Chapter 4

1709 Words
Aira memijit kepalanya yang berdenyut nyeri sambil berlahan membuka matanya yang masih terasa berat. Deg.. Tubuh Aira seketika membeku saat menyadari bahwa ia berada di dalam ruangan asing, dan ruangan serba putih itu jelas bukan kamar hotelnya, kamar yang ia booking bernuansa coklat dengan ornamen kayu dengan kasar ia melempar selimut yang menutupi tubuhnya. Tangisnya seketika pecah saat menyadari ia hanya memakai kemeja pria putih tanpa underwear. Aira luruh di atas lantai sambil memeluk lututnya, air matanya mengalir deras tanpa suara. Ia tergugu dengan wajah bertumpu pada kedua lututnya, kembali ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. "Rocky! Tidak, tidak mungkin ia melakukan itu padaku!" Ucap Aira lirih dengan air mata mengalir deras. Berlahan Aira berdiri lalu berjalan ke arah balkon, tepat di depannya lautan lepas dengan ombak-ombak berkejaran. Ia berdiri tepat di atas tebing, seandainya suasana hatinya sedang tidak kacau pastilah moment itu menjadi moment tak terlupakan, berada di Villa puncak bukit dengan pemandangan luar biasa indah. "Maafkan aku Ma Pa," gumam Aira dengan kakinya yang mulai menaiki pijakan pagar dengan merentangkan kedua tangan dan memejamkan mata Aira berencana menjatuhkan diri ke laut. "Aira! Apa yang kamu lakukan!" Deanova berlari ke arah Aira lalu dengan cepat ia pegang perut Aira dengan erat. Seketika mereka jatuh terduduk di atas lantai kayu. Deanova memeluk Aira dengan erat berusaha menenangkannya, debar jantung Deanova seakan berkejaran ia tak bisa membayangkan jika dirinya datang terlambat. Deanova tak menyangka Aira akan berbuat nekat untuk mengakhiri hidupnya. "Tenanglah Aira," Ucap Deanova sedangkan Aira hanya bisa menangis pasrah dalam pelukan Deanova. Deg.. Aira terkejut bukan main saat menyadari bahwa pria yang memeluknya adalah Deanova. Lalu di mana Rocky? dan mengapa ia bisa bersama dengan Deanova? Dan pakaiannya?. Banyak pertanyaan yang melintas di benaknya namun bibirnya kelu untuk berucap. Setelah beberapa saat Aira mulai tenang lalu Deanova melepas pelukannya dan menatap netra Aira yang basah. "Tenanglah, tidak terjadi apa-apa, semuanya baik-baik saja" ucap Deanova lalu menuntun Aira untuk berdiri dan mendudukkannya di atas ranjang. "Kamu minum dulu biar tubuh kamu hangat, di sini udaranya dingin, dan aku sudah menyuruh anak buahku mengambil barang-barangmu di hotel," terang Deanova yang semakin membuat Aira kebingungan. "Sebaiknya kamu mandi dulu, sudah aku siapkan air hangatnya," ucap Deanova lalu hendak pergi namun Aira mencegahnya. "Apa Rocky..?" Tanya Aira dengan air mata yang kembali menetes, tenggorokannya tercekat dengan kalimat menggantung. "Sebaiknya kamu mandi dulu setelah itu kita sarapan," balas Deanova dengan tersenyum hangat lalu ke luar dari kamarnya. Di kamar mandi Aira memandangi tubuh polosnya di depan cermin, ada dua goresan merah di lehernya. Tangisnya kembali pecah di bawah pancuran shower, tiba-tiba Aira merasa dirinya kotor dan menjijikkan. Apa mahkotanya benar-benar sudah terenggut atau masih utuh? Dengungan hatinya masih penuh tanda tanya. Aira terkejut saat mendengar ketukan pintu kamar mandi dan suara Deanova yang menyuruhnya untuk segera ke luar. Dengan buru-buru Aira memakai bathrobe yang sudah tersedia di kamar mandi, dengan perasaan ragu dan was-was Aira ke luar dari kamar mandi, pandangannya langsung tertuju pada koper kecil berwarna merah miliknya. Dengan buru-buru ia memilih pakaian yang akan ia kenakan lalu ke luar kamar. "Deanova," ucap Aira bagai desis angin. Tak ada tatapan memuja seperti biasanya, Aira hanya menatap Deanova datar sambil berjalan mendekati meja makan. Tampak Deanova sedang asyik b******u mesra bersama mentari yang membelai lembut wajahnya melalui daun jendela kaca dengan kedua tangannya memegang secangkir kopi dengan uap yang masih mengepul di atasnya. "Ayo sarapan dulu, setelah itu kita jalan-jalan menyusuri pantai, bukankah tujuanmu ke sini untuk itu?" Tanya Deanova sambil menelisik penampilan Aira yang masih berdiri mematung dengan wajah pucat. Hati Deanova tak bisa memungkiri bahwa gadis yang berada di hadapannya memang menarik. Melihat Aira masih mematung Deanova segera berdiri lalu mendekati Aira dan menarik kursi untuknya. "Baiklah, kamu pasti masih bingung dengan apa yang terjadi semalam," terang Deanova lalu menyesap kopinya kembali namun pandangannya tak lepas dari wajah cantik Aira. "Semalam aku tidak sengaja melihatmu bersama dengan seorang pria lalu saat kamu pergi ke belakang dia memasukkan obat ke dalam minumanmu, yah kamu pasti bisa mengira pria itu membawamu ke kamarnya.. " Aira menutup bibirnya dengan tangannya, air matanya kembali menetes. "Aku menelpon resepsionis untuk menanyakan nomor kamar pria yang membawamu, bersama security aku mendatangi kamar itu namun tak ada sahutan dari dalam jadi terpaksa kami mendobrak pintunya, dan untung saja ia belum sampai memerkosamu, jadi tenanglah!" Lanjut Deanova tenang. "Tapi.. Tapi pakaianku," ucap Aira terbata di tengah isaknya. "Aku tidak tahu kamarmu di mana jadi aku membawamu saja ke villaku, aku membawmu ke sini hanya dengan selimut hotel jadi aku pakaikan saja kemejaku, pasti kebesaran ya?" Ucap Deanova dengan tersenyum lembut. Kali ini senyum Deanova berhasil membuat hati Aira menghangat sekaligus membuat wajahnya memanas. "Tenang saja aku tidak melihat apa-apa," terang Deanova yang semakin membuat Aira menundukkan kepala karena malu. Deanova menahan tawa geli, ia tidak menyangkan gadis agresif di hadapannya yang beberapa hari lalu mengganggu ketenangannya ternyata masih begitu polos. Dugaannya salah. Andai saja semalam yang membawa Aira adalah Deanova yang dulu pastilah semalaman Deanova sudah menikmati tubuh mulus itu sampai puas. Tapi sebrengsek-brengseknya Deanova ia lebih baik memesan wanita penghibur daripada menodai seorang gadis. "Astagfirullahaladzim," peringat hati Deanova seperti alarm yang selalu berdering disaat pikirannya kembali ke masa lalu, kehidupan yang penuh dengan dosa, sudah dua tahun lebih ia meninggalkan kehidupan malam dan ONS-nya. Deanova mengira Aira seperti model-model yang sering berkencan semalam dengannya. Setelah sarapan Aira masih merenung menatap sunset yang menyapu wajahnya, Aira akui pantai-pantai di Yogyakarta yang pernah ia kunjungi udaranya tak sedingin di pantai Watu Kodok ini. Ia menyesal mengapa tadi memakai baju model Sabrina dengan bahu terbuka seperti ini. Tak lama suara bariton Deanova mengagetkannya, "Ayo kita jalan-jalan" ajak Deanova yang langsung disambut senyuman lembut Aira. Seketika Deanova membeku, hatinya berdesir, sebuah rasa asing melesak ke dalam hatinya. Hembusan nafas kasar terdengar lolos dari bibir Aira saat mereka ke luar Villa, alis Deanova berkerut sambil menatap Aira. Aira menunjukkan ponselnya yang mati karena low battery, Deanova meraih ponsel Aira lalu masuk kembali ke dalam villa, "sudah ku isi baterainya, ayo nanti keburu panas," ajak Deanova. Mereka menuruni anak tangga dari batu yang tersusun rapi menuju pesisir pantai, Aira berdecak kagum melihat panorama pantai biru dengan gulungan ombak kecil yang berlarian, seperti terhipnotis dengan lembutnya pasir putih yang menggelitik telapak kakinya tanpa sadar ia sudah berdiri di bibir pantai, riak-riak kecil menyapa kaki putihnya. Ia tersentak saat tiba-tiba percikan air mengenai wajahnya. "Hai, apa pantai ini lebih indah dari pada ketampananku," ucap Deanova dengan tergelak saat melihat Aira merajuk karena kesenangannya terganggu. "Rasanya luar biasa Dev, aku bisa ke luar tanpa keluarga dan pengawal," ucap Aira tanpa melepas pandangannya pada gulungan ombak kecil di hadapannya. Panggilan Dev dari Aira terasa menghangatkan hatinya yang telah lama membeku. Ia pandangi Aira bersamaan dengan desiran aneh yang kembali menyusup berlahan di hatinya. "Di sini dilarang berenang karena ombaknya besar jadi kita bermain di bibir pantai saja," cegah Deanova saat melihat Aira berjalan semakin ke tengah laut sambil menarik tangan Aira. Aira tak berkata, hanya menatap kesal pada Deanova. Kini mereka duduk berdampingan menikmati sunrise di atas lautan lepas yang beriringan dengan deburan ombak yang mencium bibir pantai dan kicau burung camar semakin menyemarakkan cerita. "Aku tak menduga bisa bertemu denganmu di sini Dev, ini adalah pengalaman pertamaku terbebas dari penjara emasku," ucap Aira dengan suara berat. Deanova menoleh menatap Aira dengan diam, ia mulai tertarik dengan kehidupan gadis di sampingnya, membiarkannya meluapkan semua beban di hatinya. "Dari kecil aku selalu menjadi sasaran bullying di sekolahku, mamaku adalah perempuan perusak rumah tangga papa dan istri pertamanya, saat aku kelas 8 SMP papa mengajakku pindah ke Jakarta, yang kutahu istri pertama papa mengajukan perceraian pada papa tapi papa menolak akhirnya istri pertama papa pergi bersama putrinya." Cerita Aira berhenti sejenak sambil melempar batu ke arah laut. "Di Jakarta Papa tidak pernah mengizinkan aku bergaul dengan teman-teman sebayaku sehingga aku lebih sering sendiri, yah meskipun di rumah bersama mama tapi jelas rasanya berbeda, aku tidak pernah merasakan hangout bareng teman sebayaku atau pun jatuh cinta dengan siswa satu sekolah seperti teman-temanku hingga suatu saat aku jatuh cinta pada putra dari sahabat papa yang usianya jauh lebih tua dariku dan tentu saja ia hanya menganggapku sebagai adik, untuk menghalau rasa kecewa itu yang kulakukan hanya belajar dengan serius." Deanova dengan setia mendengarkan kisah Aira dengan serius, rasa penasarannya kian menjadi. "Sejak duduk di bangku kelas 10 SMA aku sudah tertarik pada dunia fashion suatu hari aku tertarik untuk mencoba terjun ke dunia modeling, aku tak menyangka kedua orang tuaku menyetujuinya tetapi dengan syarat, ke mana pun aku pergi akan ada seorang pengawal yang menemaniku, dan aku patah hati tepat di hari kelulusanku, kabar pernikahan Mas Ardan dengan Mbak Aisya yang sudah digelar seminggu yang lalu, hilang sudah kesempatanku untuk meraih cinta Mas Ardan," ucap Aira dengan suara parau menahan air mata yang hampir jatuh. "Dan lucunya lagi saat aku sudah menerima kenyataan bahwa aku kehilangan cinta pertamaku, dan tulus menjalin persahabatan dengan Mbak Aisya dan Layla semua rahasia terkuak, Mbak Aisya adalah putri papa dengan istri pertamanya dan..." Tangis Aira pecah dengan bahu bergetar. Deanova tak mampu perkata, ia peluk tubuh Aira lalu mengusap bahunya lembut. "Aku bukan anak kandung papa, papa kandungku meninggal karena kecelakaan saat aku masih dalam kandungan." Aira membalas pelukan Deanova dengan erat, merasakan kelegaan seperti terbebas dari penjara masa lalu, akhirnya ia bisa meluapkan semua beban di hatinya pada orang lain setelah memendamnya sendiri sekian lama. Deanova membiarkan Aira menangis sepuasnya hingga mentari hampir berdiri tepat di atas kepala mereka. "Ayo balik ke Villa, nanti sore aku antar kamu pulang," bisik Deanova lalu tanpa sadar ia mengecup puncak kepala Aira. "Maaf." Aira segera melepaskan diri dari pelukan Deanova dengan wajah merona. "It's ok," balas Deanova lalu berdiri, ia ulurkan tangannya pada Aira yang langsung disambut Aira dengan senyuman lembut bersamaan tangannya dalam genggaman Deanova. Sesampainya di Villa perasaan canggung tiba-tiba menguar, baik Aira dan Deanova saling diam. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Terutama Aira ia merasa seperti w@nita@ mur@h@n yang dengan suka rela memberikan tubuhnya untuk dipeluk dan dipegang oleh Deanova padahal mereka belum saling mengenal. Aira memang berniat iseng mengganggu Deanova karena merasa tertantang dengan sikap dinginnya, untuk jatuh cinta Aira belum yakin itu, hanya saja saat berada dalam pelukan Deanova ia merasa nyaman dan terlindungi. __________________&&&_________________ Judul Buku : DnA Author : Farasha
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD