Bab 2 :: Smile In A Maze

1242 Words
*** Banyak yang kau takuti, banyak pula yang tak terjadi. Banyak yang kau yakin lahir dan menempati bumi, tetapi justru berakhir sepi. Sebab kepalamu luas, tetapi dunia jauh lebih tak terbilang adanya. - Before We Call It A Day, 2nd Episode *** Salah tempat. Seperti itulah yang terasa sejak sepuluh menit lalu cuap-cuap terdengar di ruang tamu yang cukup megah ini. Sedang aku hanya meremas tas selempang sambil sesekali menarik bibir jika ada hal lucu yang mereka bicarakan. Tak betul-betul mengerti apa yang mereka bicarakan, juga terlampau tak berani untuk ikut campur begitu saja. Huh, padahal mereka sama-sama manusia, seperti teman-teman kampusku. Akan tetapi, kenapa dengan mereka … bisa menjadi sesulit ini? Sebelum berangkat survey, kami semua berkumpul di rumah salah seorang adik kelasku, begitu kata Agam. Jujur, aku tidak terlalu peduli dengan namanya. Toh, diberi tahu pun kemungkinan besar aku tidak akan ingat. Di ruang tamu dengan sofa besar nan panjang ini, terdapat kira-kira dua puluhan orang. Ada yang duduk di sofa, ada yang santai selonjoran di karpet tebal. Melihat betapa santainya mereka di rumah ini, sepertinya tempat ini sudah biasa dijadikan basecamp. Agam yang tadi menjemputku sudah hilang entah ke mana. Jika pendengaranku masih berfungsi normal dan tidak terpengaruh irama jantung yang tak karuan, katanya dia hendak mengambil proposal kegiatan di rumah Adin—teman satu angkatanku juga, sekaligus menjemput perempuan itu. Jadi, kini aku benar-benar tersesat, padahal rumah yang menaungi tak seluas dan serumit labirin di Dole Plantation, Amerika Serikat sana. Aku tahu, dalam topik hambatan komunikasi yang pernah kupelajari, saat ini sedang kubiarkan prasangka—yang termasuk ke dalam human nature—membunuh proses komunikasi bahkan sebelum ia dimulai. Sayangnya, teori itu hanya terpatri jelas di kepala, tetapi tak membuahkan implementasi apa-apa. Aku masih mempertahankan prasangka bahwa mereka mungkin tak menyukaiku, tak ingin berbicara denganku, tak ingin tahu apa pun tentang dan dariku, dan membuatku berakhir tetap bungkam seperti ini. Yah, lalu apa gunanya aku tahu bahwa human nature memiliki power untuk komunikasi? Sebenarnya, percakapan basa-basi sudah tercipta dan melibatkanku juga. Sekadar berbalas kabar, say halo, dan setelahnya sibuk dengan ponsel atau lingkaran masing-masing, dan sensor motorikku seolah rusak hingga tak kuasa untuk ikut campur dalam salah satu pembicaraan mereka. Dengan menarik napas panjang, kuputuskan untuk meraih gelas di atas meja. Siapa tahu, air putih itu mampu melunturkan ego yang sejak tadi bersarang. “Mbak Kintan, kan, ya? Sekarang di mana, Mbak?” Suara yang tiba-tiba ditujukan kepadaku itu membuat air yang sudah berada di tenggorokan kembali terdorong ke luar. Untung saja mulut ini cepat-cepat menutup sebelum terjadi semburan yang pasti akan membuatku malu dan lebih canggung lagi. Mataku yang semula menunduk, kini beralih pada cowok di seberang sana. Matanya menyorot ke arahku, dan kini dia tersenyum geli melihatku menangkupkan telapak tangan ke mulut. Tak ingin lebih lama terlihat konyol—karena kurasakan beberapa orang mulai menoleh ke arah kami—gelas di tangan kupindahkan ke atas meja, setelah air yang sempat urung tercerna terjun bebas ke jalurnya. “Em … gimana tadi?” Sungguh, aku benar-benar lupa apa yang ditanyakan cowok itu. Yang terputar hanya bagaimana nama Kintan tersebut untuk pertama kalinya setelah ramah tamah kala pertama aku dan Agam menginjakkan kaki di rumah ini. Cowok itu terkekeh, lalu dengan nada kalem kembali melontarkan tanyanya. “Mbak Kintan sekarang di mana?” Mbak? Ah, tentu saja dia adik kelasku. Sebab tak satu pun teman satu angkatan yang luput dari ingatan. Sementara cowok ini … aku bahkan tidak mengingat namanya. Wajahnya pun … entahlah. Terasa tidak asing, tetapi tidak sefamilier itu di kepalaku. “Oh, aku?” tanyaku aneh, yang dihadiahi anggukan oleh cowok itu. Setelahnya, kusebutkan nama universitas negeri tempatku berkuliah, tentu dengan nada canggung dan cukup patah-patah. Tak kusangka, bukan hanya sang cowok saja yang memperhatikan jawabanku, tetapi juga teman-teman lain yang duduk tepat di sofa sebelahku maupun yang terletak sembilan puluh derajat denganku, di bawah dan beralaskan karpet, juga beberapa yang kebetulan sudah menoleh saat si adik kelas yang tak kutahu namanya itu mengeluarkan suara. Marsha, Asyfi, Lulu, juga Syafiq dan teman-teman cowok lainnya turut memberikan perhatian. “Wah, jurusan apa, Kin?” Sejumput rambut kuselipkan ke belakang telinga, mengusir gugup. “Komunikasi, Lu.” Mendapat jawaban itu, Lulu justru menangkup mulutnya sambil melebarkan mata. “Kamu masih inget namaku, Kin? Astaga, kupikir udah lupa. Habisnya kan lulus SD kamu langsung pindah, mana nggak pernah ikut ngum ….” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Lulu yang duduk di atas karpet mengaduh ringan sambil menoleh ke arah Marsha di samping kirinya. Sekilas, terlihat dia menggigit bibir. Aku tahu, dia merasa salah bicara. Atau … mereka lupa apa yang pernah terjadi di SD dulu yang menjadi alasanku tidak pernah mau berkumpul bersama mereka? Aku tidak tahu. Yang pasti, suasana kembali canggung. Setelah melontarkan senyum, maaf, dan anggukan singkat, mereka kembali berbicara tanpa melibatkanku, sementara Asyfi yang duduk tepat di sampingku terlihat fokus dengan ponsel. Ah, Asyfi. Dulu, dia adalah monster paling menyeramkan yang membuatku enggan bangun pagi dan berangkat sekolah. Alhasil, setitik harapanku tentang akan terciptanya celoteh yang menyenangkan, menguap sudah. Kembali kutekuri layar ponsel, lalu sesekali memperhatikan adik kelas yang sibuk berbagi kata, juga pada Marsha, Lulu, dan teman-teman seangkatanku yang lain. Namun, lagi-lagi suara si adek-kelas-yang-tidak-kutahu-namanya tertangkap rungu, mengajukan pertanyaan kepadaku. “Mbak Kintan ikut organisasi apa di kampus?” Lagi-lagi, gugup menyerang. Aku buru-buru menyembunyikan ponsel, seolah jika barang itu menyaksikan dialog yang akan tercipta, maka kehancuran segera menyertai. Kuurai senyum singkat sebelum menjawab, “Tahun ini gabung di BEM Fakultas sama AIESEC.” Bola mata lelaki itu memancarkan antusiasme. “Sama kayak Marsha, dong.” “Hah? Apa?” Marsha menimpali, mungkin karena sadar namanya disebut. “Ini, Mbak Kintan ikut AISEC juga kayak kamu.” Jawaban dari si adik kelas membuat mata Marsha cukup antusias menatapku. “Wah, kamu gabung di departemen apa, Kin? Aku di PR, nih. Eh, kamu ikut AIESEC Indonesia atau yang Local Committee?” Entah mengapa, mendapatkan respons seperti ini, tubuhku mendadak rileks. Perlahan, senyum tipis terkembang sebelum suaraku lolos dari tenggorokan. “Masih di Local Committee. Dan tahun ini aku megang amanah jadi anggota di departemen IGV, Sha.” “Oh, kamu di volunteering? Kenapa milih itu? Asyik, ya, Kin?” Kalau tadi rileks, sekarang aku merasa lebih nyaman. Ternyata meski tak terlihat mudah, tak sesulit itu juga. Mereka menerimaku dan aku bisa menerima kehadiran mereka meski debar tak normal di d**a masih saja ada. Kuberikan penjelasan kepada Marsha tentang mengapa aku memilih IGV atau Incoming Global Volunteer. Juga menyinggung bahwa bidang itu linier dengan bidang yang kugeluti di BEM Fakultas, yaitu Kementerian Sosmas atau sosial kemasyarakatan. Saat itu, ketika kata BEM mengisi kisi-kisi kosong di antara kami dan kemudian merambat ke telinga masing-masing, Asyfi turut terjun ke percakapan, begitu pun dengan Lulu. Percakapan mengalir di ruangan itu, dan kini aku menjadi bagian di dalamnya meski masih patah-patah dan tenggelam dalam d******i mereka. Sepertinya, menyetujui ajakan Agam merupakan sesuatu yang benar. Karena kini, senyum mulai terulas di wajahku, juga tawa yang perlahan menyebar saat ada hal lucu yang menghampiri pembicaraan. Hingga tanpa sengaja, bola mata hitamku terperosok ke depan sana, ke titik di mana seseorang tengah tersenyum dalam perbincangan dengan teman-temannya. Dari samping, kulihat senyumnya menari-nari, meski sang mata tak mampu turut kuselami. Senyum yang menuntunku keluar dari labirin tanpa nama, untuk bertemu secercah senyum lain yang ternyata tak keberatan untuk menyapa. Sebenarnya, siapa nama cowok itu? Ah, bisa-bisanya aku lupa dengan sesosok manusia sebaik dia. Mengapa juga dari tadi tidak ada yang menyebut namanya? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD