Bab 2 Kesepakatan

1124 Words
Talita mendekat ke arah Dion. Dengan senyum hangat-hangat kuku, Talita berjinjit lantas berbisik di telinga Dion. Karena kaki pendek Talita, Dion sedikit membungkuk untuk memudahkan Talita berbisik di telinga Dion. “Aku akan bilang ke calon mama mertua kalau Mas Dion enggak serius cari mantu. Mas Dion nikahnya cuma pura-pura.” Usai berbisik, Talita kembali berdiri seperti semula dan memasang wajah senyum ramah seperti sebelumnya. Dia sendiri tidak yakin dari mana keberanian yang dia dapatkan untuk bicara seperti itu pada Dion. Ibarat kata, Dion ini panglima perang dan Talita adalah dayang-dayang. Beraninya seorang dayang mengancam seorang panglima perang. 'Tuhan … semoga Mas Dion adalah anak yang berbakti pada orang tua jadi dia takut kalau aku ngadu ke mamanya. Aamiin,' doa Tita dalam hati. Jujur nyali Tita menciut berdekatan dengan Dion. Dia merasa terintimidasi hanya dengan berdiri di dekatnya. Dion itu seperti bintang yang bersinar di langit sementara Talita adalah kunang-kunang di atas rawa. Sama sekali berbeda dan dengan dunia yang tidak sama. Dion menarik bibirnya menjadi satu garis lurus. Dengan mata yang tajam dia memperhatikan Talita dengan seksama. Dia sama sekali tidak menyangka kalau gadis ini akan menolak tawarannya menikah kontrak. Padahal dari sudut pandang ekonomi yang lemah dan penampilan, seharusnya Talita bersyukur mendapatkan tawaran bagus ini. Tidak semua orang seberuntung dia mendapatkan tawaran pernikahan kontrak darinya. “Kamu berani mengancamku?” tanya Dion dengan mata memicing. Jujur saja, Talita merasa semua bulu kuduknya berdiri saat ditatap begitu intens oleh Dion. Laki-laki di hadapannya ini memiliki semua kriteria untuk membuatnya bertekuk lutut hanya dengan satu lirikan darinya. Kekuatan internal dari seorang Dion Pakusadewo terlalu kuat untuk gadis biasa-biasa saja seperti dirinya. “Ini bukan ancaman, Mas. Ini adalah misi penyelamatan. Aku akan merasa sangat berdosa kalau sampai membiarkan Mas Dion jatuh dalam lembah dosa padahal aku jelas-jelas bisa menyelamatkan Mas Dion.” Halah, alasan saja kamu Tita! Bilang saja kalau kamu memang ingin menikah dengan Dion! Mana mungkin Talita akan melepaskan kesempatan emas untuk menikah dengan Dion. Ingat harga diri, Tita! Harga diri! Dion tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia hanya melipat tangan di depan d**a dan terus menatap Talita yang kini mulai salah tingkah. Jangankan ditatap sedemikian rupa, hanya dengan satu lirikan saja Talita bisa meleleh. “Mas Dion, jangan lihatin aku kayak gitu! Salah-salah nanti aku bisa sakau.” “Sakau?” “Iya, sakau. Mas Dion belum pernah lihat aku sakau, kan? Serem tahu! Aku bisa jingkrak-jingkrak sambil kayang.” Dion yang terkenal cool karena jarangnya memperlihatkan senyum hampir saja tertawa mendengar ucapan Talita. Gadis ini jauh berbeda dari apa yang Dion bayangkan. Dia pikir Talita adalah anak introvert yang jarang bicara dan penurut. Namun baru sebentar saja bicara dengan Talita sudah cukup membuat Dion gagal mempertahankan citra dirinya yang dingin. “Eh, Mas Dion ketawa, ya? Kalau mau ketawa ya ketawa saja, Mas. Jangan ditahan-tahan, nanti malah mulas. Enggak enak, tahu, Mas. Lagian ketawa sama aku gratis, enggak perlu bayar. Cukup ucapan terima kasih saja.” Dion sontak menaikkan satu alisnya. Dia benar-benar baru tahu kalau mulut Talita gacor. Dari rumor yang Dion dengar, Talita adalah anak kuper yang jarang keluar rumah selain untuk bekerja dan ke pasar membantu sang ibu belanja. Dia juga jarang bergabung dengan teman-teman sebayanya untuk hangout atau berorganisasi. Hanya saja, dia memang melihat kalau gadis ini cukup ramah dan murah senyum. “Kamu … kenapa mudah sekali menerima ajakan menikah dari laki-laki? Apa kamu tidak takut salah pilih?” “Kalau yang nawarin nikah Mas Dion sudah pasti aku mau. Bukan hanya aku, semua gadis di desa ini mungkin akan setuju kalau yang ngajak nikah Mas Dion.” “Kenapa?” “Ya … karena ini adalah Mas Dion. Siapa yang enggak kenal Mas Dion? Sudah baik, ganteng, pinter dan ….” Kaya raya. Talita enggan mengucapkan satu kata itu. Dia tidak mau kalau sampai Dion menilainya materialistis. Padahal dia hanya realistis. Jaman sekarang semua hal membutuhkan uang. Bukan hanya untuk sandang, pangan dan papan. Tapi hampir untuk semua kebutuhan membutuhkan uang. Orang bilang uang tidak bisa membeli segalanya, tapi segalanya butuh uang. “Dan …?” “Dan masih perjaka ting-ting. Seumur hidupku yang hampir seperempat abad ini, kayaknya enggak pernah denger kalau Mas Dion punya gandengan. Hanya rumor enggak jelas saja tapi kalau melihat secara langsung Mas Dion menggandeng cewek kayaknya enggak pernah.” “Memang kamu sudah seperempat abad?” tanya Dion salah fokus. “Ya … belum, sih. Bulan depan aku dua puluh empat tahun. Kata ibu sudah termasuk perawan tua,” Talita menjeda ucapannya. Dia menatap ke bawah tepat ke ujung jarinya yang terbungkus sepatu. Talita lantas melanjutkan kata-katanya dengan senyum hambar. “Manusia itu lucu ya, Mas? Saat ada gadis yang sudah berusia dua puluh empat tahun yang belum menikah akan mendapat predikat tua. Namun saat ada gadis berusia dua puluh empat yang meninggal dunia katanya kasihan, masih muda sudah meninggal. Aneh.” Gadis yang masih mengenakan seragam perawat itu menarik napas kasar kemudian menghembuskannya perlahan. Dia baru saja pulang bekerja dan tidak menyangka akan dicari oleh Dion, terlebih langsung diajak menikah. Sungguh, lamaran pernikahan yang tidak romantis sama sekali. Jauh dari harapan dan angan-angan Talita. “Makanya, aku lebih dari bersedia menikah dengan Mas Dion. Mungkin … Mas Dion ini adalah jawaban dari Tuhan atas segala doa yang aku panjatkan setiap hari. Kan, bagus kalau aku bisa nikah sama Mas Dion. Aku bisa bawa Mas Dion buat aku pamerin kalau lagi kondangan.” Jawaban lain yang kembali tidak terduga oleh Dion. Gadis ini benar-benar sesuatu. Pasti sangat menyenangkan mempertemukan dia dengan ibu tirinya di rumah nanti. Kehadiran Talita di rumah pasti akan membuat ibu tirinya pusing. Dan Dion suka itu. “Oke, kalau begitu kita menikah. Tapi dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.” “Oke, deal!” ucap Talita puas. Senyumnya semakin lebar dengan persetujuan dari Dion. Apapun persyaratan yang Dion ajukan pasti akan dia setujui. Entah mimpi apa dia semalam hingga hari ini mendapatkan hal yang begitu indah. Sudah bisa dipastikan dia akan menjadi sasaran kecemburuan gadis-gadis di desa itu karena akan menikah dengan top idol kampung mereka, Dion Pakusadewo. Anak lelaki tertua dari bos Pakusadewo pemilik pabrik gula. Saat lebaran nanti, dia akan pamer di depan paman dan bibi yang selalu menanyakan di mana pacarnya, kapan dia akan menikah dan siapa calon suaminya. Hanya membayangkan saja sudah membuat cengiran Talita melebar sampai ke telinga. Dion menghela napas saat melihat antusias Talita. Sejujurnya, Dion merasa sedikit bersalah pada gadis itu. Ada alasan kenapa Dion mengajukan pernikahan kontrak pada awalnya. Alasan karena tidak ingin membuat wanita yang ia nikahi terluka nantinya. Sekarang dia ragu, haruskah dia mengatakan alasan itu pada Talita agar gadis itu bisa mempertimbangkan keputusannya untuk menikah? Rasanya terlalu picik jika Talita dibiarkan tidak tahu alasan selama ini dia tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD