CASE V : DOLOFONÍA (2)

2256 Words
Aku adalah penguasa nasibku, aku adalah kapten jiwaku. -Mater Vivere- *** "Kalian sudah kembali?" Baron melihat kedua anak buahnya itu sudah kembali dari proses penyelidikannya itu. "Tentu saja. Kami sudah menyelidiki tempat itu dan menemukan beberapa informasi. Nanti akan saya tulis semuanya dalam laporan penyelidikan," ucap Mater. Baron menepuk-nepuk pundak Mater dan Mortis sebagai bentuk rasa bangganya kepada mereka. "Bagus, bagus." "Ah, sebelumnya maafkan saya, Sir. Apa kami berdua bisa melakukan interogasi terhadap Ronald untuk memperoleh informasi lagi?" pinta Mater pada Baron. Mater merasa masih memerlukan informasi yang lebih banyak dari yang ia peroleh, terutama mengenai keberadaan para eksekutif itu. Mater memiliki hipotesa bahwa ada kemungkinan, Ronald ada kaitannya dengan para eksekutif organisasi kriminal itu. Maka dari itu Mater perlu melakukan interogasi kepadanya sekaligus mengungkap kejahatan yang telah ia lakukan. "Tentu! Manjakan dia, gali informasi sebanyak mungkin." Baron mempersilakan bawahannya itu untuk melakukan interogasi. Mater dan Mortis kemudian memberikan hormat kepada Baron dan berjalan menuju ruang interogasi. Sesampainya di sana, ia melihat Ronald yang tertunduk lesu dengan tangan yang telah di borgol. Mater dan Mortis kemudian masuk ke ruangan dan menyapa Ronald. "Apa kau sudah lama di ruangan ini?" tanya Mater pada Ronald. Namun ia tak mendapat respon darinya. Malahan Ronald memberinya tatapan tak suka yang sangat terlihat dari raut wajahnya. "Wow! Apa-apaan tatapanmu itu? Apa kau akan mengeluarkan laser dari matamu itu? Wah, kau membuatku ngeri." Mater merespon tatapan Ronald dengan candaannya. "Apa kau masih bisa bercanda di hadapan seorang anggota dewan? Sungguh bernyali dirimu," ujar Mortis menanggapi candaan atasannya itu. "Memangnya apa yang akan dia lakukan dengan posisi terborgol seperti itu?" Mater bertanya kepada Mortis. "Apa kau tidak tahu, bodoh? Para anggota dewa memiliki sebuah kemampuan yang sangat mengerikan. Bahkan orang-orang yang terkena kekuatannya itu akan langsung menjadi b***k mereka. Bukankah itu mengerikan, apa kau ingin menjadi salah satu dari mereka?" "Oh, ya? Sungguh luar biasa. Kekuatan macam apa itu? Kau tahu kekuatan seperti apa yang mereka miliki, Mort?" "Tentu saja! Apa kau ingin tahu juga?' "Bukankah kau seharusnya memberi tahu atasanmu ini?" "Baiklah, kalau kau ingin tahu. Jadi, kekuatan yang dimiliki oleh para anggota dewan adalah The Power of Money." Mendengar jawaban dari Mortis, mereka berdua malah tertawa dengan keras. Mereka bahkan mengabaikan keberadaan salah satu anggota dewan yang mereka bicarakan. Seolah bahwa sosok Ronald ini bukanlah salah satu eksistensi yang harus mereka beri respon. "Bahkan kalian masih bisa tertawa setelah mengetahui apa yang bisa aku lakukan? Setelah aku bebas dari sini, jangan harap kalian ada di dunia ini lagi! Ronald memberikan ancaman kepada mereka. Namun lagi-lagi, Mater dan Mortis hanya tertawa menanggapi ancaman dari Ronald. Bagi mereka, ancaman seperti itu hanyalah sebuah gertak sambal biasa. Bahkan jika nantinya Ronald ternyata memang bisa dibebaskan, mereka berdua tidak takut dengan ancaman itu. Walaupun kemungkinan dia bisa lolos dari sini hanyalah 1 persen. "Hei, kau pikir kami akan takut dengan ancamanmu itu? Bahkan ancaman dari pembunuh paling mematikan saja bagi kami hanya omong kosong belaka. Apalagi itu keluar dari mulutmu yang penuh kebusukan itu." Mater mengatakan itu sembari jarinya menunjuk-nunjuk ke arah d**a Ronald. "b******n! Apa yang kau lakukan?! Kau tidak tahu siap–? Plak! Belum selesai Ronald mengatakan kalimatnya, sebuah tangan besar dari Mater memberikan tepukan keras dan kencang tepat di pipi kanan Ronald. Ronald merasakan pipinya perih, bahkan sudut bibirnya mengeluarkan sedikit darah. Emosinya semakin tersulut, namun semua itu kembali ciut ketika Mater memberikan tatapan yang lebih mengerikan dari padanya. "Aku tak melihat aku sedang menamparmu? Apa tamparanku masih kurang terasa? Baiklah akan kuberikan satu kali lagi agar kau lebih sadar apa posisimu saat ini." Mater kembali melayangkan tangannya ke tempat yang sama di pipi kanan Ronald. Plak! Mata Ronald terbelalak. Seumur hidupnya ia belum pernah mendapat perlakuan seperti ini. Orang lain pun bahkan tidak memiliki keberanian untuk menatap apalagi mengajaknya untuk berbincang. Namun di sini semuanya berbeda, di hadapan kedua orang itu, Ronald sangatlah kecil dan tak berdaya. Bisa saja ia mati hanya karena injakan kaki mereka. Ronald baru kali ini merasakan bahwa dirinya sangat ketakutan. "Halo, Tuan Ronald yang Terhormat. Apa kau tidak mengenal siapa kami? Kami Mater dan Mortis, bagian dari One Eye. Harusnya kau mengetahui siapa diriku mengingat kekuatanmu itu mampu membuatmu mengetahui setiap orang yang ada di kota ini." Mater memberikan tatapan yang sangat mengintimidasi kepada Ronald. "Sungguh disayangkan seorang anggota dewan yang adikuasa bahkan tidak mengetahui orang yang bekerja dibalik bayangan. Padahal, rakyat kalian lebih mengagumiku dibandingkan kalian. Kalian lebih mirip seonggok pengerat dengan dasi dan minyak wangi yang melekat di tubuh kalian." Intimidasi itu terus diberikan kepada Ronald. Hal itu bahkan membuat Ronald untuk berpikir dua kali hanya untuk meneguk saliva dan menarik napas. "Baiklah jika kau sudah paham posisimu dan siapa diriku di sini, maka mari kita mulai dengan beberapa pertanyaan." Mater menarik kursinya supaya lebih mendekat ke meja yang ada di hadapannya. Tangannya terlipat di atas meja dan tatapannya tetap menusuk ke arah Ronald. Mater pun mulai memberikan pertanyaan kepada Ronald. "Langsung saja tak perlu memakai basa-basi. Aku akan menanyakan padamu, apa kau telah membunuh Royyan?" Mater bertanya kepada Ronald. Tatapan yang seolah ingin membunuh itu tetap terpancar dari matanya. Ronald dengan susah payah menelan ludahnya. Keringat dingin mulai keluar bercucuran dari tubuhnya. Sangat sulit mulutnya untuk mengucapkan sepatah kata, namun tatapan Mater seolah tidak mengizinkan dirinya untuk bungkam terlalu lama. "A–aku tidak membunuhnya!" bantah Ronald dengan suara lantang. Sebenarnya ia takut untuk menjawab dengan nada seperti itu. Namun ia juga memiliki harga diri yang membuatnya memiliki keberanian walau itu dalam waktu singkat. "Kau yakin?" Mater kembali bertanya, kali ini suaranya terdengar lebih dalam. "Aku berani bersumpah! Aku bersumpah atas jabatanku sebaga—" "Bukankah sudah kukatakan? Sadari posisimu! Jabatan, gelar, atau apapun yang kau miliki tidak akan berguna di ruangan ini dan dihadapanku!" Mater memotong kalimat Ronald dan membentaknya. Ronald terkejut mendengar suara keras Mater. Ia semakin takut jika ia salah dalam menjawab pertanyaannya, bisa jadi nyawanya lah yang harus menjadi jaminannya. "A–aku bersumpah. Aku tidak membunuh Royyan. Kami berdua merupakan sahabat. Tidak mungkin aku berani membunuhnya apalagi ketika ia berada di kediamannya." Ronald menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Mater. Ronald merasa lebih tenang karena berhasil mengatakan kalimat itu dari mulutnya. Namun jawaban dari Ronald membuat Mater berpikir. Ia merasa sedikit aneh dengan jawaban Ronald, walaupun ia sudah tahu fakta yang sebenarnya terjadi. Ia hanya ingin membuat musuh dalam selimut ini membuka mulutnya dan berharap hingga memohon kepadanya untuk dilepaskan. "Tunggu, ada yang aneh dari jawabanmu. Aku tak pernah sekalipun mengatakan bahwa pembunuhan itu terjadi di rumahnya. Tapi bagaimana kau tahu kalau Royyan dibunuh di rumahnya? Apa yang berusaha kau sembunyikan dari kami?" Mendengar perkataan Mater membuat Ronald membungkam mulutnya sendiri. Ia telah dengan bodohnya membocorkan apa yang ia ketahui ini dengan gampangnya. Ia mulai panik, keringat lagi-lagi mulai bercucuran dari tubuhnya. Ia sudah tak bisa mengelak lagi, ia harus membuat alasan yang masuk akal untuk mengelabuhi mereka berdua. "A–aku melihatnya!" ucap Ronald lantang. "Apa yang kau lihat?" "A–aku melihat seseorang memasuki rumahnya. Orang itu memakai pakaian dan tudung serba hitam. Wajahnya ditutupi dengan sebuah topeng yang memiliki huruf didepannya. Waktu itu hujan jadi aku tak bisa melihatnya dengan jelas." Bingo! Ini yang diharapkan Mater. Ia akan mengesampingkan tindakan pencurian yang ia lakukan dan fokus pada sosok yang dilihat oleh Ronald. "Apa yang orang itu lakukan di rumah Royyan?" "Aku tidak tahu. Aku melihatnya merusak kunci pintu depan rumah Royyan. Setelah itu ia masuk ke rumahnya. Namun tidak begitu lama setelah itu, ia keluar dengan pakaian yang sama tapi ia tak mengenakan topengnya." "Apa kau melihat wajahnya?" "Tidak. Aku tidak bisa melihat dengan jelas karena hujan, bukankah sudah kukatakan itu. Ditambah pria itu mengenakan masker untuk menutupi wajahnya. Setelah ia pergi aku kemudian mendatangi rumahnya dan Royyan dalam posisi tergeletak bersimbah darah." "Apa topeng orang itu terlihat seperti ini?" Mater kemudian menyodorkan sebuah foto topeng dengan huruf E di depannya kepada Ronald. "Iya, iya. Benar, itu topeng yang aku lihat." Sungguh disayangkan informasi yang Mater dapat dari Ronald hanya sebatas itu. Hanya informasi sebatas itu, bagi Mater seperti ia harus mengira-ngira orang seperti apa yang ada dibalik topeng itu. "Baiklah, jadi kau tidak membunuh Royyan, tapi apa yang kau lakukan di sana. Hujan, malam hari, bahkan kau melihat bagaimana aksi pembunuhan itu terjadi. Apa kau memiliki hubungan dengan pelaku itu? Atau kau ada maksud lain terkait alasanmu berada di lokasi kejadian?" "A–aku hanya ingin mengunjunginya!" "Bahkan di tengah kondisi hujan seperti itu?" "I–iya, bahkan dia sendiri yang menghubungiku untuk datang ke tempatnya." Mater tidak merasa Ronald berbohong. Bahkan salinan riwayat panggilan yang ada di ponsel Royyan juga dicantumkan dalam berkas kasus yang ia baca sebelumnya. "Lalu, kenapa kau mendatangi rumah tersebut setelah pelaku pergi?" "Apa kau bodoh? Tentu aku khawatir padanya! Melihat orang asing yang memaksa masuk dan keluar setelah itu, tentu saja aku khawatir." "Bukankah kau yang bodoh di sini? Apa kau tidak berpikir bahwa bisa saja pelaku tidak hanya satu?" Ronald terdiam mendengar penjelasan Mater. "Apa kau tidak berpikir bahwa bisa saja pelaku meninggalkan jebakan di sana? Kenapa kau tidak langsung memanggil polisi?" Ronald semakin panik. Keringat mulai membasahi tubuhnya. "Apa yang kau pikirkan sampai-sampai kau melupakan polisi? Apa jangan-jangan kau takut barang berharga di rumah itu diambil semua oleh pelaku? Atau kau takut jika polisi datang, kau akan ketahuan bahwa beberapa barang berharga di rumah itu kau ambil dan membuatmu menjadi tersangka?" "A–aku tidak melakukan itu! Aku tidak pernah berpikiran untuk melakukan hal seperti itu!" Ronald membantah dengan keras tuduhan yang diberikan kepadanya. Menanggapi bantahan itu, Mater hanya tertawa mengejek Ronald. Tak berselang lama setelah itu, salah seorang bawahan Mater memasuki ruang interogasi. Ia mengatakan informasi yang sangat krusial dengan keras di depan orang yang ada di ruangan itu. "Lapor, Ketua," hormat anggota itu. "Ya, apa yang akan kau laporkan?" Mater menanyai anggotanya itu terkait laporan yang dimaksudnya. "Sesuai perintah kapten, kami telah melakukan penggeledahan di kediaman terdakwa Ronald. Kami menemukan beberapa barang berharga dengan jumlah yang banyak. Kami sudah melakukan tes terhadap barang-barang itu dan beberapa di antaranya terdapat sidik jari terdakwa dan korban tertinggal di sana. Selain itu juga ditemukan sekantong uang dalam jumlah banyak di salah satu ruangan dikediaman terdakwa. Sekian." "Baiklah, terima kasih. Kau sudah bekerja keras, kau boleh kembali dan beristirahat." "Siap, Kapten." Selepas kepergian bawahannya itu, Mater tersenyum bangga yang sengaja ia tunjukkan di hadapan Ronald. Ronald terkejut mendengar laporan dari polisi itu. Sebuah aksi yang berusaha ia tutupi dan sembunyikan, dengan mudah dikuak oleh mereka. Ronald tak bisa lagi berkata-kata. Ia tertunduk lemah dan pasrah, ia tak lagi memiliki kuasa untuk menunjukkan mukanya kembali. "Apa kau akan membantah semua bukti itu, Tuan Ronald?" Mater mencoba memancing kemarahan Ronald. Namun Ronald tetap tertunduk dan tak merespon. Bagi Mater, ini adalah kemenangannya yang kesekian kalinya. Ia kemudian pergi bersama Mortis meninggalkan Ronald di ruang interogasi sendirian. Mater memilih kembali ke ruangannya dan Mortis lah yang memberikan laporan penyelidikan kepada Baron. Mater merasa sangat lelah dan pusing. Tanpa pikir panjang ia langsung menjatuhkan tubuhnya di atas sofa ruangannya. Ia membutuhkan waktu istirahat, baik untuk tubuhnya maupun otaknya. Perlahan, ia mulai menutup matanya dan masuk ke alam bawah sadarnya. *** Mater membuka matanya perlahan. Tubuhnya terasa sakit karena posisi tidurnya yang tak nyaman. Ia memperhatikan sekeliling, melihat berada di mana ia sekarang. Perlahan ingatannya kembali dan mulai menyadari bahwa ia masih berada di kantor. Ia kemudian melihat jam yang berada di tangannya yang menunjukkan pukul 8 malam hari. "Sepertinya aku terlalu lelap menutup mataku." Mater kemudian bangkit dari posisinya dan meraih jaket yang ia sampirkan di sofa. Ia melihat ke luar ruangannya yang ternyata masih terlihat ramai. Bahkan Mater masih asik menggoda seorang wanita yang sedang mengambil kopi di lorong itu. "Sepertinya kau sudah menemukan sosok yang mampu melepas status perjakamu, Nak." Mater hanya tertawa melihat tingkat Mortis yang berusaha dekat dengan wanita itu. Mortis terlihat bahagia dan itu membuat Mater juga merasa senang. Ia kemudian kembali ke ruangannya berniat untuk bersiap kembali ke rumahnya. Namun ketika ia menuju meja kerjanya, ia melihat sebuah kertas di atas mejanya. Ia kemudian mengambil dan melihat apa yang ada di kertas itu. Sepertinya kau sungguh penasaran dengan keberadaanku. Kau tidak puas bukan dengan informasi yang diberikan orang itu? Jadi aku berbaik hati membunuhnya untuk melampiaskan kekesalanmu. Jika kau masih penasaran, datanglah ke alamat yang ada dibalik kertas ini. -E Mater melihat apa yang ada dibalik kertas itu. Setelah melihat alamat itu, Mater bergegas berlari keluar dari ruang kerjanya menuju ruang interogasi. Mortis melihat atasannya berlari dengan terburu-buru seolah ada hal yang sedang terjadi padanya. Ia berniat untuk menyusul atasannya itu dan berpamitan dengan wanita yang sedang bersamanya itu. "Mia, maafkan aku sepertinya aku harus pergi lebih dahulu." "Ah, tidak apa. Kau tidak perlu izinku dan lakukan apa yang ingin kau lakukan." Setelah berpamitan, Mortis segera menyusul Mater yang berlari lebih dulu. Mater bertanya kepada anggota yang lain apakah ada seseorang yang keluar masuk ruang interogasi. Namun jawaban yang ia terima adalah jawaban yang sama, tidak ada seorang pun yang keluar masuk ruang interogasi selain dirinya. Ia kemudian melanjutkan larinya menuju ruang interogasi. Setelah ia sampai, ia terkejut dengan apa yang ia saksikan saat ini. "Ada apa? Kenapa kau berlari seperti itu?" Mortis yang baru sampai bertanya kepada Mater. Namun Mater tidak menjawab. Ia kemudian mengikuti arah pandangan Mater yang membuatnya ikut terkejut sama halnya Mater. "Oh Tuhan! Apa yang sedang terjadi di sini?!" Saat ini, dihadapan mereka berdua terdapat seorang mayat dengan posisi duduk pada kursi besi ruangan itu dengan lubang di kepalanya. Pria itu adalah pria yang tadi mereka interogasi. Sialnya, pria itu harus mati di tangan orang yang bahkan tidak mereka ketahui.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD