Bab 1 :: Serpih Dandelion

1117 Words
*** Memilih pergi, berlari, sembunyi, dan berhasil untuk waktu yang dekat dengan berarti. Lalu, Tuhan membawa kita kembali, menemui luka yang pernah sangat menyakiti. Bukan tak punya hati, tetapi karena DIa tahu, ada gores yang tak selesai dengan waktu, dan takdir yang bersinggasana di tangan masa lalu. - Before We Call It A Day, 1st Episode *** Orang-orang di desaku mungkin tidak akan percaya bahwa disiplin ilmu yang sedang kugeluti adalah rumpun sosial. Melihat gerak canggungku saat meminta Pak RT menandatangani berkas persyaratan beasiswa waktu itu, mungkin akan menjadi alasan kuat untuk tidak memercayai bahwa aku adalah seorang mahasiswi Komunikasi. Apa yang salah? Tentu saja aku, yang entah kenapa jika bertemu orang yang satu kampung denganku, sudah seperti bertemu monster saja. Entahlah. Aku hanya merasa, semua orang yang sudah ada di hidupku sejak dulu akan mengenalku lebih banyak, kemudian menguapkan kenyamanan untuk menjadi “aku” di tengah-tengah mereka. Meski kalau dipikir-pikir lagi, tidak ada yang salah dengan aku yang dulu. Mereka juga tidak benar-benar mengenalku. Bahkan, mungkin mereka akan memintaku menunjukkan KTP sebelum percaya bahwa aku adalah warga desa ini. Itu kalau orang-orang di sekitar generasi ibu dan ayahku. Kalau mereka yang satu generasi atau sedikit lebih tua atau muda dariku, pasti akan mengingatku dengan: “Kintan yang dulu selalu peringkat satu itu”, “Kintan yang ikut olimpiade matematika”, “Kintan yang kalau cerdas cermat di madrasah selalu menang”, dan Kintan Kintan lain yang sulit diingat jika bukan karena prestasi tak seberapanya. Bukannya tidak menghargai pencapaian sendiri di masa kecil, tetapi rasanya tidak ada yang istimewa dari itu semua. Jika diingat lagi, hanya hambar yang mengelilingi, meski apresiasi tidak ada habisnya dilayangkan oleh Ayah dan Ibu. Hanya saja, lingkunganku berbeda, teman-temanku tak pernah turut terlihat senang atas pencapaian yang kugenggam. Mereka asing, saat aku ingin melihat wajah sumringahnya, bercerita panjang lebar bahwa mereka sangat membantuku dalam setiap kompetisi yang kuikuti, dan banyak hal lain yang biasa dilakukan anak-anak seusia SD seperti yang kutemui saat melakukan pengabdian masyarakat. Akan tetapi, semuanya hanya harapan semu semata. Aku tidak cukup dekat dengan siapa pun di desa ini. Selain karena saat SMP pindah ke luar kota hingga kini berkuliah, juga karena … memang tidak ada yang dekat denganku sejak kecil. Kalian tahu? Gadis ini, Kintan, pernah melewati masa kecilnya dengan berhiaskan drama bullying yang membuatku berkali-kali meminta Ibu untuk diberhentikan sekolah saja. Entahlah. Aku memang bukan anak yang mudah disukai. Karena pendiam, mungkin? Namun, menurutku lebih karena aku yang terlalu tak acuh dan penakut. Lalu, ketika kini suara seorang lelaki yang merupakan teman SD-ku terdengar melalui sambungan telepon, yang kulakukan hanya menggigiti bibir, tidak tahu harus berbuat apa. “Gimana, Kin? Kita emang butuh kamu ikut, sih, sebenernya.” Ponsel yang kudekatkan ke telinga kembali mengeluarkan suara. Mungkin karena pemiliknya tidak sabar menungguku yang lama terdiam, tanpa sedikit pun sempat meninggalkan jawaban. “Kenapa aku harus ikut, Gam?” Ya, sebelum menolak atau apa pun itu, hal ini yang sebenarnya ingin kutanyakan. Ini di luar tugas tim acara. Begini. Alumni SD angkatanku dan dua angkatan di bawahku sedang merencanakan sebuah reuni yang tidak biasa. Kusebut tidak biasa karena menurutku, ini memang brilian, tidak sekadar haha hihi dan menyombongkan pencapaian. Alih-alih menggelar pesta, program pengabdian masyarakat akan dilakukan selama kurang lebih tiga hari. Tentu saja, ketika Agam—ketua angkatanku—menerangkan sekilas mengenai rencana ini, antusiasme langsung mengerubungi. Aku yang biasanya selalu mencari alasan setiap kali diajak reuni pun langsung mengiyakan saat ditawari menjadi bagian dari tim acara. Di samping itu, aku juga berpikir. Mungkin, ini juga kesempatan yang tepat untuk membaur dengan teman-teman masa kecilku, juga dengan setitik harapan bahwa latar belakang bullying yang kuterima dahulu bisa terungkap. Lagi pula, hendak sampai kapan ganjalan itu bersemayam? Itulah hal lain yang kupikirkan, selain betapa program ini terdengar sangat menyenangkan. Alasan lainnya, karena yang menawarkan kesempatan bergabung itu adalah Agam, satu-satunya orang yang masih berhubungan denganku meski posisi geografis yang sama tidaklah mengikat kami. Aku dan Agam saling mengikuti di media sosial juga bertukar nomor ponsel, meskipun kami tidak sering mengobrol, hanya sekali dua kali saja. Kehadiran lelaki itu mengikis sedikit keraguanku. Ya, setidaknya ada satu orang yang benar-benar aku kenal dan mengenalku. Meski begitu, sejak pertama merancang acara hingga kini semua konsepan sudah matang, aku belum pernah berkumpul secara langsung dengan teman-teman yang lain. Hanya satu dua yang pernah bertatap muka langsung denganku, sedang sisanya hanya bertemu secara virtual. Maklum, kami memiliki kesibukan masing-masing dan itu yang kusyukuri, karena jujur aku belum siap bertemu mereka. Akan tetapi, jika kini Agam memintaku untuk bergabung guna mendata warga yang berhak mendapat sedikit bantuan, serta survey tempat membeli barang-barang yang kami butuhkan … aku harus bagaimana? Cepat atau lambat, aku pasti akan bertemu dengan mereka, itu pasti. Namun, apakah harus secepat ini? Ya, aku tahu. Tidak ada waktu yang benar-benar tepat. Hal yang pasti adalah, momen di mana aku benar-benar siap, yang mungkin sampai nanti pun akan sulit terwujud jika aku hanya jalan ditempat. Akan tetapi, ini terlalu tiba-tiba. Sekali lagi, meski aku tidak menjamin bahwa pemberitahuan jauh-jauh hari akan membuatku merasa lebih baik. “Kin, masih di sana?” Aku gelagapan. Sepertinya, ada penjelasan Agam yang luput dari pendengaran. “Gimana, Gam?” “Kita butuh kamu, Kin. Ini kan anak-anak juga pada nggak di rumah, jadi bakal kurang banget kalau yang survey cuma anak Humas sama Perkap. Lagian kamu kan yang ngerancang acara. Pasti bakal lebih bisa ngejelasin ke RT dan yang lainnya.” Aku terdiam. Benar juga. Anak-anak sedang tidak di rumah, apalagi yang kesibukannya adalah pekerja. Libur semester kan hanya berlaku untuk pelajar saja. “Gimana, ya, Gam,” kataku masih sambil menimbang. “Ikut aja, Kin. Udah lama juga kan kamu nggak ngumpul sama anak-anak.” Aku menelan ludah. Sejak dulu, Agam memang paling netral. Tidak ikut-ikutan mengucilkanku, tetapi juga tidak lantas membela. Itu yang membuatku paling sering berinteraksi dengan Agam—hingga kini—dibanding yang lainnya. Setidaknya, tidak ada hal jahat tentang dia yang terkenang. “Aku nggak bisa naik motor.” Mencoba peruntungan, kalimat sarat dengan alibi itu kuluncurkan. “Gampang. Boncenganku juga kosong.” Helaan napas lolos begitu saja. Kalau sudah begini, aku harus beralasan apa? Bagaimanapun juga, aku tidak ingin jika orang lain mengira bahwa traumaku masih saja bersarang meski jarum jam dinding sudah berputar ribuan kali banyaknya. “Gimana?” Maka, dengan berat hati, aku mengiakan. Tanpa tahu bahwa seperti dandelion yang bisa tumbuh subur di mana saja hanya dengan serbuk putihnya yang terbawa angin, hari itu sebuah bakal cerita sedang kuterbangkan ke udara. Kelak, akan kutemui ia tumbuh subur di sebuah lembah, yang kemudian menjadi saksi ketika ia melayu, menguning, hingga benar-benar kehilangan daya. *** Hai hai! Setelah baca part ini, mau lanjut, nggak? Hihi
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD