VALUABLE LOSS

2123 Words
Keputusasaanmu adalah jalan kebangkitanku. -Master Mind- *** "Ini laporan dari beberapa kasus yang berhasil kita tangani dan bereskan. Termasuk kasus yang melibatkan salah satu anggota dewan waktu itu," ucap Mater sembari menyerahkan satu tumpukan berkas kasus yang berhasil ia dan timnya selesaikan. "Kerja bagus." Balasan yang cukup singkat diucapkan oleh Baron. Ia kemudian membaca satu persatu berkas laporan yang diberikan oleh Mater. Semua catatan, bukti, penyelesaian, bahkan metode yang digunakan semuanya tercantum dalam berkas itu. Terlihat Baron mengangguk-anggukkan kepalanya saat membaca laporan itu yang menandakan bahwa tidak ada kesalahan dalam laporannya dan bisa diterima olehnya. "Baiklah, karena kau sudah bekerja keras akhir-akhir ini, bagaimana kalau kau menerima waktu libur tambahan dariku?" ucap Baron tiba-tiba. Mater pun sedikit terkejut karena tidak biasanya ada pegawai baik itu di keanggotaan khusus maupun polisi biasa yang mendapat tambahan libur dengan semudah itu. Mater pun menjadi sedikit curiga, bila saja dibalik alasannya memberikan libur tambahan, ada tujuan yang terselubung dibalik niat itu. "Maaf, maksud Anda bagaimana, Sir?" Baron pun tersenyum dan menjawab, "Apa kau tidak paham dengan maksud sederhanaku itu? Kau dan timmu akan kuberikan keringanan dengan penambahan waktu libur. Kau dan juga mereka sudah bekerja sangat keras dan berhadapan dengan banyak bahaya di luar sana. Semua itu sangat tampak dari wajahmu yang terlihat sangat frustasi." Baron kemudian tertawa sangat keras. "Ah, apa itu sangat terlihat jelas? Semua orang mengatakan hal yang serupa kepada saya, tapi saya mengabaikannya karena saya pikir itu hanyalah lelucon mereka," ujar Mater. "Bukankah kau terlalu jahat jika berpikir seperti itu kepada mereka?" Mater hanya diam. Baron kemudian melanjutkan kalimatnya, "Mereka semua khawatir dengan keadaanmu, termasuk juga denganku. Oleh karena itu aku memberimu waktu luang yang sedikit lebih lama untuk membiarkanmu istirahat dan berkencan dengan istrimu." "Tapi, bagaimana jika para kriminal itu mulai berulah lagi?" Baron kemudian berjalan mendekati Mater, menepuk pundaknya seraya berkata, "Tenang saja, apapun yang terjadi kepolisian akan selalu memiliki cara untuk meringkus mereka. Jadi, kau bersenang-senanglah." Baron kemudian melangkahkan kakinya berniat untuk pergi dari ruangan itu. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti, ia kembali menghadap Mater dan mengatakan sesuatu padanya. "Seharusnya kau seperti tangan kananmu, dia sangat senang ketika mendapat liburan tambahan dariku. Sepertinya, sekarang dia sudah sampai ke tempat yang ia tuju." Ah, pantas saja sejak beberapa hari kemarin, Mater tidak menemukan batang hidungnya di kantor. Ia sebenarnya berniat mendatangi Mortis di kediamannya, namun ia merasa ragu hingga akhirnya mengurungkan niatnya. Ternyata, di saat atasannya disibukkan dengan laporan yang seharusnya mereka kerjakan berdua, Mortis malah memilih meninggalkan tugasnya dan pergi liburan tanpa menghubungi Mater sama sekali. Bawahan biadab. Setelah mendengar itu, Mater menyusul langkah Baron yang mulai keluar dan meninggalkan ruangannya. Mereka berdua kemudian berjalan bersama untuk melakukan hal lain yang perlu mereka kerjakan. *** "Sayang, apa kau baik-baik saja?" Terdengar suara Julia yang menanyakan keadaan Mater. Wanita itu berjalan menghampiri Mater yang sedang duduk di beranda sambil menatap jauh ke pemandangan yang ada di hadapannya. Saat ini, Mater, Julia, dan Jona sedang menikmati masa liburan mereka setelah Mater menyelesaikan beberapa urusannya di kepolisian. Tentu, waktu liburan ini adalah hasil pemberian dari atasannya, Baron. "Huh?" Tampak respon tidak fokus Mater yang ditunjukkan sebagai tanggapan atas pertanyaan Julia. Julia pun hanya bisa menghela napasnya dan kembali menanyakan pertanyaan yang sama. "Apa yang sedang kau pikirkan sampai kau tidak mendengarkan aku? Apa kau baik-baik saja?" Mater tersenyum sembari mengarahkan pandangannya ke wajah cantik istrinya. "Tidak ada. Aku hanya sedang menikmati pemandangan ini. Berapa lama kita tidak menikmati masa liburan tenang seperti ini?" Bohong. Mater berbohong jika ia tidak memikirkan apapun. Ia masih sedikit kecewa dengan ayahnya, tepatnya ayah angkat, yang selama ini telah membohonginya. Ia pun juga masih tidak percaya bahwa dirinya adalah Mater yang palsu. Bukankah selama ini yang menjalankan peran sebagai "Mater" adalah dirinya? Berarti bukan dirinya yang palsu, tapi kepribadian yang diceritakan oleh ayah angkatnya itu yang palsu. Bukan Julia istri Mater jika ia tak mengetahui apa yang sedang dirasakan oleh suaminya. Kali ini dengan sedikit menggoda ala sensual, Julia kembali bertanya pada Mater perihal kondisinya. "Sayang, apa kau harus berbohong pada istrimu sendiri?" Jari-jemari nakal Julia mulai dengan agresifnya menyentuh bagian-bagian tubuh Mater. Bukannya menjawab pertanyaan istrinya, Mater justru terlihat menikmati perlakuan ganas dari istrinya itu. "Ah, memang tidak salah aku dalam memilih seorang wanita untuk menjadi istriku. Ayo, lanjutkan, sayang. Sudah lama kita tidak melakukannya." Niat Julia untuk menggoda suaminya itu gagal total. Wajah seksi dan menggoda yang tadi dia munculkan sekarang telah sirna digantikan wajah garang dan marah dari Julia. "Dasar suami sialan! Harusnya kau menjawabku bukannya malah menikmati itu!" "Bukankah kau dengan sukarela melakukan hal itu? Bagaimana aku bisa menolak perlakuan baik dari istri tercintaku?" ucap Mater diakhiri gelak tawa darinya yang membuat Julia makin kesal pada Mater. "Hentikan bualan menjijikkanmu itu, dasar pria menyebalkan!" Bukannya senang, Julia makin emosi mendengar rayuan dari Mater. Hal itu membuat Mater tertawa semakin keras. Namun, setidaknya Julia bisa kembali lega setelah melihat reaksi dari suaminya, selama dia masih mampu untuk tertawa dan merayunya, itu berarti tidak ada hal yang harus terlalu di khawatirkan. "Aku hanya khawatir dengan Mortis, Julia." Akhirnya Mater menjawab pertanyaan Julia. Dan tentu saja, ia masih berbohong untuk alasan sebenarnya kenapa dia terlihat tidak fokus, tapi alasan itu akan menjadi lebih masuk akal bagi Julia. Toh dirinya tidak seratus persen berbohong, dia benar-benar mengkhawatirkan bawahannya itu. Julia memasang wajah heran dan kembali bertanya, "Memangnya apa yang terjadi dengannya?" "Aku sudah mencoba menghubunginya, namun dia tidak sekalipun membalas pesanku. Bahkan dia tidak mengerjakan laporannya dan pergi liburan lebih dahulu, meninggalkanku dengan pekerjaan yang seharusnya ia lakukan." Mater masih sedikit kesal dengan kelakukan anak buahnya itu. Hal itu nampak dari bagaiman ekspresi Mater ketika mengingat apa yang dilakukan oleh Mortis padanya. "Yah, walau begitu, aku hanya berharap bahwa dirinya akan baik-baik saja." Julia hanya mengangguk setelah mendengar penjelasan Mater tersebut. Ia kemudian mendekatkan tubuhnya di atas pangkuan Mater dan mencium bibirnya. Julia kemudian memandang wajah suaminya itu lalu tersenyum. Tersirat dalam senyuman itu bahwa semua akan baik-baik saja. Mater pun tersenyum melihat perlakuan istrinya itu. Memang sungguh nikmat jika bisa dimanja oleh istri sendiri. "Apa hanya itu saja?" Julia kembali bertanya pada Mater. "Ya, tentu." Kemudian mereka berdua terdiam. Dari wajah Julia, nampak ia ingin menyampaikan sesuatu, namun berusaha ia tahan. Mater menyadari hal itu dan kemudian menanyakannya kepada Julia. "Ada apa? Apa kau ingin mengatakan sesuatu?" Tampak Julia sangat ragu untuk mengatakannya. Seolah itu adalah hal yang sangat rahasia bahkan untuk diberitahukan kepada seseorang sekelas suaminya sendiri. Yah, walaupun Mater juga menyembunyikan banyak hal dari Julia, jadi ia rasa itu impas? "Apa yang menganggumu? Sekarang waktunya kau yang berkata jujur padaku, sayang." "Kemarin, aku mendapat telpon dari rumah sakit." Julia akhirnya mau mengatakan yang ia pendam setelah dirayu oleh Mater. Mater pun kembali bertanya karena ia masih belum paham kenapa istrinya itu ditelpon rumah sakit. "Rumah sakit? Apa kau sakit? Kenapa kau tak mengatakannya padaku?" Julia menggelengkan kepalanya yang berarti bahwa kekhawatiran Mater itu salah. "Tidak, bukan aku. Tapi ayahmu, rumah sakit menelponku bahwa kemarin ayahmu kritis." Julia nampak sedih ketika mengatakan hal itu. Air matanya mulai mengalir keluar dan memeluk Mater. Berbeda dengan Mater, anehnya ia bahkan tidak merasakan sedih. Ekspresi datarnya itu menggambarkan isi hatinya saat ini. Untuk menenangkan Julia yang sedang menangis di pangkuannya itu, Mater mencoba untuk menenangkannya dan berencana mengajak Julia dan Jona untuk menjenguk Rhodes di rumah sakit. "Baiklah, setelah ini kita pergi ke rumah sakit itu dan melihat keadaan ayah." Julia pun mengangguk menyetujui saran dari Mater. Tepat setelah itu, suara dering dari telepon menginterupsi mereka berdua. Julia berinisiatif untuk mengangkat panggilan itu. Setelah beberapa saat Julia pergi, Mater terkejut ketika mendengar suara sesuatu yang jatuh. Mater bergegas masuk karena khawatir terjadi apa-apa dengan Julia. "Ada apa?! Aku mendengar sesuatu jatuh." Ketika Mater sampai, ia melihat istrinya yang terduduk lemah sambil menangis. Air matanya mengalir dengan deras. "Ayah, dokter mengatakan kalau ayah sudah tiada." Kalimat itu terucap dari mulut Julia, diiringi tangisan yang pecah dari Julia. *** Proses pemakaman Rhodes saat ini tengah berlangsung. Di sana hadir juga Baron, dan bawahannya yang sempat menghilang tak ada kabar, Mortis. "Maafkan aku karena aku meninggalkanmu di situasi seperti ini. Aku sungguh minta maaf." Mortis membungkuk meminta maaf kepada Mater. Dengan kerendahan hatinya, Mater tersenyum dan memaafkan Mortis. "Sudahlah tidak apa. Terima kasih karena sudah datang ke pemakaman," ucap Mater. Mortis merasa bersalah atas tindakannya itu. Tapi ia juga tidak tahu bahwa atasannya itu akan mengalami hal seperti ini. Baron yang melihat Mater dan Mortis pun berjalan menghampiri mereka. Ia juga menyampaikan bela sungkawanya kepada Mater dan berusaha menyemangatinya. "Aku turut berduka cita atas apa yang terjadi pada ayahmu. Aku tak bisa membantumu banyak, tapi kalau kau membutuhkan bantuan, kau bisa mencariku." Mater kembali tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada atasannya itu. "Terima kasih, Sir. Kau sudah sangat membantuku, aku tak apa." Baron mengangguk memahami apa yang Mater inginkan. Baron dan Mortis kemudian meninggalkan Mater sendiri untuk memulihkan perasaannya. Mater mengalihkan pandangannya mencari Julia dan Jona. Ia melihat Julia dan Jona sedang menangis dipelukan Rona. Begitupun dengan Dereck yang berusaha tetap tersenyum menerima para tamu walaupun air matanya berkali-kali memaksa untuk menyeruak keluar. Saat ini, Mater tak paham dengan perasaannya sendiri. Ia bahkan tidak merasakan sakit maupun sedih. Apa dia membenci Rhodes? Tentu saja tidak. Ia berutang banyak pada Rhodes hingga membuatnya seperti sekarang. Namun Mater juga tidak munafik bahwa kekecewaannya belum sepenuhnya sirna. Lalu apa yang ia rasakan kini? Mungkin, sekarang dirinya telah kehilangan sesuatu yang berharga bernama empati. Seolah perasaan sedih dan kalutnya ikut sirna bersamaan dengan sifat empatinya. Apa dia meneteskan air matanya ketika mendengar ayahnya sudah tiada? Tidak sama sekali. Hanya saja, ia merasa ada yang hilang dari pikirannya sekarang. Kehilangan sesuatu yang bahkan tidak ia pahami apa itu, apakah orang terdekatnya, atau perasaan empatinya? Prosesi pemakaman Rhodes berlangsung lancar dan tak ada kendala apapun. Semua kerabat, keluarga, teman, dan sahabat dari Mater dan Julia pun ikut hadir dalam prosesi itu. Mereka semua mencoba menyemangati Mater dan Julia untuk tetap tegar. Mater cukup senang bahwa masih banyak yang peduli padanya. Hanya saja, saat ini ia tidak sedang membutuhkan itu. Ia hanya butuh waktu untuk sendiri. Setelah semua prosesi pemakaman itu berakhir, Mater, Jona, dan Julia kembali ke rumah bersama Rona dan Dereck. Sedari tadi, Mater hanya diam dan tak berkata apapun kepada mereka. Mereka pun yang melihat itu bingung harus bertindak apa, walaupun itu mungkin saja tindakan yang wajar setelah kehilangan salah seorang keluarganya, tapi tetap saja perilakunya membuat yang lain khawatir dengan kondisinya. Akhirnya, Rona memutuskan untuk berbicara dengan Mater. Ia berjalan menghampiri Mater yang tengah duduk di halaman depan rumah. "Kau dari tadi diam saja dan tak berkata apapun. Apa kau baik-baik saja, Nak?" Mater melihat siapa orang yang bertanya padanya, ternyata itu ibu mertuanya. Mater kemudian tersenyum dan menjawab kekhawatiran ibu mertuanya itu. "Aku baik-baik saja, Ibu. Mungkin aku hanya perlu waktu untuk menerima semuanya." Rona sangat memahami perasaan itu. Ia kemudian menepuk pundak Mater, berusaha memberinya kekuatan dan kehangatan dari kasih sayang orang tua. Hal itu membuat Mater tenang dan tersenyum kembali kepada Rona. "Semua orang pada akhirnya akan mati, kau tahu itu bukan?" tanya Rona kepada Mater. Mater pun mengangguk sebagai ungkapan persetujuannya terhadap perkataan ibu mertuanya itu. "Hanya saja, kita tidak akan tahu kapan dan bagaimana kita akan mati. Apakah kita akan mati karena sakit, atau mati karena di bunuh. Aku yakin kau sangat memahami konsep itu mengingat pekerjaanmu sangat dekat dengan tragedi dan kematian seseorang." "Yah, aku sangat memahami itu. Aku juga tahu bagaimana rasa sakit yang dirasakan ketika mereka kehilangan seseorang yang berarti baginya." Mater akhirnya mau berbicara setelah beberapa waktu sebelumnya ia hanya diam saja dan menampakkan tatapan kosong. Mater pun melanjutkan kalimatnya, "Tapi, entah apa yang terjadi padaku sekarang, aku tak bisa merasa sedih ataupun sakit setelah melihat ayahku mati. Apa karena aku terlalu sering menikmati pembunuhan yang sudah aku lakukan sehingga aku kehilangan rasa kemanusiaan dan empatiku, ataukah aku memang tidak menganggap ayahku sendiri sebagai orang yang berharga untukku. Aku bingung dengan perasaanku." Mater kembali menatap kosong ke arah langit yang malam itu dipenuhi bintang-bintang. "Jika dia melihatku dari atas sana, apakah dia akan kecewa padaku karena aku tidak menangis untuk kepergiannya? Apakah dia akan meminta kepada Tuhan untuk menghukumku?" Rona yang mendengar itu segera memeluk Mater, memberinya kekuatan dan mencoba untuk menghilangkan pikiran buruk itu dari hati dan otaknya. "Tidak. Bukan seperti itu, Rhodes pasti akan senang karena kau mampu tetap kuat walaupun harus kehilangan dirinya. Kau hebat karena kau mampu menahan perasaan dukamu, kau kuat karena kau mampu melawan sedihmu. Yang harus kau lakukan sekarang adalah bangkit, lepaskan apa yang menjadi beban untukmu. Bebaskan dirimu untuk melakukan apapun. Aku yakin itulah yang diharapkan ayahmu darimu." Rona kemudian melepaskan pelukannya. Kembali menepuk pundak Mater dan tersenyum ke arahnya. Mater pun juga membalas senyuman itu. Ia kembali menatap ke arah bintang-bintang di langit seraya berkata, "Terima kasih, Ibu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD