Chapter 3

1741 Words
Aira mengecek kembali penampilannya, ia ikat rambut model blonde lalu menyisakan sedikit rambut di bagian depannya, ia rapatkan bibir sambil merapikan setelah mengolesi lipstip berwarna nude pada bibir tipisnya. Tak lupa ia benahi atasan dengan model bahu terbuka berwarna milo serasi dengan kulot selutut bermotif garis warna milo mix hitam yang membalut tubuh seksinya. Ia tarik nafas dalam-dalam sebelum melangkah masuk ke dalam kafe lalu menghembuskannya berlahan untuk mengatur irama jantungnya yang tak beraturan setiap kali akan bertemu dengan Deanova. "Masih pukul 9, Deanova pasti masih ada di dalam," gumam hati Aira sambil melangkahkan kaki melewati security yang menyapanya ramah. "Mas saya ingin bertemu dengan Pak Deanova, bisa dipanggilkan sebentar?" ucap Aira ramah pada karyawan pria yang sedang berjalan melewatinya. "Maaf Mbak, baru saja Pak Deanova pulang," jawab karyawan pria tersebut dengan ramah, karyawan pria itu tahu jika Aira adalah salah satu pelanggan setia DAS Caffee. "Pulang? Mas bisa kasih nomor telepon atau alamatnya Pak Deanova?" Ucap Aira masih dengan ekspresi terkejut, ternyata benar Deanova pemilik DAS Caffee ini. "Maaf Mbak, Pak Deanova sudah berpesan agar tidak memberikan alamat atau nomor telepon pada siapa pun tanpa seizinnya," terang karyawan pria tersebut lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Mood Aira seketika hancur bersamaan dengan hatinya yang terasa sesak, pria idamannya sudah pergi sebelum ia berhasil meluluhkan hati pria dingin itu. "Begini amat nasib cintaku," desis Aira dengan bahu meluruh lalu dengan tidak bersemangat ia meninggalkan kafe tersebut. Sambil mendengarkan musik di dalam mobilnya Aira berusaha mencari petunjuk keberadaan Deanova sehingga tanpa sadar mobilnya terparkir di depan Panti Asuhan Kasih Bunda, panti tempat Gita tinggal sejak orang tuanya meninggalkannya di depan pintu panti saat usianya baru 2 minggu. Senyum Aira seketika merekah saat langkah kakinya menuju gerbang samping panti yang menghubungkan langsung ke dalam aula panti, ia melihat beberapa anak panti yang sudah dewasa sedang mengajari anak panti membaca dan menulis, mereka tampak antusias memerhatikan Fitri, kakak panti yang sedang mengajar tersebut. Tentu saja usia Fitri masih 17 tahun namun sikapnya jauh lebih dewasa dibandingkan dengan remaja seusianya yang masih suka bermain-masin. Setiap libur sekolah Fitri membantu mengajari adik-adiknya yang masih kecil untuk belajar mengenal huruf dan warna. Di panti ini anak-anak akan mulai bersekolah umum saat usia 7 tahun atau saat memasuki tingkat SD, semua biaya kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak panti berasal dari para donatur tetap ditambah lagi hasil dari penjualan kerajinan tangan hasil anak panti yang diperjualbelikan. Panti ini semakin berkembang semenjak diambil alih oleh keluarga Alfarizi dan Ardan sebagai pemilik resmi panti asuhan tersebut. Aira duduk bersila di sudut aula masih dengan memperhatikan anak-anak panti usia 4-6 tahun itu yang sedang asyik belajar sambil bernyanyi, tak pelak tingkah lucu anak-anak itu berhasil membuat Aira berulangkali tertawa. Tempat ternyamannya disaat perasaannya dilanda kegalauan, di panti ini Aira banyak belajar tentang arti bersyukur tentang nikmat yang Allah berikan padanya. Ia memiliki semuanya secara sempurna berbanding terbalik dengan nasib para anak panti. Ia masih memiliki orang tua yang lengkap meskipun bukan ayah kandung tapi Hendra sangat menyanyanginya, saudara, serta sahabat yang selalu ada di sisinya dalam keadaan apa pun. Di panti ini Aira juga belajar bagaimana menghargai sebuah hubungan. Hubungan terjalin tidak hanya karena hubungan darah semata melainkan hubungan yang terjalin karena rasa saling menyanyangi dan menghormati satu sama lain. Hubungan yang hanya ingin memberi dengan tulus tanpa mengharap pamrih. "Mbak Aira kenapa nggak langsung masuk saja? Mbak Gita ada di dalam sedang membantu Bunda memasak di dapur untuk makan siang nanti," ucap Fitri ramah setelah bersalaman dengan Aira. "Masih ingin melihat mereka, mereka sangat lucu dan menggemaskan," ucap Aira dengan mata berkaca. Matanya selalu basah ketika melihat keceriaan anak-anak yang tak diinginkan orang tuanya itu. "Oya aku tadi delevery makanan, sebentar lagi pasti kurirnya datang," terang Aira sambil mengelus punggung tangan Fitri. "Terima kasih Mbak Aira anak-anak pasti suka, tuh Mbak Gita datang," tunjuk Fitri ke arah Gita yang sedang berjalan ke arah mereka berdua. "Mbak aku lanjut dulu ya?" Pamit Fitri saat Gita sudah duduk disamping Aira. "Tumben, kan baru besok jadwal pemotretanmu," ucap Gita menatap Aira dengan curiga, Aira tak bergeming ia masih asyik memerhatikan bagaimana cekatannya Fitri mengusai anak-anak lincah itu. Gita mengedikkan bahu saat Aira mengacuhkan pertanyaannya, Gita tahu ada sesuatu yang mengusik dalam pikiran sahabat sekaligus bosnya itu. Tak berselang lama ponsel Aira berbunyi, kurir yang mengantar makanan sudah berada di depan gerbang panti sekarang. "Ayo ikut aku mengambil makanan buat anak-anak," ajak Aira yang sudah berdiri sambil mengulurkan tangannya pada Gita. "Ayo," balas Gita singkat sambil menerima uluran tangan Aira lalu berdiri. "Ayo anak-anak Mbak Aira ada oleh-oleh buat kalian," panggil Aira sambil menunjukkan dua kantong kresek besar berwarna merah di kedua tangannya. "Horeee!" pekik kegirangan mereka berhasil membuat Aira meneteskan air mata. Gita yang melihatnya langsung menyenggol lengan Aira dengan mengedipkan sebelah mata. Aira tergelak lalu dengan antusias ia membagikan satu persatu kotak makanan itu pada anak-anak. Lalu dua kantong besar yang tadi dibawa Gita ia perintahkan Fitri untuk membagikan pada anak panti yang masih di dalam kamar. "Terima kasih Ra," ucap Gita sambil melahap makanannya bersama Aira. Aira tersenyum lalu menonyor bahu Gita dengan gemas. Setelah selesai memasak Bu Khodijah bergabung bersama Aira dan Gita yang masih mengobrol di aula, mereka bercengkrama dengan akrab hingga memasuki waktu dzuhur. Sebelum pulang Aira berpamitan kepada Bu Khodijah untuk pemotretan ke Tanjungsari tepatnya berada di kecamatan Gunung Kidul dan tentu saja masih dalam kota Yogyakarta bersama Gita karena mereka akan menginap semalam di sana. Tanpa ragu Bu Khodijah memberikan izinya, hampir 2 tahun ini sebagai manager Aira, Gita pasti akan mengikuti jadwal pemoteran Aira ke mana saja, tak jarang juga mereka harus ke luar kota. ***** Sabtu pagi, Bambang selaku supir yang akan mengantar Aira dan Gita ke lokasi pemotretan sudah siap di depan rumah Aira. Karena lokasinya lumayan jauh Anton memerintahkan supir pribadi keluarganya untuk mengantar Aira selama di Tanjungsari, Aira sempat kesal namun ia hanya bisa pasrah saat Hendra papanya yang menelponnya sendiri. Tak sampai dua jam perjalanan mereka sudah sampai di lokasi pemotren tepat pukul 10 pagi. Aira langsung berganti baju sesuai konsep pemotretan bersama rekan seprofesi yang bernaung dalam Diomand Entertainment. Agensi model ini membawahi banyak model dari kalangan artis maupun model-model ternama, Aira adalah salah satu model baru yang bergabung dalam agensi tersebut. Diomand Entertainment lebih fleksibel dari pada agensi modeling yang Aira ikuti di Jakarta dulu, sehingga tidak sampai mengganggu pendidikannya. Aira selalu berhasil membuat para fotografer berdecak kagum dengan wajah foto genic-nya. Hari itu Aira memakai pakaian desainer ternama Indonesia dengan konsep natural. Ditubuh proporsionalnya Aira tampil dengan sempurna sehingga mempercepat pekerjaannya, pukul 2 siang ia sudah berganti dengan pakaian yang tadi ia kenakan sebelum pemotretan. "Kita jadi hunting ke pantai Watu Kodok kan?" Tanya Gita saat mereka sudah berada di dalam mobil. "Tentu dong, kita kan sudah booking kamar hotel di pesisir pantai itu, aku sudah tak sabar bermain pasir dan air laut, tapi aku ingin istirahat dulu, besok pagi kita jalan-jalnnya," terang Aira sambil menyandarkan kepalanya di bahu Gita. "Ok," balas Gita singkat. Gita memilih diam, ia tahu ada sesuatu yang sedang mengusik pikiran sahabatnya itu, ia berencana akan menanyakannya nanti jika situasi memungkinkan. Sesampainya di kamar hotel, Aira langsung membersihkan diri dan berganti baju santai lalu makan bersama Gita, tak lupa Aira juga sudah memesankan makanan untuk Pak Bambang melalui servis room. Sambil menyantap makanan, mereka menyaksikan pertukaran mega bersama dewi malam diujung barat. Indah dan anggun. "Seandainya Deanova di sini," gumam hati Aira sambil membayangkan Deanova memeluknya mesra, menikmati suasana romantis seperti ini. Segera Aira tersadar lalu penggaruk tengkuknya yang tidak gagal, ia sendiri heran mengapa pria dingin itu tak mau pergi dari pikirannya. Wajah Deanova seakan menari-nari dibenaknya sepanjang waktu, menyita seluruh perasaanya. "Ra kamu ada masalah?" Ujar Gita yang seketika membuyarkan lamunan Aira. Aira menatap Gita ragu namun ia berencana berkata jujur pada Gita, ia berharap kali ini mendapat dukungan dari Gita. Baru Aira membuka bibirnya dering ponsel Gita berbunyi nyaring. "Bentar, telepon dari panti," pamit Gita sambil menunjukkan nama kontak yang muncul dilayar ponselnya. Aira mengangguk lalu kembali menatap mega yang hampir tenggelam dalam selimut malam. "Ra kita harus pulang sekarang Bu Khodijah sakit," ucap Gita dengan panik. "Kamu pulang duluan saja sama Pak Bambang aku masih ingin di sini, besok Pak Bambang suruh jemput aku siang aja, aku ingin menyusuri pantai besok pagi mumpung di sini," terang Aira menatap Gita dengan serius. Gita melotot tak percaya, tidak mungkin ia meninggalkan Aira sendiri di sini. "Sudah kamu tenang aja, aku nggak ke mana-mana lagian aku cuma ingin menyusuri pantai lalu pulang, sudah!" Lanjut Aira berusaha menyakinkan Gita bahwa ia bukan anak kecil yang harus diawasi terus, Aira ingin sekali saja merasakan kebebasan. "Baiklah, besok Pak Bambang jemput kamu jam 12 tepat," jawab Gita dengan terpaksa, tak mudah memang mematahkan keinginan Aira namun kali ini ia harus menyerah karena ia terburu-buru harus balik ke panti. Karena jenuh di kamar hotel Aira berniat jalan-jalan ke luar sambil mencoba kuliner khas kawasan pesisir pantai Watu Kodok tersebut. Namun saat ia menikmati hidangan sambil menatap laut lepas tiba-tiba Rocky teman sesama modelnya duduk dihadapannya. Tadi mereka sempat bertemu saat di lokasi pemotretan, tapi ia tidak menyangka akan bertemu Rocky di sini, di saat dia sendiri. Tiba-tiba Aira merasa takut dengan tatapan aneh Rocky, Aira juga tahu sudah lama Rocky menyukainya namun Aira selalu berhasil menghindari saat Rocky mencoba mendekatinya. "Mana Gita manager kamu?" Tanya Rocky sambil menoleh mencari keberdaan Gita. "Dia balik dulu ada keperluan mendadak," balas Aira mencoba setenang mungkin menghadapi Rocky. "Aku juga menginap di hotel ini, mumpung di sini aku ingin mengelilingi pesisir pantai ini besok, kita bisa pergi bersama," balas Rocky sambil tak melepas tatapannya pada Aira. Bagi Rocky Aira adalah perempuan spesial, gadis itu tidak seperti rekan-rekannya sesama model yang hobby hura-hura dan menghabiskan malam di night club. "Sebentar aku ke belakang dulu," Aira izin kebelakang karena tiba-tiba ia ingin buang air kecil, mungkin ini adalah pengalaman pertamanya pergi jauh dari keluarganya. Dulu saat masih tinggal di Jakarta selalu ada bodyguard suruhan papanya yang akan mengikutinya saat pemotretan dan sekarang ia sendiri di tempat asing bersama seorang pria asing pula. Tak lama Aira kembali ke kursinya dan Rocky masih menunggu di sana dengan senyum manisnya yang semakin membuatnya ketakutan. Setelah meneguk minumannya Aira segera berpamitan izin kembali ke kamar namun saat ia berdiri tiba-tiba kepalanya terasa berputar-putar dan tubuhnya terhuyung. "Ayo Sayang." Sepasang tangan menangkap tubuh Aira lalu membawanya entah ke mana bersamaan dengan suara Rocky yang terakhir mampu ia dengar sebelum kesadarannya hilang sempurna. __________________&&&_________________ Judul Buku : DnA Author : Farasha
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD