BAB 3

1062 Words
"APA!" aku reflek berteriak karena terlalu terkejut dengan ucapan Ibu barusan. Apa yang barusan ibu katakan? Menikah? Dengan gadis kecil ini? Kutarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Sabar Muda sabar. Ingat, bagaimanapun dia adalah Ibumu. Ibu kandungmu yang telah mengandung, melahirkan, dan membesarkanmu selama ini sehingga kamu harus bersikap tenang dan sabar saat ini dalam menghadapinya. "Bu, apa maksud perkataan Ibu barusan? Mana mungkin Muda menikah dengan Gadis? Dia masih terlalu kecil Bu." tolakku secara halus lagi pula aku tidak mungkin menolaknya dengan mengatakan, “Aku seorang gay Bu.” "Dia sudah 19 tahun. Sudah cukup umur untuk menikah dan memiliki anak." "Bu, meski namaku Muda tetapi aku sudah tidak muda lagi. Jadi sangat tidak mungkin kalau aku harus menikahi Gadis. Kasihan dia nantinya Bu." "Karena kamu sudah tua makanya Ibu suruh menikah. Mau sampai kapan kamu melajang? Sampai umur berapa Muda? Lagi pula kalau Gadis menikah dengan kamu justru dia bisa berbahagia. Ibu yakin sayang." Ya Tuhan, Ibu sudah mengeluarkan jurus memohonnya dengan panggilan sayang untukku dan jika sudah begini akan makin sulit untukku menolaknya serta terlalu takut untuk mengatakan alasan sesungguhnya. Sehingga alasan apalagi sekarang yang harus aku berikan kepada beliau? "Gadis, saya mau tanya sama kamu. Apa kamu bersedia menikah dengan saya?" kuarahkan badan dan pandanganku ke Gadis yang saat ini berada di sebelah dan terus saja menatapnya dengan tatapan seperti “Saya tidak ingin” karena jika dia menolak maka akan memudahkanku untuk menolaknya juga namun yang dilakukan Gadis justru hanyalah diam sambil menundukkan kepalanya sedari tadi. "Gadis?" panggilku sekali lagi. "Sa....sa...saya tidak tahu Tuan Muda." jawabnya dengan sedikit terbata Apa maksudnya dengan tidak tahu? "Gadis, jangan takut. Kalau kamu memang merasa keberatan dengan permintaan Ibu saya tadi maka kamu berhak untuk menolaknya. Jangan takut. Oke." "Muda, jangan menghasutnya!" potong Ibu cepat dengan nada sedikit kesal "Bu, jangan memaksanya. Aku tahu Ibu benar-benar ingin aku segera menikah dan memberikan cucu. Aku mengerti Bu, tetapi jangan memaksa orang lain untuk itu semua kasihan Gadis nantinya Bu." "Ibu tidak pernah memaksa Muda." "Baiklah, saya akan bertanya sekali lagi kepada kamu Gadis dan saya harap kamu menjawabnya dengan jujur. Apakah kamu benar-benar bersedia untuk menikah dengan saya? Terlepas dari keinginan ataupun paksaan dari Ibu saya tentunya." kini aku dan Ibu menatap Gadis dengan lekat namun bukannya menjawab, Gadis terus saja menundukkan kepalanya. “Gadis, jangan hanya menunduk. Bagaimanapun kamu punya hak atas hidupmu sendiri.” "Saya bersedia Tuan Muda." jawabnya dengan suara pelan nyaris berbisik yang mana justru makin membuatku terkejut. Menerima? Bukannya menolak? Ada apa dengan gadis ini? Mengapa dia justru setuju dengan permintaan Ibu? *** Ketika Nyonya Desi menyuruhku untuk duduk di sebelah Tuan Muda beragam pikiran buruk mulai datang menghampiriku dan makin membuatku merasa cemas dan khawatir. Apakah Nyonya Desi akan mengatakannya sekarang sehingga beliau menyuruhku untuk duduk di sebelah Tuan Muda? Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Dan jawaban apa yang harus aku berikan nanti kepada keduanya mengenai hal ini? Bagaimana jika Tuan Muda salah paham dan mengira diriku macam-macam? Atau Bagaimana jika aku di pecat? Jika seperti itu maka aku harus bagaimana nanti? Aku butuh uang dan aku juga butuh pekerjaan ini. "Baiklah, kalau begitu kamu bisa menikah dengan Gadis kan?" tanya Nyonya Desi dengan raut dan nada bicara yang terdengar serius. Sontak saja mendengar penuturan dari sang Ibunda membuat Tuan Muda terkejut dan dirinya pun reflek berteriak. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku saat ini karena makin merasa takut dan juga gugup terlebih setelah melihat bagaimana respon yang Tuan Muda berikan atas pertanyaan dan permintaan Nyonya Desi barusan. Keduanya terus saja beradu argumen dan membuatku makin merasa bersalah saat ini. Aku mendengarkan keduanya dalam diam sambil terus menundukkan kepala dan menautkan kedua tanganku erat sambil terus berdoa agar masalah ini cepat selesai tanpa membuatku harus di pecat nantinya. "Baiklah, saya akan bertanya sekali lagi kepada kamu Gadis dan saya harap kamu menjawabnya dengan jujur. Apakah kamu benar-benar bersedia untuk menikah dengan saya? Terlepas dari keinginan ataupun paksaan dari Ibu saya tentunya." Aku bingung. Aku tidak tega untuk mengatakan penolakanku kepada Nyonya Desi dan terlalu takut untuk menerimanya. “Gadis, jangan hanya menunduk. Bagaimanapun kamu punya hak atas hidupmu sendiri.” tanya Tuan Muda kembali. "Saya bersedia Tuan Muda." entah mengapa aku justru berani menjawab demikian. Kutegakkan kepala dan mendapati raut bahagia Nyonya Desi di depan dan ketika kutengok ke arah samping, wajah Tuan Muda seakan-akan seperti sedang bertanya “Mengapa kamu terima Gadis?” "Tetapi maaf sebelumnya Nyonya-Tuan kalau saya punya syarat untuk menerima pernikahan ini." ujarku sedikit lancang sambil menatap sebentar keduanya secara bergantian. "Apa? Katakan Gadis, insyaallah Ibu dan Muda akan penuhi semua keinginan ataupun syarat yang kamu ajukan. Selama kamu bersedia untuk menikah dengan Muda maka akan Ibu turuti semuanya, tanpa terkecuali." jawab Nyonya Desi antusias. "Apa saya boleh melanjutkan sekolah Nyonya? Tuan?" ucapku pada akhirnya. Aku tahu ini terdengar seperti sedang memanfaatkan keadaan dan membuatku seperti wanita licik yang matrealistis namun aku juga tidak bisa membuang impianku untuk bisa berkuliah sehingga berkata jujur adalah pilihanku saat ini. "Maksud kamu, kamu ingin kuliah?" tanya Tuan Muda dengan ekspresi yang tidak dapat aku mengerti. “Iya Tuan. Saya ingin melanjutkan pendidikan saya ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Bagaimanapun itu merupakan impian kedua orang tua yang ingin saya wujudkan sedari dahulu." jawabku kembali sambil menundukkan kepala. "Baiklah, jika itu menjadi syarat yang kamu ajukan. Selama kamu bersedia untuk menikah dengan Muda maka akan Ibu kabulkan. Lagi pula melanjutkan pendidikan juga merupakan hal yang baik terlebih tidak ada larangan untuk mahasiswanya untuk menikah dan punya anak sehingga akan Ibu terima syarat kamu tersebut. Tetapi ingat jika kalian berdua tidak boleh menunda untuk memberikan cucu buat Ibu nantinya.” "Terima kasih Nyonya Desi." "Bagaimana Muda? Alasan apalagi yang mau kamu berikan kepada Ibu untuk menolak permintaan ini?" tanya Nyonya Desi kepada putranya yang sedari tadi memilih diam dan mendengarkan percakapan kami berdua. Apa Tuan Muda menjadi marah karena aku memilih setuju untuk menikah dengannya ya? "Bisa saya bicara berdua dengan Gadis Bu? Ada yang ingin saya tanyakan dan katakan kepadanya sekarang." "Jangan sampai kamu mencoba menghasutnya untuk menarik kembali keputusannya barusan ya Muda. Karena jika demikian, kamu tahu apa yang akan terjadi kan?" ancam Nyonya Desi sambil melangkahkan kaki dari ruang makan untuk kembali ke kamarnya. "Mari kita berbicara di halaman belakang." setelahnya Tuan Muda berdiri dan berjalan duluan sementara diriku mengikutinya dari belakang. Tuhan, aku mohon lindungi aku saat ini terlebih dari pria ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD