampainya di lobi. Emily menghela napas pendek saat tahu ternyata semua isi di dalam kardus merupakan hiasan natal. Seharusnya kegiatan itu menjadi tradisi keluarganya dan tahun ini merupakan yang spesial. Namun karena beberapa hari ini dirinya dan Natalie memiliki sedikit masalah. Otomatis semuanya gagal. "Selamat siang Ms. Heywood. Apa ada sesuatu yang dibutuhkan?", Emily menoleh ketika seorang pelayan yang datang dari belakang berhenti di sisinya. Bertanya padanya sambil membenarkan posisi kardus yang dipeluknya. "Tidak ada.", Emily menggeleng kecil. Ia hendak membalikkan tubuh dan kembali ke kamarnya. Namun suara Natalie menahannya. Wanita itu baru saja masuk- ditangannya terdapat kunci mobil dan juga sebuah kantungan plastik berisikan lampu. "Mau kemana?", Emily menggigit bibir bawahnya. Ia menoleh. "Kembali ke kamarku.", "Kau tidak mau membantu kami memasang dekorasi natal?", Emily mengerutkan kening samar. Nada bicara Natalie begitu santai seolah tidak terjadi apa-apa antara mereka. Hal itu membuat Emily merasa gugup. Apalagi saat Natalie tersenyum kearahnya. Senyuman yang begitu tulus. "Baiklah...", Emily melangkah menuju meja foyer, membuka kardus kecil diatasnya dan mengambil pita-pita merah yang terbuat dari kain bludru tebal. Sesekali ia melirik kearah Natalie yang kini mulai sibuk membuka rangkaian lampu. Dalam hati ia bertanya-tanya, Apa ini mimpi? Kenapa mom bersikap aneh? Emily tidak tahan lagi. Ia meletakkan pita ditangannya, membuat gerakan mengusap agar debu ditangannya hilang. "Mom, can we talk?", Natalie mendongak. Ia berpikir sejenak sebelum mengangguk. Seolah memiliki pemikiran yang sama. Mereka berdua berjalan menuju kearah koridor di sayap barat yang menghubungkan mansion dengan gym dan perpustakaan. "Apa karena kita ada di depan pelayan?", Emily bertanya secara spontan pada Natalie. Ia menyandarkan tubuhnya kesamping di pembatas balkon koridor. Membuang pandangannya keluar kearah taman depan. "What do you mean?", "Apa kau lupa jika kita masih bertengkar? Dan kau membenciku.", Natalie menghela napasnya panjang hingga uap dari udara yang dingin mengepul di udara. Tangannya menarik lengan sweater agar lebih panjang. "Tentang itu... mom sadar seharusnya tidak bersikap egois. Kau dan Nate lebih membutuhkanku dibandingkanku membutuhkan Adrian. Dan aku tidak membencimu.", Emily terdiam. "Aku tidak menyalahkanmu mengenai kejadian itu. Jika aku ada disana. Aku akan melakukan hal yang sama untukmu.", Natalie melangkah lebih dekat. "Sekarang mom tahu apa yang kau rasakan karena sudah tahu apa alasanmu. Untuk itu mom akan putus dengan Adrian.", suaranya terdengar begitu pelan. Emily meneguk salivanya. "No.", Nathalie tidak mengerti. "I mean... just give me some times.", katanya. Emily sudah memikirkan semuanya selama tiga hari. Tidak ada salahnya mencoba. Lagipula perkataan Nathaniel ada benarnya. Ia sudah mencapai titik yang baik. Natalie menatap Emily dengan penuh pertanyaan. Emily menoleh. "Sejak aku kembali, aku sudah tahu konsekuensi dan kenyataan jika semua yang kutinggalkan pasti telah berubah. Begitupula denganku. Aku pun berubah. Jadi aku sudah berpikir dengan matang tentangmu dan Adrian, mom. Hanya saja- bukannya aku tidak suka dengan Adrian. Aku begitu terkejut.", Natalie mengusap kepala Emily lembut. "Kalau kau memang butuh waktu. Akan kuberikan berapapun lamanya untukmu.", "Maafkan aku yang bersikap kekanak-kanakan.", Perlahan Natalie menarik Emily kedalam dekapannya. "Tidak apa sayang. Tidak apa.", Hati Emily terasa hangat menerima pelukan itu. Apalagi saat mereka berdua telah membicarakan baik-baik dan saling mengerti. "Kita harus kembali memasang dekorasi.", gumam Emily. Natalie mengangguk kecil. Sebelum melepaskan pelukannya pada Emily. Ia mengecup singkat puncak kepala putrinya. "Baiklah ayo kembali.", "Tapi-", Natalie yang hendak berlalu menoleh. "Ya?", "Tentang Adrian...", Natalie merasakan jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. "Kenapa?", "Undang dia untuk makan malam bersama akhir pekan ini.", "Wh-what?", Natalie mengerjap. "Apa kau yakin? Kau bilang kau butuh waktu.", Emily mengangguk mantap. "Aku yakin. Lagipula selain butuh waktu. Tapi aku juga butuh mengenalnya.", Natalie tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Ia mendengus geli sebelum terharu mendengar jawaban Emily. Ia menarik putrinya lagi kedalam pelukannya. "Thank you so much.", Emily membalas pelukan itu dan tersenyum. Benar apa kata Nathaniel. Melihat Natalie bahagia membuatnya juga ikut bahagia. Semoga saja kebahagiaan ini tidak berhenti disini. Baik untuknya, untuk Natalie, dan juga Nathaniel. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD