FAMILY TIME

2147 Words
Keluarga adalah rasa bahagia yang tak akan sirna, tempat yang nyaman untuk berbagi canda tawa dan suasana terbaik yang pernah ada. -Julia- *** Setelah menyelesaikan segala urusannya di kepolisian, Mater memilih untuk pulang dan kembali ke rumah. Ia harus bersiap-siap karena ia sudah berjanji untuk menjemput Julia dan Jona ditempat keluarga Julia. Dengan segera, Mater melesat mengendarai mobil kesayangannya menuju rumah. Begitu ia tiba di rumah, ia tak langsung mempersiapkan dirinya untuk pergi, melainkan memilih untuk duduk sejenak. Ia juga kembali memikirkan perkataan Effe. Sungguh, perkataan dia memberikan efek yang sangat terasa bagi Mater. Ia tidak mampu berpikir jernih untuk saat ini bahkan hanya untuk melakukan apa yang harus ia lakukan. Dirasa ia sudah cukup lama berdiam diri di rumahnya, ia segera mempersiapkan keperluan yang akan dia bawa dan memasukkan ke dalam mobil. "Persetan dengan apa yang dikatakan oleh orang itu. Saat ini aku harus segera menyusul Julia dan Jona, aku yakin mereka saat ini sudah menungguku," ucap Mater. Dengan segera ia menyiapkan keperluan yang akan ia bawa, memasukkannya ke mobil, dan bersiap untuk melajukan kendaraannya. Setelah di rasa apa yang ia bawa sudah cukup, Mater segera mengendarai mobilnya menuju alamat rumah keluarga Julia. Triring! Triring! Suara dering telepon milik Mater menginterupsinya ketika sedang mengemudikan mobilnya. Ia kemudian melihat siapa yang menelponnya sekarang. Tertera nama Julia di layar ponselnya, ternyata istrinya lah yang menelpon dirinya saat ini. Mater segera mengangkat panggilan video tersebut dan meletakkan ponselnya di depan wajahnya dekat dengan kemudi. "Hai, sayang. Aku sedang dalam perjalanan," ucap Mater menyapa istrinya di seberang sana. "Baiklah, berhati-hatilah di jalan. Aku dan Jona menunggumu di sini." Tampak wajah senyum berseri dari istrinya membuat Mater juga ikut tersenyum melihatnya. Tak berselang lama, terdengar suara anak perempuan kecil yang memanggil dan menyebut kata "ayah" berkali-kali. "Ayah, ayah, ayah." Ternyata itu adalah Jona, anak perempuan Mater dan Julia. "Ah, kesayangan kecil ayah. Kenapa kau berteriak seperti itu, Jona?" "Apa ayah sedang di jalan menjemputku?" "Tentu saja! Apa kau tidak ingin ayahmu ini datang menjemputmu?" "Tentu aku mau! Tapi kenapa ayah lama sekali?" Mater tertawa melihat bagaimana anaknya memasang wajah cemberut di sana. Sungguh anak yang menggemaskan. "Hahaha, ayah sedang di perjalanan, sayang. Kau bisa bersabar untuk menungguku bukan?" Masih dengan wajah cemberutnya, Jona menjawab, "Hm, baiklah. Aku akan menunggumu." Mater kembali tertawa melihat kelucuan anaknya itu. Ah, itu membuat Mater semakin merindukan Julia dan Jona. Mater kemudian sedikit menambah kecepatan laju mobilnya. Kebetulan, saat ini jalanan tidak terlalu ramai seperti biasanya. "Apa kau berlaku baik selama di rumah nenek, Jona?" Mater melemparkan pertanyaan pada putrinya itu. "Te–tentu saja! Jona kan anak yang baik, Jona juga senang tinggal bersama nenek." Mendengar keraguan Jona di awal membuat Mater bertingkah seolah ia curiga dan tidak percaya dengan perkataan putrinya itu. Ia menatap putrinya dengan wajah penuh keraguan yang berhasil ia buat-buat. Hal itu berhasil membuat putrinya kesal dan memilih melapor kepada Julia. "Ibu! Ayah menatapku dengan jahat!" Jona melaporkan kelakuan Mater sekaligus memberikan ponselnya kepada Julia. "Hei! Apa yang kau lakukan pada anakku?!" Kali ini gantian Julia yang memasang wajah garang. "Hahaha, apa maksudmu "anakku"? Jona adalah anakku." "Aku tak peduli." Mereka berdua akhirnya tertawa bersama. Jika orang lain melihat interaksi keluarga Mater, mereka pasti akan berpikir bahwa mereka adalah gambaran bagaimana suatu keluarga yang ideal dan dipenuhi oleh canda dan tawa. Tak ada yang salah dengan pandangan seperti itu, hanya saja bagi Mater, keluarganya bukan hanya sekedar tempatnya berbagi kebahagiaan. Tapi juga tempatnya untuk membuang segala rasa kekesalannya terhadap pekerjaan atau yang lainnya. Keluarga adalah tempatnya pulang dan menikmati hidup sebagai "manusia biasa", begitulah yang Mater pikirkan. "Kau terlihat sangat lelah, sayang. Apa kau baik-baik saja?" Terdengar nada khawatir dalam pertanyaan yang diutarakan oleh Julia. "Yah, mungkin karena aku tidak memiliki waktu banyak untuk tidur. Banyak hal telah terjadi belakangan ini." "Istirahatlah ketika kau sudah sampai dirumah Ibu. Aku akan menyiapkan kamarnya." "Baiklah, kuserahkan itu padamu." Mater tersenyum pada Julia di akhir kalimatnya. Selama perjalanan, Mater ditemani oleh Julia dan Jona melalui ponselnya. Ia tak merasakan perjalanannya yang sepi dan sunyi. Kebahagiaan terus ia rasakan selama perjalanannya menemui mereka berdua. *** "Ayah!" Melihat ayahnya telah tiba, Jona dengan segera berlari menghampirinya. Julia yang melihat itupun memperingatkan putrinya untuk tidak berlari. "Jona, jangan lari! Pelan-pelan saja, ayahmu juga baru saja sampai, sayang." Berbeda dengan Mater, ia merentangkan tangannya bersiap menangkap pelukan dari putrinya yang sedang berlari ke arahnya. "Kemarilah malaikat kecilku. Apa kau merindukanku, huh?" "Ayah! Kenapa kau lama sekali menjemputku?" ucap Jona pada Mater. Gadis itu mendekap dengan erat tubuh Mater dengan wajahnya yang terlihat kesal. Namun bagi Mater, wajah Jona saat ini sungguh menggemaskan. Bahkan ia tertawa sambil mencubit pipi putrinya itu hingga Jona merasa kesakitan. "Akh! Sakit ayah! Huft, kenapa ayah malah mencubitku?" "Hahaha, kau sangat menggemaskan, Jona. Apa kau tidak merindukan aku dan memilih untuk marah pada ayahmu ini?" Jona kemudian tersenyum dan berkata, "Tentu saja aku merindukanmu. Ayah sangat lama." Di tengah temu rindu Mater dan Jona, Julia berjalan dan ikut bergabung dengan mereka. Mater pun mendekati Julia dan mencium keningnya dengan penuh kasih sayang. "Kau baik-baik saja di sini?" Mater menanyakan keadaan dari istri kesayangannya itu. "Tentu. Apa kau baik-baik saja? Kau tidak sakit bukan selama aku tinggal di sini?" Tampak raut wajah sedih dan khawatir ditunjukkan oleh Julia. Ia sangat paham dengan keadaan suaminya saat ini. Mata berkantung dan menghitam, pakaian sedikit lecek dan wajah yang terlihat lelah. Julia sadar bahwa Mater sedang tidak baik-baik saja. Namun ia memilih diam dan cukup menanyakan keadaannya, jika Mater ingin bercerita padanya maka ia siap untuk mendengarnya. "Banyak hal yang terjadi membuatku kesulitan untuk tidur dengan nyenyak. Mungkin salah satunya karena tidak kau di sampingku." Mater mencoba menggoda Julia. Julia pun tersenyum dan memeluk Mater serta menciumnya. Jona dengan spontan menutup matanya dan mengomel dengan aksi kedua orang tuanya. "Ayah! Ibu! Apa kalian tidak sadar dengan keberadaanku di sini?" Mater dan Jona tertawa melihat tingkah lucu putrinya itu. Mereka kemudian berjalan bersama untuk menuju rumah mertua Mater. Ternyata, ada seorang wanita tua yang sudah menunggu mereka di depan pintu rumah itu. "Ibu! Apa kabar? Anda baik-baik saja, bukan?" ucap Mater kepada wanita yang ia panggil dengan sebutan Ibu. "Tentu. Aku masih sehat dan kuat untuk melakukan segala hal. Bahkan dengan muka kusutmu itu, masih lebih terlihat bugar wajahku." Wanita itu kemudian tertawa bersama Mater dan Julia. Wanita itu adalah Ibu dari Julia yang merupakan sekaligus Ibu Mertua Mater. Ia bernama Rona Margaretha. Walaupun umurnya sudah mencapai umur 50an, Rona masih terlihat sangat semangat dan ceria. "Dereck! Kemarilah, menantumu sudah datang, apa kau tak mau menyapanya?" Rona memanggil suaminya yang masih di dalam rumah. "Tunggu sebentar!" Terdengar suara Dereck dari dalam rumah. Mater hanya tersenyum dengan perlakuan dari Ibu Mertuanya itu. Tak lama setelahnya, Sang Ayah Mertua datang menemui Mater. "Oh, anakku. Kemari, biar aku bisa memelukmu!" Mater dan Dereck akhirnya berpelukan dengan diiringi tawa dari keduanya. Kelima orang keluarga itu berkumpul dalam satu tempat, menciptakan suasana yang penuh kebahagiaan dan kenyamanan. Mungkin, seperti inilah dunia damai yang aku inginkan, begitulah isi batin Mater saat ini. Setelah puas dengan kegiatan sapa rindu mereka, Dereck mempersilakan semuanya untuk masuk. "Ayo semuanya, masuk. Kita makan bersama. Sepertinya Rona sudah memasak banyak hari ini." Rona pun menimpali perkataan suaminya. "Benar, aku sudah memasak banyak untuk hari ini. Bahkan aku sudah memasak masakan kesukaanmu, Mater." "Benarkah? Kau membuatku tak sabar dan ingin segera mencicipi masakanmu, Ibu Mertua," jawab Mater antusias. Mereka kemudian masuk dan berjalan menuju ke ruang makan. Di sana sudah tersedia berbagai macam jenis masakan, salah satunya makanan kesukaan Mater. Di meja besar itu, mereka berlima menikmati makanan mereka masing-masing. Terkadang, di sela makan mereka, ada saja topik pembicaraan untuk menghidupkan suasana dalam meja makan itu. Mulai dari membahas tentang pekerjaan Mater, hingga melihat tingkah lucu Jona yang menggemaskan. Suasana di meja makan itu benar-benar terlihat hidup, gambaran sebuah keluarga yang benar-benar harmonis. Setelah menyelesaikan makan mereka, Jona memilih untuk melanjutkan bermain ditemani oleh neneknya, Rona, sedangkan Dereck akan mengurus tanamannya di kebun belakang rumah. Mater memilih untuk istirahat ditemani oleh Julia istrinya. Julia mengantarkan Mater ke kamar yang tadi sudah dibersihkan oleh Julia. Sesampainya di kamar, Mater langsung menjatuhkan dirinya ke kasur dan menutup matanya. "Sayang, lepas dulu pakaianmu baru kau bisa tidur," ucap Julia yang melihat Mater sudah menguasai kasur itu bahkan sebelum ia berganti pakaian. "Bukankah kau tahu cara melepaskan pakaianku?" Mater menjawab perkataan Julia dengan nada sedikit menggoda. Julia yang paham akan kode dari Mater, dengan segera berjalan ke ranjang dan menindih tubuh Mater. "Bukankah kau lelah dan ingin istirahat? Dan lagi, sekarang kita lagi di rumah ibuku, apa kau tidak takut ketahuan?" Mendengar perkataan Julia, Mater hanya memasang wajah keheranan. Ia tampak bingung dengan maksud dari perkataan Mater. Julia pun juga sama bingungnya karena Mater malah meresponnya dengan tatapan aneh. "Maksud perkataanmu apa?" "Bukankah kau menggodaku untuk menjadi agresif dan melakukan "itu"?" Mater pun tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Julia. Ia merasa heran bagaimana istrinya itu bisa berpikir sejauh itu. Padahal, maksud sebenarnya dari Mater adalah untuk bercanda karena ia masih merasa lelah untuk melepas pakaiannya dan berpikir bahwa Julia akan melepaskannya. Julia hanya menatap keheranan dengan tingkah Mater. "Sayang, sebenarnya apa yang kau pikirkan? Aku hanya memintamu membuka pakaianku bukan memintamu untuk melakukan "itu"." Mater lagi-lagi tertawa dengan sangat keras dan membuat Julia kesal kepada dirinya. Julia yang kesal pun melempar bantal ke arah wajah Mater dan meninggalkan Mater di kamar sendirian. "Kau lepas saja pakaianmu itu sendiri, dasar b******n!" Mater hanya membalas perkataan Mater dengan tawanya. Julia memang memiliki mulut yang kasar ketika ia kesal, jadi Mater sudah tidak terkejut dengan kalimat yang istrinya lontarkan padanya. Hanya saja bagi Mater, ekspresi Julia saat ini adalah ekspresi yang paling lucu dari Julia. *** Mater berjalan keluar menuju teras rumah dengan secangkir kopi di tangannya. Ia kemudian duduk di kursi yang ada di sana, memandang putrinya, Jona dan Julia istrinya sedang bermain di halaman depan. Mater merasa telah kembali bugar setelah istirahat dengan tenang beberapa waktu yang lalu, pakaiannya pun sudah berubah menjadi pakaian yang lebih santai. Ketika ia menyesap kopinya, ia melihat Jona yang menjatuhkan pandangannya pada dirinya. Melihat ayahnya yang sedang bersantai, Jona melambaikan tangannya dengan diikuti senyum imutnya. Mater pun membalasnya juga dengan senyuman dan lambaian tangan. "Effe, jika kau bertanya lagi tentang kedamaian kepadaku, apa yang aku saksikan sekarang adalah wujud nyata dari harapanku tentang kedamaian," batin Mater. Melihat menantunya sedang memandang area luas dengan tatapan kosong, Dereck sang ayah mertua mencoba untuk menyadarkan Mater dan memberi tahu bahwa dirinya saat ini sedang bersama seseorang. "Ehm, apa kau sedang memikirkan sesuatu sambil melihat luasnya lapang?" Mater yang terkejut pun hampir saja menumpahkan kopinya. Ia pun hanya merespon perkataan ayah mertuanya itu dengan senyuman yang tipis. "Sepertinya aku benar. Kau terlihat seperti sedang memiliki banyak beban di punggungmu. Itu nampak jelas dari wajahmu yang sangat tidak berbahagia itu, suram." "Aku hanya sedikit lelah, ayah. Pekerjaan menuntutku untuk membuang banyak waktu istirahatku," jawab Mater. Dereck yang melihat kondisi menantunya itu secara langsung, masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Mater. "Apa kau ingin menipu mata orang tua yang memiliki pengalaman jauh lebih banyak darimu?" Dereck kemudian tertawa dan Mater pun juga ikut tertawa bersamanya. "Hm, entahlah, ayah. Aku hanya merasa akhir-akhir ini banyak sekali kejadian yang membuatku sedikit frustasi dan lelah dengan pekerjaanmu." Mater kembali menyesap kopinya. "Bukankah itu sudah menjadi resikomu ketika kau memutuskan untuk menjadi bagian dari mereka, para polisi. Aku rasa semua orang juga merasakan hal yang sama dengan apa yang kamu rasakan, terutama di kepolisian. Aku tak ingin memberimu nasihat yang banyak karena kau bahkan berada di umur yang seharusnya memberikan saran kepada yang lebih muda." Mater mencerna baik-baik perkataan ayah mertuanya itu. Apa yang dikatakannya bukanlah sebuah kesalahan. Dirinya saja yang merasa lembek setelah mengalami berbagai permasalahan yang datang bertubi-tubi. Hal itu membuat Mater merasa frustasi dan ada kemungkinan penyebabnya malam di mana ia ingin bunuh diri, bisa jadi disebabkan oleh hal itu. "Baik lah ayah. Aku terima saran darimu itu." Dereck tersenyum mendengar perkataan Mater. Di saat mereka berdua tengah asik berbincang, Jona datang dan mendekati Mater. "Ayah! Aku ingin mengatakan sesuatu!" Jona berlari ke arah Mater sambil berteriak. "Apa yang ingin kau katakan, sayang?" "Aku ingin bermain bersama Kakek Rhodes." "Baiklah, pulang dari sini kita akan mengunjungi Kakek Rhodes, okay?" Jona mengangguk sebagai tanda setuju darinya. Mater pun membalasnya dengan senyuman. Tuan Rhodes, ayah dari Mater yang saat ini terbaring sakit di rumah sakit. Kesempatan kali ini mungkin akan dimanfaatkannya untuk bertemu dengannya setelah sekian lama sekaligus menanyakan, apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya saat ini. "Nak, jika kau ingin pergi menjenguk ayahmu, tolong sampaikan salamku padanya," ucap Dereck ketika mendengar Jona ingin mengunjungi Rumah Sakit tempat Rhodes dirawat. "Tentu, akan aku sampaikan salam dari ayah mertua." Mereka berdua pun tersenyum. Masing-masing dari mereka mulai melanjutkan aktivitasnya sendiri. Jona kembali bermain, Dereck kembali merawat kebunnya, dan Mater kembali menikmati kopi sembari memikirkan apa yang telah terjadi akhir-akhir ini sebelum nantinya ia mungkin harus menerima kenyataan yang menyakitkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD