THE DREAM

2467 Words
Realita itu sesungguhnya lebih buruk dari mimpi atau film sedih sekalipun. -Mater Vivere- *** Dunia berjalan begitu cepat. Bahkan semua manusia yang ada di bumi tidak akan mampu mengimbangi pergerakan dari waktu itu sendiri. Banyak hal telah terjadi selama waktu berputar. Semuanya menyebabkan perubahan yang memberikan dampak entah itu baik atau buruk. Mater merasa bahwa dunianya kali ini seperti terhenti. Tidak ada lagi hal baru atau bahkan spesial yang akan menjadi sebuah harapan hari esok. Semuanya terkesan sama saja, begitulah pemikiran Mater mengenai dunia yang sekarang. Ia mulai lelah dengan apa yang ia kerjakan sekarang. Memburu seseorang yang diberikan sebuah status sebagai kriminal. Walaupun dia sendiri bahkan tidak mengetahui, apa yang menyebabkannya menjadi seorang kriminal. Semua orang menyalahkan bahwa para kriminal adalah orang yang bersalah. Begitu sebalikanya, para kriminal akan menganggap orang-orang itu adalah orang yang sesat. Andaikan kedua pemikiran itu mampu disatukan dan menjadi satu poin pemikiran yang sama, maka tidak ada kejahatan di dunia ini. Namun takdir berkata lain, menjaga keseimbangan antara baik dan buruk menjadi hal penting dalam mempertahankan garis takdir. Semakin memikirkan itu, Mater semakin pusing. Ia semakin menemukan banyak pertanyaan aneh yang muncul di kepalanya. Pertanyaan-pertanyaan yang bahkan seorang ahli pun tidak akan mengetahui jawabannya. Sejujurnya, ia hanya lelah dengan pekerjaannya. Terlalu mengotori tangannya dengan darah orang lain. Bukankan itu berarti dirinya sama seperti para kriminal? Tapi semakin ia memikirkan apakah tindakannya itu salah atau benar, semakin ia pusing menemukan jawaban pastinya. Ia hanya meyakini bahwa ia bukanlah kriminal, ia berjalan di jalan kebenaran, walaupun terkadang untuk mencapai kebenaran itu dia harus berani mengambil resiko dan bertindak selayaknya seorang kriminal. "Hah, hidup memang terlalu rumit jika dipikirkan. Lebih baik aku menjalaninya dan memikirkan bagaimana aku menghadapi hari esok." Begitu kata Mater. Ia kemudian melepaskan seragam kantornya dan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Di depan cermin kamar mandi, ia menatap dirinya sendiri. Ia masih memikirkan tentang perkataan T yang bilang bahwa ia akan mengambil alih tubuhnya. Jika itu benar, apakah roh dari T akan mendiami tubuhnya ini? Atau bagaimana? Mater masih berkutat dengan hal semacam roh dan makhluk halus. Ia tidak mempercayai itu, hanya saja perkataan T membuatnya berpikir demikian. Tak mau memikirkan hal yang tidak jelas, Mater menyelesaikan mandinya dan kemudian beranjak ke ranjangnya. Kali ini ia tidak ditemani oleh Julia, Istrinya. Dia dan Jona sekarang sedang berada di rumah orang tua Julia. Mater tidak bersama mereka karena alasan pekerjaan. "Padahal mereka belum lama pergi. Tapi entah mengapa aku sudah merindukan anak dan istriku," ucap Mater. Tak berselang lama, rasa kantuk mulai menyerang Mater. Ia membiarkan dirinya menerima rasa kantuk itu. Perlahan, ia menutup matanya, membiarkan tubuhnya tenang untuk beristirahat, dan berharap bahwa ia akan bermimpi indah malam ini. *** Di tengah tidur nyenyaknya itu, Mater terganggu oleh suara bising yang membuatnya sempat terbangun. Suara itu terdengar sangat dekat, sampai-sampai Mater merasa bahwa sumber dari suara bising itu berasal dari kamarnya sendiri. Mater perlahan membuka matanya. Ia sudah tidak tahan dengan suara bising yang ia dengar. Baginya, suara itu sangat mengganggu dan terdengar seperti orang yang sedang tertawa. Menurut logikanya, ia sedang di rumah sendirian, maka tidak mungkin ada orang lain lagi selain dirinya dan tidak mungkin dirinya yang tertawa karena ia sedang tidur. "Ho, kau sudah bangun?" Suara seorang pria menginterupsi Mater dengan pertanyaannya. Mater yang masih mencoba membuka matanya, hanya bergumam merespon pertanyaan orang itu. Dalam keadaan setengah sadar, ia melihat dua orang pria mengenakan setelah jas berwarna hitam. "Lama sekali kau untuk membuka matamu. Apa kau itu kura-kura?" Pria yang tadi kembali menginterupsi Mater. Kali ini Mater telah benar-benar sadar dari tidurnya. Namun ia sangat terkejut melihat sekelilingnya saat ini. Ini bukanlah suasana di kamar seperti yang ia pikirkan. Entah berada di mana ini, yang terlihat hanyalah sebuah tempat gelap diterangi oleh sebuah api unggun, dan keadaan dirinya yang sedang terikat pada sebuah kursi. Mater juga melihat dua orang pria berjas hitam dengan topeng pada kedua pria itu. Melihat salah seorang pria yang menggunakan topeng bertuliskan huruf T ada di hadapannya tengah duduk pada sebuah sofa, Mater kembali mengingat mimpinya pada waktu itu. Keadaan yang sama pada mimpi sebelumnya di mana ia terikat pada sebuah kursi dengan dikelilingi 6 orang yang tidak terlihat jelas dan salah satunya mengenakan sebuah topeng "T" dan menyebut dirinya T. Kali ini, hal yang berbeda hanyalah jumlah orang yang ada disekitarnya. Terlihat dua orang dan yang satu lainnya sedang menusuk-nusukkan pisau ke tubuh manekin. Ia berusaha untuk tenang dan tidak panik. Ia berpikir bahwa ini hanyalah mimpi. Ia berusaha mencubit tangannya untuk mengetahui apakah ini mimpi atau bukan. Apabila ia tidak merasakan sakit, maka sudah pasti itu mimpi, namun jika yang berlaku adalah sebaliknya maka entah situasi seperti apa yang dihadapi oleh Mater saat ini. Ketika ia berhasil mencubit salah satu tangannya, hal itu mengejutkan Mater karena ia merasakan sakit dari tempat yang ia cubit sebelumnya. Pemikiran Mater yang menyatakan bahwa ini hanyalah mimpi seketika musnah. Ia mulai panik namun tetap berusaha untuk tidak menunjukkannya. "Hei, R. Apa kau sudah selesai dengan itu? Lihatlah, kawan kita sudah bangun," ucap T kepada orang lain yang dia sebut dengan nama R. Mater mengingat orang yang bertopeng dengan tulisan huruf R. Ia salah satu eksekutif yang dibunuh oleh Gray. Apa itu berarti kali ini Mater sedang berhadapan dengan dua arwah gentayangan dari eksekutif organisasi kriminal yang paling berbahaya? "Ho, kau benar. Sungguh menakjubkan ia tidak menunjukkan ekspresi ketakutannya. Memang benar-benar titisan dari Tuan," ucap pria bernama R itu. Mater masih belum paham dengan apa yang mereka bicarakan. Saat ini yang Mater pikirkan hanyalah mencari cara untuk melepaskan diri dari ikatan ini dan kemudian kabur dari tempat ini. Ketika ia memikirkan cara untuk melarikan diri dengan memotong ikatan itu, tiba-tiba tangannya memegang sebilah pecahan kaca. Ia bingung kenapa tiba-tiba ada pecahan kaca di tangannya, apa itu berarti ia memang sebenarnya sedang bermimpi? Mater kembali mencoba untuk mewujudkan apa yang ia pikirkan. Kali ini ia memikirkan bahwa dua orang di hadapannya itu akan hilang. Tapi ternyata itu tidak berhasil. Ia kembali bingung apakah saat ini ia tengah bermimpi atau tidak. Tak ingin memikirkan hal lain tanpa bertindak, ia mulai mengiris ikatan pada tangannya dengan pecahan kaca yang ia pegang. Untuk menyamarkan aksinya, ia berusaha untuk menutupinya dengan mengulur waktu dan berbicara kepada mereka. "Di mana aku? Apa yang kalian lakukan padaku?" tanya Mater pada kedua pria di hadapannya. R yang sedari tadi tengah asik menyiksa sebuah manekin kemudian berhenti dan menatap ke arah Mater. Ia kemudian berjalan ke arah Mater memperhatikannya dengan seksama. "Apa kau tidak tahu sekarang berada di mana?" R bertanya kepada Mater. Namun ia tidak mendapat jawaban karena Mater hanya diam saja. Tanpa basa-basi R menampar wajah Mater hingga mengeluarkan darah dari sudut bibirnya. Mater terkejut dengan perlakuan dari R. Bahkan ia juga bisa merasakan sakit serta aroma besi yang keluar dari darahnya. Kali ini ia benar-benar tak yakin apakah ini mimpi atau realita. "Hei, bukankah kau tahu aturannya, jika ada orang bertanya maka kau harus menjawabnya bukan? Lalu kenapa kau diam saja?!" R membentak Mater karena dirinya tak menjawab apa yang R tanyakan. Seolah tidak peduli dengan R, Mater tetap diam membisu dan malah memasang ekspresi marah. Hal itu membuat R semakin murka dan berencana membunuhnya. Ketika R bersiap mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya, T berhasil menghentikan aksi yang ingin dilakukan oleh R. "R, hentikan itu. Bagaimana kau ingin mendapat jawaban jika kau bertindak sebrutal itu?" T mencoba menengahi mereka berdua. "Jawaban? Aku tidak butuh itu! Tujuan kita adalah mengambil alih tubuhnya! Bukankah lebih mudah jika ia mati dan tubuh ini kosong?!" Mater terkejut, ia kembali mendengar bahwa mereka ingin mengambil alih tubuh Mater. Bahkan ia ingin membunuhnya dan mengambil tubuh kosong dirinya untuk menjadi wadah mereka. Apa itu berarti tebakannya mengenai bahwa mereka berdua itu roh adalah benar? "Kau kira dengan membunuhnya, kita dapat mengendalikan semuanya? Kau bodoh! Makanya kau terus berada di peringkat bawah jika kau hanya menggunakan otakmu untuk menyiksa orang lain!" T mencoba menjelaskan kepada R. "Jika kau membunuhnya, kau tidak akan mendapatkan tubuhnya. Yang ada malah kita juga akan ikut mati! Untuk itu kita hanya perlu membuatnya tidak mampu untuk bergerak dan mengendalikan dirinya." Mater semakin bingung. Kenapa jika dia mati maka mereka juga akan ikut mati? Apa karena mereka tak lagi memiliki inang karena jika harus mengambil alih tubuh seseorang, roh tetap memerlukan inang astral selain tubuh fisik? Ia juga mendengar mereka membicarakan peringkat, apakah semasa mereka hidup, T memiliki peringkat lebih tinggi dari R? Itu berarti dalam The Six pun memiliki sebuah sistem yang mirip dengan sistem kasta. Dari situ Mater menarik kesimpulan bahwa sosok Tuan yang mereka maksud memiliki peringkat paling tinggi di antara keenam anggota lainnya. Walaupun perkataan T benar, R masih tetap kesal karena ia tak bisa membunuh Mater. T hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat bagaimana brutalnya R. "Walaupun aku sudah lama mengenalmu, tapi tak kusangka otak brutalmu itu masih saja mendominasi tubuhmu, R!" "Diamlah! Kebrutalan adalah bagian dari nama dan jiwaku!" Mater hanya terdiam menyaksikan perdebatan antara T dan R. Ia melirik sekilas ke arah tali yang daritadi berusaha ia potong. Tali itu terasa lebih keras daripada tali pada umumnya. Bahkan setelah Mater menggosok-gosokkan pecahan kaca itu berkali-kali, tali itu tetap belum putus dan hanya menyisakan bekas goresan yang tak terlalu dalam. Sepertinya butuh waktu yang sedikit lebih lama untuknya berhasil meloloskan diri. "Lalu kau, Mater. Kau bertanya kau sedang di mana bukan?" Mater hanya terdiam ketika T mencoba mengkonfirmasi pertanyaannya. "Tempat ini, dunia ini, banyak orang menyebutnya sebagai tempat roh, dimensi astral, dimensi lain, jurang mimpi, atau apapun itu. Terserah kalian para manusia menyebut tempat ini apa." Mater hanya diam, mencoba mendengar apa yang ingin T jelaskan padanya. Siapa yang tahu bisa saja ia akan memperoleh beberapa informasi dari apa yang akan ia sampaikan. "Sederhananya, tempat ini adalah alam bawah sadarmu. Tempat antara dunia nyata dan dunia mimpi bertemu. Apa kau merasakan sakit ketika R menamparmu? Itu adalah efek dari tempat ini." Mater mulai paham. Alasan mengapa ia merasa sakit dan mengapa ia bisa menciptakan sebuah benda dari pikirannya saja karena tempat ini memiliki perpaduan dari dua keadaan yang berbeda. Dan menurut pemikiran Mater, ia tak bisa menghapus kejadian yang ada di depannya saat ini karena ini bukanlah berasal dari imajinasinya, tapi keberadaan mereka adalah suatu hal yang nyata dan memiliki kehendaknya sendiri. "Apa kau paham?" Mater terdiam sebelum akhirnya kembali mengeluarkan suaranya. "Apa maksudmu dengan mengambil alih tubuhku? Dan kenapa jika aku mati, kalian juga ikut mati?" T kembali menjawab dan menjelaskan kepada Mater. "b******n ini. Bukankah secara eksplisit sudah jelas bahwa tujuan kami berdua ingin mengambil alih tubuhmu? Tidak ada hal lain selain itu." Mater merasa kurang puas dengan jawaban dari T. Namun ia memilih diam saja dan ingin mendengarkan penjelasan lain dari T. "Dan kenapa aku dan R akan mati jika kau mati? Karena membunuh jiwamu, sama saja dengan membunuh nyawa dari tubuhmu. Kau kira kita bisa hidup di tubuh tanpa nyawa?" Jika begitu, maka perkiraannya tentang mereka membutuhkan sebuah inang itu benar? Mater kembali memikirkan jika ia membutuhkan inang, berarti inangnya itu adalah nyawanya, bukan jiwanya. "Apa kau paham dengan penjelasanku? Kukira kau bukan orang yang bodoh maka seharusnya kau bisa memahami apa yang aku katakan." Tepat setelah T mengatakan itu, Mater berhasil memotong tali yang mengikat tubuhnya. Ia kemudian tersenyum. Senyuman itu dilihat oleh T dan R namun mereka berdua tidak paham dengan arti senyuman itu. "Terima kasih atas penjelasannya. Dan selamat tinggal, b******n sinting!" Begitu ia mengatakannya, Mater bangkit dan melempar kursi itu ke arah R dan berlari menjauhi mereka berdua. T yang terkejut secara spontan mengejar Mater yang kabur dari mereka. R yang terkena lemparan kursi dari Mater merasa sedikit pusing. Ia kemudian menyusul T dan ikut mengejar Mater dengan perasaan murka dan dendam. Di dalam otaknya saat ini hanya ada kata "dendam" dan "bunuh". Mater hanya berlari lurus tanpa melihat ke arah belakang. Ia tidak mengetahui tempat ini apakah ada tempat untuk bersembunyi atau tidak. Ia hanya fokus berlari dari kejaran mereka berdua. Hingga akhirnya, Mater merasa sudah menjauh dari mereka berdua. Sekarang ia hanya perlu memikirkan bagaimana caranya ia bisa kembali ke dunia nyata. Namun tanpa ia sadari, R yang ada tepat di belakangnya, menyergap Mater dari belakang dan mengarahkan pisau yang dia pegang ke leher Mater. Mater menahan tangan itu dan mencegah ujung pisau itu menusuk lehernya. Tapi kekuatan dari R sungguh besar dan membuat pisau itu semakin mendekat. Mater menutup matanya dan tetap berusaha menahan tangan R. Ujung dari pisau itu sudah menggores kulitnya dan mengeluarkan sedikit darah dari lehernya. Ia hanya bisa pasrah bahwa ia akan mati di tempat yang bahkan tidak ia ketahui. ■■■■■ Mortis tiba-tiba terbangun setelah handphone miliknya berdering berkali-kali. Ia kemudian melihat jam miliknya untuk mengetahui waktu sekarang. Ternyata, waktu masih menunjukkan jam 12 malam. Ia sangat kesal dengan orang yang menelponnya tengah malam di saat ia sedang ingin beristirahat. "Siapa b******n yang berani mengganggu waktu tidurku?!" Ia kemudian melihat handphone miliknya. Terdapat lima puluh lebih panggilan tak terjawab dari atasannya, Mater. Ia tak mengerti kenapa Mater menelponnya tengah malam begini bahkan sampai berkali-kali. Karena ia diliputi penasaran dan khawatir, dengan segera ia mengenakan pakaiannya dan berangkat menuju rumah Mater. Ketiak sampai di depan rumah Mater, Mortis dengan segera turun dari mobilnya dan berjalan menuju pintu depan rumah. Ia mengetuk rumah itu berkali-kali namun tak ada jawaban. Tok! Tok! Tok! Dia mencoba lagi namun lagi-lagi nihil. Karena ia mulai kesal, akhirnya dia berteriak dan marah-marah di depan pintu rumah Mater sambil terus mencoba mengetuk pintunya dengan lebih keras. "Woy, atasan sinting! Kenapa kau menelponku tengah malam dan tidak membiarkanku masuk b******n! Jangan katakan kalau kau tidur nyenyak dengan istrimu tapi malah menganggu waktu tidurku!" Mortis kembali menggedor pintu itu sampai berkali kali, namun hasilnya sama. Ia memutuskan untuk mendobrak rumah milik atasannya itu, ia sudah tidak peduli dengan apa itu tata krama dan sopan santun. Namun ketika ia memutar kenop pintunya, pintu itu terbuka. Rumah itu tidak terkunci. Emosi yang dirasakan Mortis berubah menjadi khawatir. Tidak ada orang bodoh yang berani membiarkan pintu rumahnya tidak terkunci. Ia pun akhirnya mencoba untuk masuk ke dalam rumah dan mencari tuan rumah. Alangkah terkejutnya dia ketika ia melihat Mater tengah memegang sebuah pisau dengan tangan kanannya dan ujung pisau tersebut sudah membuat luka di lehernya sampai mengeluarkan darah. Tangan satunya seolah ia berusaha menahan pisau itu untuk tidak terus bergerak dan menusuk lehernya. "Hei! Apa yang sedang kau lakukan bodoh?!" Tanpa pikir panjang, Mortis berlari ke arah Mater dan memukulnya dengan keras. Pisau yang tadi dipegang oleh Mater akhirnya terlepas. Mater kembali sadar dan matanya mulai terbuka. Wajahnya terlihat sangat merah dan dia mulai terengah-engah. Seolah ia telah menahan napasnya untuk waktu yang sangat lama. Mater mulai berdiri sempoyongan. Keringat keluar dari tubuhnya. Ia bahkan tak mampu untuk berdiri tanpa bantuan Mortis. "Hei, Bung. Apa yang terjadi?" Mortis khawatir sekaligus penasaran dengan apa yang terjadi. Atasannya sendiri mencoba untuk bunuh diri? Sungguh tidak masuk akal!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD