THE TRUTH

2404 Words
Aku tidak mempercayai kebenaran, tapi aku juga tidak menyukai kebohongan. -Master Mind- *** "Jona, kau sudah menyelesaikan berdandanmu? Bukankah kau ingin segera bertemu dengan Kakek Rhodes?" ucap Julia sambil menunggu putrinya menyelesaikan dandannya. "Tunggulah sebentar ibu, aku masih belum selesai!" Jona berteriak menjawab pertanyaan ibunya. Julia hanya menggelengkan kepalanya mengetahui kelakuan dari putrinya. Ia kemudian berjalan ke dapur dan membantu Rona menyiapkan makanan sebelum Mater, Julia, dan Jona pergi. "Biar aku bantu ibu, bukankah kau masak banyak lagi hari ini." Julia menghampiri ibunya dan meraih satu mangkuk masakan ibunya itu untuk dibawa ke meja makan. "Sudahlah, kau bantu Jona bersiap saja. Bangunkan juga suamimu itu, jangan sampai ia lupa bahwa hari ini kalian akan berkunjung ke tempat orang tua Mater." Rona mengambil mangkuk yang ada di tangan Julian dan mendorong Julia untuk mengurus hal lain. "Mater sudah bangun ibu, ia sedang di kamar. Sepertinya ia sedang bersiap-siap." Di kamar, Mater sedang berdandan di depan cermin yang ada di kamar itu. Setelah dirasa ia sudah cukup baik, ia kemudian duduk di pinggiran ranjang. Ia menatap dirinya sendiri lekat-lekat. "Hah, apa yang kau pikirkan, Mater. Aku tetaplah aku, tidak ada aku yang lain di dunia ini." Mater bermonolog dengan bayangan dirinya sendiri di cermin itu. Ia masih terngiang-ngiang dengan perkataan Effe bahwa dirinya adalah diriku. Mungkin akan lebih baik jika ia menanyakannya pada ayahnya, Rhodes. Mungkin saja ia mengetahui tentang maksud dari perkataan orang itu. "Sayang, ke sini. Mari kita makan, masakan sudah siap." Terdengar suara Julia dari luar yang memanggil dirinya. "Baiklah sebentar. Aku belum menyelesaikan bersiapku." "Okay, Jona! Butuh berapa lama untuk dirimu berdandan, sayang? Apa kau tidak ingin sarapan?" Terdengar juga Julia memanggil Jona yang sepertinya sedari tadi belum menyelesaikan dandannya. Mater pun segera melanjutkan persiapannya dan menyusul Julia serta Jona yang sudah berada di ruang makan. Sebelum mereka pergi, mereka menyempatkan untuk sarapan bersama dengan keluarga Julia. *** "Kakek! Nenek! Jona berangkat dulu, bye!" Jona melambaikan tangannya keluar dari mobil Mater. Dereck dan Rona yang melihatnya juga membalas lambaian tangan cucunya itu dan tersenyum. "Iya, hati-hati di jalan." Setelah itu, mobil mulai melaju menjauh dari rumah keluarga Julia. Selama perjalanan, di mobil mereka dipenuhi dengan keceriaan. Jona selalu menjadi sosok yang menghidupkan suasana di dalam mobil. Tak ada kata jenuh selama perjalanan mereka berlangsung. Jona yang mulai kelelahan, memilih untuk menutup matanya dan tertidur mengingat perjalanan mereka juga masih cukup jauh. "Lihatlah Jona. Ia masih tetap menggemaskan walau dalam keadaan terlelap," ucap Julia tak kala ia memandang wajah putrinya dari kursi penumpang di sebelah supir. Julia tersenyum bahagia mengetahui bahwa Jona menjadi anak perempuan yang ceria. "Tentu saja. Saat dia tertidur bahkan mirip denganku saat aku masih kecil." Mater mengatakan itu dengan sombongnya. Julia hanya menatap aneh ke arah suaminya itu. "Memangnya kau mengingat masa kecilmu waktu tidur?" "Tidak. Ayah yang memberitahukan padaku kalau ketika aku tidur, pasti memiliki wajah yang menggemaskan." Julia memukul bahu Mater dengan keras karena merasa kesal dengan perkataan suaminya. Mater hanya tertawa karena berhasil mengerjai Julia. Setelah beberapa waktu berjalan, akhirnya mereka sampai di rumah sakit tempat ayah Mater dirawat. Julia pun membangunkan putrinya yang masih nyaman terlelap. "Sayang, kita sudah sampai bangunlah. Bukankah kau ingin bertemu dengan Kakek Rhodes?" Jona pun akhirnya terbangun. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali sebelum ia mulai sadar dan turun dari mobil. Sebelum mereka menuju kamar Rhodes, Mater terlebih dahulu menuju tempat resepsionis untuk menanyakan kesediaan waktu berkunjung, sedangkan Julia berada di kamar mandi untuk menemani Jona mencuci mukanya. Sekembalinya Jona dari kamar mandi, ia langsung berjalan menghampiri Mater. "Ayah, apa kita bisa bertemu dengan Kakek Rhodes?" Mater pun menjawab, "Tentu. Nona resepsionis ini mengatakan kalau kita masih bisa bertemu dengan Kakek Rhodes. Jadi tenang saja." Mata Jona berbinar dan menunjukkan kebahagiaan. Mater pun tersenyum menyaksikan putrinya yang bahagia. Kemudian, mereka bertiga berjalan menuju ruangan dari Rhodes. Setelah sampai, Mater membuka pintu terlebih dahulu sembari memberi salam kepada ayahnya yang sedang membaca sebuah novel. "Halo, ayah. Lihatlah siapa yang aku bawa ini." Rhodes yang terkejut dengan kedatangan Mater, ia kemudian menoleh dan memperhatikan siapa yang dimaksud oleh Mater. Bersamaan dengan itu, Jona muncul dari balik tubuh Mater dan berteriak sambil berlari menuju Rhodes. "Kakek! Jona datang!" "Ah, cucuku Jona. Kemari, kemari. Duduklah bersama kakek." Jona langsung duduk di pinggir ranjang tepat di sebelah Rhodes. Jona juga memeluk Rhodes dengan penuh kasih sayang. "Oh, aku sangat mengaharapkanmu datang ke sini. Kenapa kau lama sekali tidak menjenguk kakek?" Rhodes bertanya kepada Jona. Jona yang ditanya pun hanya tersenyum dengan pertanyaan tersebut. "Maafkan Jona, Kek. Ayah sangat sibuk hingga tak bisa mengantar Jona untuk menjenguk kakek. Kakek marahin saja ayah!" Mereka semua tertawa mendengar perkataan Jona. Rhodes juga melihat Julia datang bersama Mater. Ia kemudian menyapanya dan menanyakan keadaannya. "Julia, apa kabar?" "Aku baik-baik saja, ayah." "Apa Mater baik padamu? Jika ia berani macam-macam padamu, kau laporkan saja padaku." Julia tersenyum mendengar perhatian dari ayah mertuanya itu."Baiklah, ayah. Tapi untuk saat ini dia masih berlaku baik padaku." Mater yang tersinggung pun mulai mengeluarkan suara. "Apa maksudmu untuk saat ini?" "Lihatlah ayah, Mater mulai berkata kasar padaku." Rhodes pun membalas Julia dan berkata, "Mater! Perlakukan istrimu dengan baik." Mater mendengus kesal karena pembelaan yang dilakukan ayahnya kepada Julia. Julia hanya tertawa melihat bagaimana respon dari Mater. "Ayah, bagaimana keadaanmu sendiri? Apa akhir-akhir ini kau merasa sudah lebih baik?" "Tiap hari aku merasa lebih baik. Bahkan aku merasa lebih baik ketika ada sebuah novel di tanganku. Tapi para pegawai rumah sakit yang sialan ini selalu menahanku untuk keluar hanya sekedar pergi ke perpustakaan." "Sabar, ayah. Bukankah mereka seperti itu karena ingin kau lekas sehat dan tidak terjadi apa-apa?" "Huh, mereka tidak mengerti bagaimana orang tua ini merasa sangat bosan merasa terkekang di tempat seperti ini." Julia hanya tersenyum dan mencoba menyemangati ayah mertuanya itu. "Kakek. Jika kakek sudah keluar dari sini, temani Jona bermain." Jona dengan polosnya mengucapkan hal itu. Rhodes pun tersenyum mendengar ajakan dari cucu kesayangannya itu. "Tentu saja! Kakek akan membawamu berkeliling kota sampai kau merasa bosan." Jona terlihat kegirangan mendengar Kakeknya itu mengiyakan keinginannya. Jona akhirnya melanjutkan bincang-bincangnya dengan sang kakek. Ia bercerita banyak sekali kepada Rhodes seolah ia tak mengenal kata lelah. Rhodes mendengarkan ocehan dari cucunya itu dengan senang hati dan tetap merespon apapun yang dikatakan oleh cucunya itu. Rhodes terlihat sangat bahagia dan bersyukur bahwa ia memiliki cucu yang menggemaskan seperti Jona. *** Mater dan Rhodes akhirnya memiliki waktu berdua setelah Julia dan Jona pergi untuk membeli camilan di toko yang ada di dekat rumah sakit. Sebenarnya, itu hanyalah rencana Julia untuk memberikan waktu antara suaminya dan ayah mertuanya itu untuk mengobrol setelah sekian lama mereka tidak bertemu. "Apa kabar, ayah?" Mater memulai percakapan dengan Rhodes. "Seperti yang kau lihat, bahkan tidak ada yang berbeda dari sebelumnya. Bahkan dokter sempat mengatakan padaku bahwa hidupku sudah tak lama lagi. Aku hanya sedikit menyesal sepertinya aku tak bisa menepati janjiku pada Jona." Di tengah penyakitnya itu, dia masih saja memikirkan orang lain daripada dirinya sendiri. "Aku juga sudah mendengar itu, dokter yang memberi tahukannya padaku ketika aku berada di resepsionis tadi." Mereka kembali terdiam. Rhodes yang sibuk dengan novelnya dan Mater yang sibuk dengan pikirannya sendiri. Untuk menghindari suasana canggung itu, ia akhirnya memulai untuk membuka topik lagi. "Akhir-akhir ini aku terlihat sangat kacau dan frustasi, kau tahu?" Rhodes menatap sekilas ke arah Mater dan berkata, "Ya, aku tahu itu. Apa kau tak sadar bahwa wajahmu mengatakan semuanya? "Aku lelah, aku bosan, aku ingin berhenti", itulah yang tampak di wajah kusutmu itu." Mater hanya tersenyum mendengar perkataan ayahnya itu. "Kau memang orang yang paling paham dengan keadaanku. Dan seperti biasa, perkataanmu itu selalu tajam." Rhodes tertawa mendengar penuturan anaknya itu. Walaupun matanya masih tetap fokus dengan novel yang ada dihadapannya saat ini. "Lalu, apa yang membuatmu hingga merasa sangat frustasi seperti itu." Mater pun menceritakan apa yang ia alami kepada Rhodes, ayahnya. "Banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini. Bahkan tanpa sadar aku hampir mencoba membunuh diriku sendiri. Jika aku mengingat itu, sungguh mengerikan jika dikatakan sebagai sebuah pengalaman." "Apa kau salah makan? Keracunan? Mabuk? Bisa-bisa kau hampir bunuh diri karena hal yang tak jelas." Rhodes menutup novelnya dan memusatkan fokus pandangannya ke putranya itu. "Tidak. Apa kau percaya bahwa aku bermimpi bertemu dengan seorang kriminal, dan bertarung dengannya hingga di mimpiku, aku menahan sebuah pisau menggorok leherku. Dan ternyata hal itu juga terjadi dalam keadaan nyataku." Rhodes mengangguk mendengar penjelasan Mater. "Lalu, bagaimana kau bisa sadar dari mimpimu? "Mortis datang mencegahku." "Kau berhutang satu nyawa padanya, Nak." Mater hanya tertunduk ketika ia kembali mengingat kejadian mengerikan yang telah ia alami saat itu. Ia tak ingin mengingatnya namun pengalaman dan sensasi yang ia rasakan waktu itu tidak bisa hilang begitu saja. "Kriminal seperti apa yang kau temui dalam mimpimu itu?" Rhodes bertanya kepada Mater. "Kau tahu bukan bahwa di kota ini adalah sekelompok kriminal yang membentuk sebuah perkumpulan untuk para kriminal lain dan menganggapnya sebagai rumah mereka. Aku bertemu dengan eksekutif mereka dalam mimpiku." Tampak Rhodes terkejut setelah mendengar perkataan Mater. Mater yang menyadari itu merasa heran, kenapa ayahnya itu terkejut setelah mendengar siapa yang ia temui dalam mimpinya. "Dari ekspresimu, sepertinya kau tahu mereka, ayah." "Bodohnya kau! Aku bukan terkejut karena aku mengenal mereka, aku terkejut karena perkataanmu yang mengatakan bertemu dengan mereka dalam mimpimu. Bagaimana kau bisa bertemu dengan mereka ketika kau bahkan sangat membenci mereka." Mater kembali menunduk sebelum akhirnya ia menjawab perkataan ayahnya itu. "Entahlah. Aku sudah bertemu dengan beberapa dari mereka. Mereka memiliki nama yang sangat aneh dan dipanggil dengan satu huruf yang melambangkan topeng yang mereka pakai. Di antara yang pernah aku temui, ada salah satu dari mereka yang kurasa sedikit lebih baik dari mereka. Dia mengatakan padaku dan mengoceh tentang keseimbangan dunia, di mana keberadaan mereka lahir karena sebuah hal baik muncul sebagai pembanding mereka. One Eye milikku yang mereka maksud." Rhodes mengangguk memahami penjelasan dari Mater. Kemudian Mater menjelaskan ceritanya kepada Rhodes. "Selain itu, pria yang berbeda itu, ia memperkenalkan dirinya sebagai Effe, atau E jika sesuai dengan nama panggilannya. Si Effe itu juga mengatakan tentang bagaimana sudut pandangnya yang sebagai kriminal terhadap orang banyak. Bagaimana orang-orang seperti dirinya hanya dipandang sebagai orang jahat, terlepas dari hal baik yang pernah mereka lakukan. Dan hal yang paling mengangguku adalah ketika dia mengatakan bahwa dirinya adalah diriku. Sungguh tidak masuk akal ketika aku adalah kriminal seperti dirinya, dan bagaimana bisa aku bertemu dengan orang yang bahkan belum pernah kulihat sebelumnya tapi malah muncul dalam mimpiku." Sebelum Rhodes menjelaskan apa yang ingin ia katakan, ia mengehela napas dan menatap mata Mater. "Nak, apa kau ingin dengar yang sebenarnya?" "Apa maksudmu dengan yang sebenarnya?" Mater balik menatap ayahnya dengan tatapan heran. "Apa yang dikatakan sosok yang kau lihat yang memperkenalkan dirinya sebagai Effe, semua yang dikatakannya itu adalah sebuah kebenaran." Mater terkejut namun juga masih bingung dengan apa yang dimaksud oleh ayahnya itu. "Apa maksudmu bahwa semua perkataannya termasuk dengan perkataannya bahwa dia adalah diriku?" Rhodes tak langsung menjawab pertanyaan dari Mater. Ia malah kembali bertanya kepada Mater. "Apa kau ingat dengan hal yang terjadi padamu di masa lalu?" Mater menggeleng sebagai respon dari pertanyaan ayahnya. "Kau memberi tahuku bahwa aku kecelakaan dan kehilangan ingatanku.. Semua masa laluku hanyalah berasal dari semua ceritamu. Aku tak bisa mengingat hal lain selain setelah aku terbangun di rumah sakit." Rhodes kembali menghela napas, ia merasa sangat berat untuk mengatakan semuanya. Namun, ia merasa bahwa saat ini adalah saat yang paling tepat. "Aku bukanlah ayah kandungmu." Nampak jelas ekspresi terkejut yang diperlihatkan oleh Mater dihadapan ayahnya, atau bisa dikatakan ayah tirinya? "Aku menemukanmu saat usiamu 20 tahun, menjadi gelandangan yang terus menggumamkan tentang balas dendam. Aku memberimu rumah, makan, dan pendidikan hingga kau kembali merasakan kehidupan sebagai seorang manusia. Namun, sosok yang aku selamatkan bukanlah Mater yang saat ini ada dihadapanku dan berbicara denganku. Tapi Mater yang lain yang ada di dalam dirimu." Mater hanya terdiam mendengar penjelasan dari Rhodes. "Kau mengatakan bahwa kau bertemu dengan para eksekutif dari organisasi kriminal itu bukan? Dan salah satunya bernama Effe? Dia adalah bagian dari dirimu. Dan kau, sebenarnya adalah sebuah kepribadian yang diciptakan oleh Mater asli yang saat ini menjadi pemimpin dari para kepribadian lain yang berperan sebagai kriminal, ia menamai dirinya sekarang sebagai Master Mind. Kau adalah sosok pribadi yang sengaja diciptakan olehnya untuk prosesnya dalam balas dendam." Tampak Mater tidak menerima penjelasan dari Rhodes. Ia tak mempercayai satupun cerita yang dikatakan oleh pria tua dihadapannya itu. "Mater asli memiliki sifat pendendam yang muncul karena keluarganya dibantai oleh seseorang di depan mata kepalanya sendiri. Ketika aku menemukannya, ia mulai memiliki sifat lain yang digambarkan dengan berbagai kepribadian, dan beberapa di antaranya mungkin sudah bertemu denganmu, Aide, Turmoil, Effe, Ruthless, Vesta dan kepribadian aslinya yang ia ubah dengan nama Master Mind. Kau, diciptakan dari gabungan keenam sifat itu, dan ia juga menugaskanku untuk menanamkan kebaikan yang membuatmu menjadi sosok seperti sekarang. Kau bukanlah Mater yang asli, melainkan kepribadian yang aku dan Mater ciptakan. Maafkan aku." Rhodes mulai menetaskan air matanya. Ia tak kuasa karena ia telah mengkhianati anaknya sendiri walaupun Mater bukanlah anak kandungnya. Mater pun hanya mampu terdiam, tak bisa berkata-kata. Ia tak ingin mempercayainya, tapi jika melihat apa yang sudah ia alami, ia juga tidak bisa menyangkal hal itu. "Sesuai dengan tujuan Mater asli, ia ingin menjadikan kepribadian ke tujuhnya untuk menjadi sosok yang berjalan di jalan kebaikan. Ia tak ingin semua kepribadiannya terjerumus dalam hal gelap, dan berharap bahwa kau memiliki jalan lain yang lebih terang. Hal itu juga digunakan untuk penyeimbang kepribadian di dalam tubuhnya." "Lalu, bagaimana dengan semua cerita masa laluku yang ceritakan padaku? Jangan katakan kalau kau dan b******n itu juga yang memanipulasinya?" "Itu benar. Mater asli lah yang merancang cerita itu ketika ia mulai merasakan kepribadian lain muncul. Tapi yang perlu kau tahu bahwa aku membesarkanmu sepenuh hati dan berharap bahwa kau lah yang menjadi kepribadian tetap Mater mengalahkan kepribadian yang lain." Mater sudah tak mempercayai lagi perkataan Rhodes. Ia benar-benar merasa kecewa dan merasa dikhianati oleh orang yang ia anggap sebagai ayah kandungnya. "Kau, bahkan lebih buruk dan lebih b******k dari diriku yang lain! Kau sungguh mengecewakan!" Mater kemudian keluar dari ruangan Rhodes dengan emosi yang meluap-luap. Ia benar-benar tak bisa menerima kenyataan yang dikatakan oleh Rhodes padanya. Ia benar-benar merasa dikhianati. Di sisi lain, Rhodes merasa sedih dan juga lega. Ia sedih karena harus memberikan kenyataan yang pahit pada putra kesayangannya, namun ia lega karena sudah tidak lagi menyimpan rahasia yang membuatnya merasa bersalah selama ini. "Sesuai keinginanmu, Nak. Aku sudah menjalankan tugasku. Sisanya, aku serahkan padamu untuk menyelesaikannya. Aku rasa, aku bisa pergi dengan tenang sekarang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD