8. Aku serius, kamu cantik!

1596 Words
"Jika keajaiban itu ada, aku yakin kamulah sang keajaiban tersebut." Reiki Savian Altezza *** Kasur dengan seprei berwarna putih bersih. Selimut tebal terlipat rapih di ujung kasur tersebut. Dua buah tanaman kaktus berjajar di dekat jendela kamar tersebut. Aroma bunga dari pengharum ruangan yang lembut juga tercium dari kamar itu. Rei merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk tersebut. Ia menatap langit-langit kamar tersebut dengan intens. Hanya lampu yang menyala terang yang ada di sana. Rei hanya diam dengan matanya yang menerawang jauh. Keheningannya membuat hanya suara jam dinding saja yang terdengar terus berdentang. "Ini benar-benar menyenangkan," kata Rei lirih. Saat Rei merebahkan tubuhnya. Lagi-lagi yang ia ingat adalah sosok dari Nara yang menggemaskan. Senyumnya langsung merekah lebar begitu mengingat berbagai hal tentang Nara. "Fttt... ft.. ft... Aku bersyukur kabur dari rumah," ucap Rei lagi sambil tertawa geli. Rei sangat tidak menyangka jika pelariannya dari rumah justru membawanya pada Nara. Bagaikan sebuah takdir dan keajaiban yang muncul bersamaan. Kehadiran Nara benar-benar begitu menakjubkan. "Tidak, dibandingkan dengan keajaiban atau takdir. Dia bagaikan soda dingin di siang hari. Meletup dengan buih soda yang sangat segar. Dia membuatku terbebas dan lepas dari sesaknya kehidupanku." Rei pun takjub luar biasa, ia yang sebelumnya begitu mencemaskan keadaan perusahaan kini benar-benar tidak peduli dengan laporan yang terus diberikan sekretarisnya. Ia juga bisa dengan mudah melupakan pemberontakannya pada orangtuanya. Dia juga merasa tidak masalah jika saat ini tidak hidup bermewah-mewah seperti biasanya Harus Rei akui, jika kehidupannya yang dulu itu terasa sangat membosankan. Rei kagum jika ternyata hidup biasa terasa begitu menyenangkan dan membahagiakan. Lebih bahagia dibanding dia yang dulu bisa mendapatkan segala yang ia inginkan. "Menakjubkan, bagaimana aku bisa sangat senang seperti itu, padahal aku hanya bekerja sebagai penjaga warnet," pikirnya lagi. "Hmmm.. tapi bagaimana pun, ini adalah pekerjaan pertama yang aku dapatkan atas kemampuanku sendiri. Bukan koneksi atau latar belakang pendidikan yang aku miliki," sambung Rei lagi. Tok ... Tok ... Tok ... Suara ketukan pintu tiba-tiba mengusik lamunan Rei. Rei pun bangkit dan membuka pintu tersebut. Terlihat Nara yang berdiri dengan wajahnya yang menunduk. Tak heran Nara bersikap malu-malu. Beberapa saat yang lalu. Ia seenaknya saja mengatakan wajah seseorang tampan. Belum lagi Rei yang juga mengatakan jika Nara juga cantik. Hal itu membuat keduanya sama-sama tersipu malu. "Wah, ada wanita cantik datang ke kamarku," goda Rei dengan senyuman nakalnya. "Reiiii ...." Nara yang malu itu menarik lengan baju Rei di gagang pintu. "Ffft ... fft ... Ha-ha-ha.." tawa pun kembali pecah di antara keduanya. "Aku serius, kamu cantik, kok!" ucap Rei mempertegas. Nara yang kesal itu menatapnya dengan tajam. "Rei, hentikan ... Aku juga serius loh.. Aku hanya teringat kata orang wajah tampan itu sudah pasti baik. Pria dengan wajah tampan sudah pasti malaikat," gerutu Nara. Tawa kecil Rei masih terus terdengar. Hal itu membuat Nara kembali ingin berdalih lagi. "Dari cara bicaramu, sopan santun yang kamu tundukan, dari caramu berinteraksi dan dari penampilanmu. Kamu tidak terlihat melarikan diri karena kasus mengerikan. Makanya kami percaya padamu. Muko malah menduga jika kamu dengan gayamu yang begitu itu, adalah tuan besar atau pewaris keluarga kaya raya. Walau aku bersikeras jika bisa saja kamu malaikat yang sedang iseng." Sejenak, mata Rei kembali terbuka lebar begitu mendengar pengakuan lainnya dari Nara. Gadis manis bagaikan soda yang terus meletup dengan segar. Nara selalu membuatnya terkejut akan berbagai hal. Tak lama tubuh keduanya pun bergetar, keduanya tertawa dengan renyah. "Ada apa? Hmm... silakan masuk dulu." Nara yang masih terkekeh geli itu kini dipersilakan masuk oleh Rei. "Aku hanya mampir sebentar. Mau memberikanmu ini." Sebuah amplop tertutup rapat disodorkan pada Rei. Rei bingung dengan maksud pemberian amplop tersebut. "Ini gaji kamu bulan ini," ucap Nara lembut. "Kamu sedang kabur dari rumah, kan? Aku yakin kamu membutuhkan uang. Jadi, aku berfikir untuk memberikan gaji kamu di awal. Kamu pasti membutuhkannya. Walau tidak seberapa. Tapi, aku harap itu berguna untukmu." Nara pun mulai menjelaskan pada Rei maksud pemberiannya. Mata Rei mulai berkaca-kaca. Baru kali ini, ia merasakan uluran tangan yang benar-benar tulus. Wanita yang ada di hadapannya saat ini benar-benar bagaikan keajaiban yang mungkin tidak pernah akan ia dapatkan jika ia masih seorang tuan muda. "Tapi, aku kan baru bekerja beberapa hari. Aku juga sedang dalam pelarian ku dari rumah. Kalau tiba-tiba aku ingin kembali dari rumah sebelum waktu kerjaku yang satu bulan, bagaimana?" Pertanyaan Rei yang sedikit ambigu itu membuat senyum Nara merekah lagi. "Ah, aku sudah melakukan hal yang tepat. Pria yang ada di hadapanku saat ini adalah pria yang benar-benar baik," benak Nara. "Tidak usah kamu pikirkan. Ini hanya bantuan kecil dariku. Aku hanya memberikan gaji untuk kamu di awal. Aku tidak memberikan uang cuma-cuma, kamu tetap harus bekerja selama sebulan ke depan." "Hmmm... akan aku pertimbangkan untuk memberikanmu bonus jika bekerja dengan baik. Muko juga begitu. Jika ia bekerja dengan baik dan mengambil sif kerja lebih. Aku memberikannya uang tambahan," jelas Nara lagi dengan matanya yang bersinar. "Fttt ... fu.. ft .. Iya juga ya. Setidaknya untuk satu bulan ini kamu telah menawanku," ucap Rei santai. Ucapan yang terdengar jauh lebih menggelitik di banding sebuah ungkapan cinta itu terdengar memiliki arti yang bisa saja disalah pahami. "Ekheem ... Tapi, kalau tiba-tiba kamu berhenti dari warnet ini. Kamu harus mengembalikan uang lebihnya. Aku memberikannya hanya untuk gaji bulan ini. Jika bulan depan kamu masih bekerja di sini. Aku akan berikan gaji di akhir bulan," sambung Nara lagi dan langsung berlari keluar dari kamar Rei. "Apa sih, menawanku .. Dia bilang apaan sampai bikin aku salah faham begini." Nara mulai salah tingkah. Ia terus bergumam di balik tembok kamar Rei. Jantung Nara berdetak dengan kencang, ia sedikit tersipu. Di dalam hatinya entah mengapa ia sangat ingin salah faham dengan kata-kata itu. "Seharusnya aku kasih dia gaji 3 bulan saja, setidaknya dengan begitu dia akan ada di sini minimal selama 3 bulan," sesal Nara seraya tertawa geli. Sementara itu, Rei yang menerima amplop pemberian dari Nara itu tak hentinya memandang amplop dengan lekat. Ia sekali lagi takjub, "Wah, ini benar-benar gaji pertamaku," kekeh Rei geli. Kehidupan Rei benar-benar jauh berbeda dari sebelumnya. Tapi, entah mengapa dia jauh lebih bahagia saat ini. Meski dulu dia hidup mewah dan tak kekurangan apapun. Untuk pertama kalinya, ia bangga mendapatkan uang dengan jerih payahnya sendiri. "Ah, aku harus bekerja. Ini giliran ku," teriak Rei dengan girang seraya langsung melesat keluar menuju meja kasir warnet tersebut. Nara tinggal di warnet tersebut sendirian. Lantai satu dari bangunan tersebut adalah area warnet sedangkan Nara tinggal di lantai dua. Begitu pula dengan kamar pegawai. Bagian lantai dua adalah tempat mereka tinggal. Menurut keterangan dari Muko. Sebelumnya ada dua orang lagi yang tinggal di warnet. Tapi, entah mengapa keduanya tiba-tiba menghilang dan tak kunjung kembali bekerja. Selama Rei menjaga warnet, Rei masih berfikir keras untuk menggunakan uangnya. Sebenarnya ia sudah mendapat uang beberapa puluh juta dari Melly. Tapi, uang yang kali ini ia dapatkan jelas berbeda. Ia mendapatkan uang tersebut atas upah kerjanya. Rei sangat ini membeli sesuatu yang berharga sebagai kenang-kenangan. "Tapi, aku butuh banyak hal," renungan Rei lagi. Tidak bisa dipungkiri jika Rei yang kabur dari rumah itu. Tidak memiliki banyak hal. Ia cukup bersyukur selama ini Melly mau mengurusnya, memberikannya uang untuk membeli beberapa pakaian dan perlengkapan mandi serta membayarkan kamar hotel untuknya. Tapi, pakaian itu tidaklah cukup. Ia terus memakai pakaian itu berulang-ulang setiap selesai di cuci. "Tidak bisa dibiarkan. Aku butuh untuk membeli pakaian baru," tegasnya lagi dengan wajahnya yang serius. Rei kembali terlihat kusut dengan wajahnya yang ditekuk. Ia kembali teringat jika pakaian paling murah yang ia beli bahkan seharga dua puluh juta, belum celana dan keperluan lainnya. Ia juga teringat harus membeli satu handuk lagi dan pakaian tidur yang nyaman. "Wah, ini gila.. Bagaimana bisa ... ...." ucap Rei dengan wajahnya yang semakin kusut.. Rei sendiri tidak menyangka bagaimana bisa gaya hidupnya dulu begitu mengerikan. Ia masih ingat saat pakaian yang seharga puluhan juta itu terkena noda. Ia bisa dengan mudah membuang sepatu yang seharga ratusan juta. Bahkan jika ia kesal, ia membanting jam tangan seharga miliaran itu ke lantai. Entah mengapa hal itu semua terlintas di kepalanya bagaikan baru saja terjadi. Ia benar-benar menyesali sikap arogannya tersebut. Saat ini, ia baru menyadari betapa berharganya uang. Terlebih, uang yang sudah susah payah ia dapatkan. "Aku benar-benar pria tidak berguna," benaknya lagi yang mengingat kelakuan buruknya dulu. "Aku tidak boleh begitu lagi. Lagian saat ini, aku sudah bekerja dan ada tempat tinggal, di sini juga sudah ada makan gratis. Aku harus bisa hidup dengan lebih baik," tekad Rei. Bertekad untuk hidup lebih baik dan tidak menyerah akan pelariannya itu. Rei memutuskan untuk menutup mata akan standar gaya hidupnya. Selama ini dia sudah berhasil bertahan dengan makan makanan seadanya bukan makan dari restoran mewah atau hotel berbintang. Ia sudah bisa makan makanan biasa yang dimasak oleh Nara dengan baik. Ia malah sangat menyukai makanan tersebut. "Aku harus belanja beberapa pakaian. Tapi, aku tidak tahu harus beli di mana? Hmmm.. bagaimana ini?" Rei kini menggaruk kepalanya yang sejatinya tidak gatal. Pandangannya pun tertuju pada Nara yang masih sibuk mengetik naskahnya. "Hmmm.. Nara ..." Rei menyapa Nara dengan suaranya yang menggemaskan. Ia bersembunyi di depan meja Nara. Tangannya menyembul menggenggam erat ujung meja. Hanya matanya dan sedikit pangkal hidung yang terlihat dari Rei. "Kenapa pria tampan," ucap Nara sedikit menggoda Rei. Tawa sekali lagi pecah saat itu. Rei pun dengan berkaca-kaca kini menyenderkan dirinya ke meja Nara. Ia sedikit duduk di atas meja tersebut dengan kedua tangan yang ia kepalkan. "Tolong temani aku untuk membeli beberapa pakaian ya.. Aku tidak tahu harus beli di mana.." "Tolong ya.." "Temani aku ya.." Rei terus merengek dengan matanya yang bersinar penuh harap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD