Chapter 2

1692 Words
Aira bersiap kabur dari Aisya dan Layla sahabatnya saat jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 11 siang, misinya kali ini harus berhasil, mendapatkan nomor kontak Deanova. Tapi, jika ia bertemu dengan kedua sahabatnya pasti rencananya bakal berantakan. Dengan berlari kecil Aira menuju parkiran kampus. Saat sudah berada di dalam mobil barulah Aira bisa bernafas dengan lega. Jika Aira bercerita bahwa ia sedang melakukan pendekatan pada Deanova pasti kedua sahabatnya tersebut melarang, kemarin saja Aisya sudah protes karena penampilan dan tato Deanova. Padahal tujuan utamanya membawa Layla dan Aisya ke kafe DAS Caffee adalah untuk meminta dukungan. Aira sedikit menambah laju kendaraanya agar cepat sampai ke tempat tujuan, ia khawatir tidak bisa bertemu dengan Deanova karena pria aneh itu selalu datang dan pergi di waktu yang sama. Hanya butuh waktu 15 menit mobil Honda BR-V merah milik Aira sudah terparkir cantik di depan DAS Caffee. Hari ini Aira mengenakan jeans hitam dengan kemeja putih membentuk body goal_ nya dan tentu saja sepatu high heels 7 cm menambah kesan seksi pada kaki jenjangnya. Baginya heels adalah kecantikan yang paripurna. Aira tersenyum puas karena perjuangannya tidak sia-sia. Ternyata Deanova masih berada di tempat biasa. Sambil berjalan mendekati Deanova, Aira memperrhatikan penampilan Deanova hari ini yang matching dengan pakaian yang dikenakannyanya, celana jeans hitam pendek dengan kaos putih, rambut panjang Deanova yang terikat menobatkan dirinya menjadi pria ter_macho di mata Aira, seketika jantung Aira berirama keras seakan-akan ingin ke luar dari rongganya. "Hai!" sapa Aira sambil duduk di kursi depan Deanova. Deanova yang sedang menyeruput kopi seketika mengalihkan penglihatannya dari layar laptop ke arah Aira. Terdengar hembusan nafas keras Deanova lalu menatap Aira dengan tajam. "Apa kamu nggak ada kerjaan lain selain mengganggu aku?" tegur Deanova dengan nada dingin. Aira tersenyum bahagia akhirnya Deanova mau menanggapi pertanyaannya. "Boleh aku minta nomor kontak kamu? Biar kita bisa lebih akrab," sahut Aira dengan wajah memelas dan kedua tangan mengatup di depan dadanya. Rahang Deanova mengeras karena kesal, kini ia fokus menatap Aira dengan menyandarkan punggungnya ke punggung kursi dengan kedua tangan bersidekap di depan d**a, ia heran dengan gadis keras kepala di hadapannya padahal kemarin ia sudah mengusir dan berkata kasar padanya. Tatapan intens netra cokelat tembaga itu seketika membuat Aira meleleh. Meskipun dengan tatapan dingin dan datar tapi Aira tetap menyukainya. Obsesinya kini semakin besar untuk memiliki Deanova. "Sudah berapa kali kamu pacaran?" Tanya Deanova yang seketika membuat mata Aira berbinar terang dengan menggelengkan kepala. Alis Deanova berkerut melihat respon Aira. Ia mulai memerhatikan wajah dan cara berpakaian Aira, menurutnya gadis itu cukup manis dengan mata bulat, hidung mancung, kulit putih bersih, dan bentuk bibirnya yang tipis. Kini ia beralih memerhatikan cara berpakaian Aira yang seksi tapi masih cukup sopan, dan tentu saja gadis di hadapannya bukanlah gadis kriterianya. Deanova segera mengenyahkan pikirannya yang mulai rusuh karena melihat kemeja putih Aira yang tranparan, bra hitam yang kenakan Aira terlihat jelas oleh matanya. "Ih jangan lihatin aku gitu dong, kan aku jadi malu," ucap Aira dengan rona merah jingga dipipinya, seketika Deanova tersadar dan mengucap istighfar dalam hati. "Ok, kembali ke topik semula. Aku belum pernah pacaran tapi pernah sekali jatuh cinta pada kakak iparku, sebenarnya di kampus banyak mahasiswa yang menyatakan cinta padaku tapi entah mengapa aku tidak pernah tertarik pada mereka, eh aku malah tertarik pada pria yang kini duduk di hadapanku," terang Aira tanpa malu-malu. "Dengar ya! Kamu bukan gadis kriteriaku jadi apa pun usaha kamu untuk mendekatku tidak akan berhasil, dan asal kamu tahu aku bukanlah pria baik-baik," terang Deanova dengan tegas dan mengintimidasi. Baru bertemu dua kali saja, gadis itu sudah berhasil membuat kepalanya terasa sakit. Dan Deanova berharap, semoga tidak akan kembali bertemu dengan gadis di hadapannya. Bukannya takut Aira malah tersenyum manis, "Nah ini alasanku mengapa semakin ingin mengenal kamu," balas Aira yang seketika membuat Deanova mengacak rambutnya dengan frustasi. Otaknya mendadak buntu sekarang. usahanya mencari cara untuk mengusir gadis di hadapannya gagal total. "Sebaiknya kamu menjauhiku, aku seorang pemabuk, pemain wanita, dan pembunuh," terang Deanova dengan berbisik, ia takut ada yang mendengar tentang masa lalunya yang kelam. Ia hanya berniat menakut-nakuti Aira agar pergi dari kehidupannya. Deanova tidak ingin ketenangannya terusik oleh gadis ingusan di hadapannya. "Tapi menurutku kamu nggak begitu," balas Aira yang seketika membuat mata Deanova memerah, emosinya sudah sampai ke ubun-ubun dan hampir meledak. Tanpa memperdulikan Aira yang masih menggerutu, Deanova mematikan laptop dan mengemasi barang-barangnya lalu meninggalkan Aira yang masih menggerutu tak jelas. "Ok, aku akan pergi tapi lain kali kita pasti akan bertemu lagi," ucap Aira mengikuti langkah Deanova lalu menyelipkan kartu nama ke dalam saku celana Deanova. "See you again," pamit Aira sambil tersenyum dengan mengedipkan mata lalu melenggang ke luar kafe, Deanova masih terpaku menatap punggung Aira menjauh hingga menghilang dari pandangannya. Aira tersenyum sendiri kala mengingat tatapan dingin dan raut kesal Deanova, usahanya selama lima hari menjadi penguntit Deanova tidak sia-sia meskipun dengan sambutan yang jauh dari kata hangat tapi itu sudah cukup membuat Aira luar biasa bahagia. Aira yakin suatu hari nanti Deanova akan luluh dengannya ia hanya cukup bersabar dan menunggu waktu itu tiba. Suara lagu Senorita memecah lamunan Aira, ia pasang airphone di telinganya, "Ada apa Gita?" ucap Aira to the point. "Jangan lupa ada job pemotretan di Tanjungsari hari Sabtu," terang Gita dari sambungan telepon. "Ok, seperti biasa kamu jemput aku di rumah, by the way lokasinya dekat Pantai Watu Kodok kan?" Tanya Aira dengan antusias, bayangannya berlibur ke pantai akhirnya bisa terwujud. "Iya, entar setelah pemotretan kita bisa melancong sebentar, kebetulan juga kan hari Minggunya kita libur," balas Gita tak kalah antusias juga. "Yes, bye Gita sampai bertemu lusa ya," tutup Aira lalu mematikan sambungan telepon. Aira bersyukur memiliki manager baik seperti Gita, selain cekatan Gita juga pandai bernegosiasi dengan para klien sesuai permintaan Aira. Manager pilihan Aisya itu patut diacungi jempol, ia bisa menyesuaikan jadwal Aira dengan tepat. Aira hanya akan mengambil job dihari Sabtu dan Minggu, untuk hari lain biasanya Aira mengikuti jadwal kuliahnya dan satu syarat yang tidak bisa dilanggar oleh Aira. Memakai pakaian terbuka, syarat mutlak dari kedua orang tuanya jika masih ingin melanjutkan karir modelingnya. Sampai rumah, Aira langsung melaksanakan sholat dzuhur lalu dilanjutkan dengan berendam dalam bathtub untuk menenangkan pikirannya, ia masih berusaha mencerna perasaan hatinya pada Deanova, untuk jatuh cinta sepertinya belum, ia hanya merasa tertarik dan tertantang untuk menahklukkan pria berwajah datar tersebut. "Bener Layla bilang, Deanova tak ada bedanya dengan kulkas dua pintu, kaku dan dingin," gumam Aira pada dirinya sendiri lalu tertawa terbahak. Setelah satu jam berendam Aira berganti dengan baju terusan selutut lalu sholat ashar sekalian, sambil menunggu waktu salat maghrib yang masih panjang ia biarkan handuk membungkus rambut panjangnya yang basah itu sambil berjalan menuju dapur, cacing di perutnya sudah berdemo meminta jatah karena kelaparan, untung saja tadi ia sempat membungkus ayam geprek dan gurame bakar di rumah makan langganannya di depan komplek perumahan miliknya. Tiba-tiba Aira mengingat kembali DAS Caffe yang seketika membuat kedua sudut bibirnya terangkat. Kunyahan demi kunyahan terasa sangat nikmat sambil membayangkan ekspresi datar wajah Deanova. Tak lama setelah terdengar kumandang adzan maghrib, nyaring lagu Senorita menggema di rumah minimalis milik Aira bercat biru berpadu silver itu. Rumah khusus yang dirancang kedua orang tuanya untuk Aira selama kuliah dengan jarak 500 meter dari kampus. Aira hanya bisa pasrah saat semua urusan kampus diatur oleh keluarganya, bagaimana tidak, Hendra selaku pendonasi terbesar kampus bisa leluasa memasukkannya di fakultas mana pun dan tentu saja Ardan kakak iparnya plus Anton juga dosen yang disegani di kampusnya sebagai pengawas gerak-geriknya, jadi ruang lingkup Aira hanya berputar-putar dengan keluarganya sendiri, ditambah lagi Aisya dan Layla yang juga merangkap sebagai sahabat sekaligus saudaranya. Meskipun terkadang ia merasa tertekan karena tidak memiliki kebebasan tetapi ia sangat bersyukur memiliki keluarga dan sahabat yang benar-benar tulus menyanyanginya. Satu lagi yang terlewat, Gita adalah anak asuh di panti asuhan yang berada dalam naungan perusahaan Alfarizi, bukankah kehidupan Aira sangat sempurna. Sekarang yang ia nantikan hanya satu, seorang pangeran tampan berkuda putih datang melamarnya. "Ada apa Mbak?" Jawab Aira tanpa menjawab salam dari Aisya dengan masih mengunyah makanannya. "Kamu ini kebiasaan Dek kalau ada telepon nggak menjawab salam dulu," tegur Aisya memperingatkan adiknya. "Walaikumsalam Mbakku yang cantik dan bawel," balas Aira dengan santai, terdengar suara ocehan baby Azka dari seberang telepon yang seketika membuat Aira merasa gemas dengan membayangkan mencubit pipi tembem keponakannya. "Ih keponakanku yang ganteng kok belum bobo Mbak," ujar Aira sambil menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya. "Iya Dek, tadi pas aku tinggal ke rumah sakit dia rewel jadi aku sama Mas Ardan buru-buru pulang, oya Arfan masuk rumah sakit," terang Aisya yang seketika membuat Aira tersedak, dengan cepat ia raih segelas air di hadapannya dan langsung meneguknya. "Mas Arfan kenapa Mbak? Kok bisa masuk rumah sakit?" Cecar Aira panik. "Asam lambungnya kambuh, sepertinya gara-gara patah hati ditinggal Layla pulang ke rumah orang tuanya," lanjut Aisya dengan tergelak. Namun tiba-tiba suara Ardan yang terdengar, "Sudah nggak usah dengerin Mbakmu, klo mau jenguk besok pagi aja biar mereka temu kangen dulu," ucap Ardan menyela perbincangan Aisyah dan Aira. "Ah Mas Ardan nggak asyik deh gangguin orang lagi ngrumpi aja," protes Aira namun tak digubris Ardan, Ardan justru langsung berpamitan untuk mematikan sambungan telepon. "Dasar pasangan norak," gerutu Aira saat ponselnya berbunyi tut tut tut. ***** "Ra kamu nggak ada kelas? Jam segini kok sudah di sini?" Tanya Layla saat Aira sudah datang ke rumah sakit di jam 7 pagi. "Nanti jam setengah 9 ada kelas, makanya pagi-pagi mampir ke sini dulu mau tengok dua sedjoli yang baru baikan, lagian kalian sih kayak anak kecil aja pakai ngambekan," gerutu Aira yang langsung mendapat lemparan bantal dari Layla. "Sudah nggak usah dengerin omongan Jones alias jomblo ngene," lanjut Arfan yang langsung mendapat pelolotan mata dari Aira. "Tuh kan mesti deh aku dibully." Aira memajukan bibirnya 5 cm sambil menghentakkan kakinya seperti anak kecil. Liana mama Arfan yang juga berada di kamar Arfan tertawa bersama dengan yang lain. Setelah 50 menitan Aira pamit untuk ke kampus. Ia raih tangan Liana lalu mencium punggung tangannya baru bersalaman dengan Arfan dan Layla. Bukannya ke kampus Aira justru mengarahkan mobilnya menuju DAS Caffee. Senyum Aira seketika mengembang saat lagi-lagi membayangkan wajah tampan nan dingin milik Deanova yang sangat dirindukannya. __________________&&&_________________ Judul Buku : DnA Author : Farasha
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD