MR. PERFECT

1300 Words
Pagi ini, kisaran pukul jam setengah sepuluh, aku tengah bersantai di atas sofa sembari menikmati keripik kentang dan menonton acara kartun di televisi. Aku bolos ngampus hari ini. Malas. Aku membohongi Rolfie dengan alasan ingin pergi ke toko buku sebentar dan ke kampus bersama Alicia, namun itu hanya tipu daya seorang Keyrina agar terlepas dari paksaan pergi ke kampus. Karena biasanya, tiga puluh menit sebelum berangkat ke kampus, Rolfie sudah menungguku di depan pintu rumah untuk berangkat ke kampus bersama, dan karena tipu dayaku, Rolfie hari ini berangkat sendirian. Ngunggg... Aku melirik handphoneku di atas meja, layar persegi itu menampilkan nama Alicia di sana. Tanpa basa-basi, aku segera menekan ikon berwarna hijau dan mendekatkan handphone itu ke telingaku. Terdengar suara helaan napas dari seberang telepon sana. "Key, hari ini kenapa nggak ngampus?" aku terdiam tak menjawab.    "Oh iya, sore nanti Mr. Tom mau ketemu kamu, dia bilang kamu dateng aja ke cafe biasa," lanjutnya. Mr. Tomy, atau biasa biasa disapa Mr. Tom, pemilik perusahaan penerbitan dan toko buku yang cukup populer di Inggris. Dia masih muda, umurnya baru menginjak dua puluh enam tahun pada tahun ini, namun ia sudah berhasil sukses dengan perusahaan penerbitannya itu, kedua bukuku yang laris manis itu diterbitkan oleh perusahaannya.    "Sore? Jam berapa?" tanyaku.   "Kalo enggak salah katanya jam lima sore."    "Oh oke oke."    "Aku ke perpustakaan dulu ya, bye..." Dan setelahnya, telepon itu di putus. Aku menggigit bibir bawahku dan menggenggam handphoneku di depan d**a. Masih terbayang kabar baik yang Alicia beritahu tadi. Mr. Tom akan mengajakku untuk bertemu. Kira-kira hal apa yang ingin ia sampaikan padaku? Ah sudahlah itu tidak terlalu penting, yang paling penting adalah, Mr. Tom mengajakku untuk bertemu. Ia laki-laki yang baik, pintar, kaya raya, dan juga tampan. Bahkan jika ia tak memiliki perusahaannya itu, ia akan tetap menjadi lelaki kaya raya karena keturunan keluarganya yang memang terpandang dan terhormat. Dan beruntungnya lagi, aku menjadi salah satu gadis yang berhasil mengenal dirinya lebih dekat. Awal pertama kali aku bertemu dengannya, kupikir dia lelaki yang sombong dan angkuh. Waktu itu ceritanya, ketika aku akan menerbitkan novel pertamaku, aku datang ke perusahaan penerbitan miliknya itu, awalnya aku hanya diperintah untuk meninggalkan naskahku disana, dan akan di seleksi nantinya, namun ketika aku akan pergi keluar dari kantor itu, aku tak sengaja berpapasan dengannya. Dari gaya berpakaiannya saja dia sudah terlihat sangat berkuasa dan berwibawa. Kala itu ia menatapku tajam dengan kedua bola matanya yang indah, sama sekali tak ada senyum. Namun, dua Minggu setelah kejadian itu, aku kembali di panggil ke kantor penerbitan tersebut, seorang staf bilang bahwa naskahku sudah dibaca langsung oleh sang pemilik perusahaan dan dia tertarik untuk menerbitkannya, alhasil aku di perintah untuk menemui sang pemilik kantor. Awalnya aku sangat resah, apalagi saat aku sudah berada satu ruangan dengan seorang lelaki yang kala itu hanya duduk santai menungguku, dan dia lah Mr. Tom. Laki-laki yang menatapku tajam saat pertama kali bertemu, tapi kala itu senyum yang ia utarakan padaku langsung menghancurkan pikiran negatifku tentang dirinya. Dia bilang, naskahku rapi dan ceritanya sangat menarik. Dia bilang dia terbawa suasana saat membacanya. Dia bilang ceritaku itu sangat pantas untuk dibaca banyak orang. Aku senang setengah mati, itu sungguh apresiasi yang sangat besar untukku. Mr. Tom sangat menghargai karyaku, ia bahkan tidak menyebutkan kekurangan dalam ceritaku sama sekali. Dan mulai saat itu, sebuah rasa ketertarikan muncul untuknya. *** Kini, sekitar pukul empat sore. Aku sudah selesai dari mandiku. Satu jam lagi aku harus berangkat ke cafe. Aku membuka lemari pakaianku dan melihat-lihat sembari berpikir baju apa yang bagus untuk kukenakan sore ini. Aku mengambil dua pasang baju yang tergantung di lemari, lantas meletakkannya di kasur. Aku masih bingung, keduanya bagus, harus kukenakan yang mana untuk bertemu Mr. Tom nanti. Alhasil, aku mencoba kedua pakaian itu dan melakukan mirror selfie pada cermin besar yang berada di kamarku. Setelah selesai di potret, kukirimkan kedua foto itu pada Rolfie. Beberapa menit kemudian, balasan datang darinya, Rolfie bilang style pertama lebih bagus. Aku pun memikirkannya lagi dan mencoba gaya itu lagi. Balutan jeans yang dipadukan dengan sweater rajut merah marun. Rolfie bilang itu jauh lebih bagus dan sopan dibandingkan aku mengenakan mini dress ketat jauh diatas lutut yang dihiasi sedikit kilauan. Rolfie bilang itu norak. Aku akhirnya setuju dengan saran Rolfie, dan mulai bersiap-siap untuk pertemuan beberapa waktu lagi. Setelah selesai dengan pakaian, aku beralih pada riasan wajah. Aku menatap wajahku di cermin sesaat, setelahnya aku memoles sedikit lipstik nude di bibirku, sedikit bedak, dan sedikit sentuhan blush on. Rolfie pernah bilang bahwa laki-laki akan lebih tertarik pada wanita yang tidak mengenakan terlalu banyak riasan wajah. Rolfie bilang wanita-wanita seperti itu hanya akan terlihat lebih tua, apalagi bila riasan wajah yang digunakan sudah menyangkut bulu mata palsu, pensil alis, lipstik merah menyala, dan kawan-kawannya. Rolfie juga tidak terlalu suka bila wanita menggunakan blush on, lagi-lagi dia bilang itu norak.    "Norak, kayak cewek abis di gampar. Bukannya suka malah kasian liatnya." Kurang lebih seperti itu pendapatnya. Namun, aku menghiraukan pendapatnya kali ini, sedikit riasan pipi tidak masalah bila tidak terlihat terlalu tebal. Aku melirik jam dinding, jam lima kurang dua puluh menit. Aku segera mengenakan tas di sebelah bahuku, turun ke bawah dan memakai flat shoes dengan warna senada. Lantas setelahnya aku keluar rumah, mengunci pintu dan berangkat. Tak butuh waktu lama, taksi yang kutumpangi tiba di cafe yang Mr. Tom maksud. Sebuah cafe yang lumayan populer, yang terletak tak jauh dari menara big ben. Aku yang baru tiba di cafe tak perlu pusing-pusing mencari keberadaan Mr. Tom dimana, tanpa perlu diberi tahu pun, aku sudah tau pasti dirinya memesan kursi di dekat jendela cafe di sana itu. Itu tempat favoritnya.    "Hi Mister!" Mr. Tom langsung menoleh kearahku kala aku menyapanya. Ia tersenyum hangat dan mempersilahkan diriku untuk duduk di hadapannya. Tak lama, seorang pelayan datang dan memberiku secangkir minuman hangat. Pasti Mr. Tom telah memesannya terlebih dahulu.    "Kamu apa kabar, Key?" tanyanya. Aku menyeruput minuman itu. "Baik. Anda?"    "Saya juga baik." Hening sejenak. Kami berdua sama-sama menatap objek diluar jendela. Lewat kaca jendela yang bening ini, kami bisa melihat pemandangan luar kota London yang gemerlap. Kami juga bisa melihat dan mendengarkan dentingan dari jam big ben di sana itu. Merasakan kehangatan dan kenikmatan bersama ditemani waktu yang terus berjalan.    "Oh iya Key, tujuan saya ketemu kamu disini, saya mau ngomong sesuatu," ujarnya tiba-tiba.    "Hm? Apa?" Ia menyeruput minumannya. "Tentang penjualan novel kamu." Aku terdiam, menunggu Mr. Tom melanjutkan pembicaraan.    "Saya rasa respon para pembeli sangat baik. Novelmu itu bagus dan ceritanya menarik. Berkat novelmu, setiap hari presentasi pengunjung dan penjualan di perusahaan saya bertambah dengan pesat." Aku girang. "Bener, Mr.?" Ia mengangguk. "Karena itu juga, setiap harinya pemasukan di perusahaan juga terus bertambah dan meningkat. Terima kasih, Key." Aku hanya tersenyum, namun sejujurnya jauh di lubuk hatiku ada sebuah rasa senang yang amat sangat.    "Tapi saya mau minta sesuatu sama kamu boleh?" tanyanya lagi. Aku mengangguk.    "Bisa nggak novel selanjutnya yang bakal kamu terbitin itu agak berbeda?" Aku lagi-lagi terdiam.    "Meskipun pengunjung sangat suka dengan karyamu itu, tapi mungkin juga pengunjung menginginkan hal lain yang lebih menarik. Para pembeli atau pembaca mungkin juga sangat senang dan tertarik jika kamu mengeluarkan karya baru yang sedikit berbeda."    "Maksud, Mr.?"    "Saya rasa, pembaca bakal senang kalo karya kamu selanjutnya bercerita tentang hal yang agak lain, hal yang agak berbeda dari kedua karyamu sebelumnya yang tergolong menyenangkan." Aku terdiam sejenak sembari berpikir. Benar juga katanya. Pembaca pasti menginginkan hal yang berbeda dan menarik. Meskipun ucapan Mr. Tom ini bukan bermaksud menjelek-jelekkan, tapi aku bisa ambil sebuah poin penting dan menganggap ini masukan yang sangat bermanfaat.    "Bisa?" tanyanya. Aku menatapnya dan mengangguk. Mr. Tom tersenyum begitupun aku. Beberapa saat setelahnya, kami berdua berhenti bicara dan lanjut menikmati minuman kami seraya melihat pemandangan diluar itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD