FUNNY MOMENT

1274 Words
Kecuali...    "Kelin!"    Aku langsung terdiam dari kegiranganku. Aku lantas menoleh ke belakang dimana sumber suara itu berasal. Jarak dari gerbang menuju pintu rumahku lumayan jauh, aku bisa melihat ada orang di dekat pintu rumah itu ketika aku menyipitkan mataku dan memfokuskan pandangan.    Sebenarnya tanpa harus seperti itu, aku sudah bisa menebak dengan tepat siapa di sana. Itu Rolfie.    Aku memutar bola mataku dan segera membuka gerbang menghampirinya. Ia mengelus kepalaku pelan dan mengacak sedikit rambutku, lantas ia tertawa kecil.    "Jangan datar mukanya, seneng dong kan baru aja di anter cowok ganteng," ledeknya.    Oh tidak, pasti dia dari tadi di sini melihatku dengan Tomy. Seketika, aku jadi malu. Pipiku mungkin kini memerah, karena tak bisa membendung rasa bahagia, akhirnya aku pun cengengesan, Rolfie tertawa melihat tingkahku, dan kembali mengacak pelan rambutku.    "Masuk yuk. Gua udah beli ayam bakar nih," ujar Rolfie, lalu ia menunjukkan dua bungkusan di tangannya.    "Kenapa nggak masuk aja dari tadi? Lo lupa cara buka pintu apa gimana?"    "Kan kuncinya lo bawa." Aku terdiam sejenak, malu. Lantas aku kembali cengegesan. "Heheh, lupa." Rolfie menatapku datar.    Aku lantas mengambil kunci di tasku, dan membuka pintu. Ketika pintu dibuka, Rolfie langsung masuk sebelum aku, ia langsung menghambur di sofa dan menyetel televisi.    "Dari balik kampus gua di depan rumah lo, lo nya nggak dateng-dateng," gerutunya sembari menggonta-ganti chanel televisi.    "Ya kenapa lo nggak pulang ke rumah lo aja dulu? Rumah lo di sebelah, kepleset juga sampe."    "Nggak pa-pa, penginnya di sini."    Aku terkekeh sembari meletakkan flat shoes di rak sepatu. Lantas setelahnya, aku pergi ke dapur dan mengambil sendok, lalu kembali dan segera membuka bungkusan sterofoam yang Rolfie bawa. Meja ruang tamu terbilang pendek, alhasil aku duduk bersila di lantai untuk makan. Aku malas ke ruang makan, selain ribet, aku juga jadi tidak bisa menonton televisi.    Wangi ayam bakar yang khas langsung mengudara di ruangan ini. Ayam bakar, lengkap dengan nasi, sambel, dan daun selada. Rolfie pasti membelinya di restoran Indonesia tempatku biasanya membeli makan.    Rolfie beranjak dari duduknya dan berjalan menghampiri lemari es, lantas setelahnya ia kembali dengan kotak besar jus jambu yang dingin.    "Gimana kencannya?" tanya Rolfie yang langsung duduk di bawah lantai seperti aku. Aku tertawa kecil dan tak menjawab.    "Itu siapa? Temen kampus?" tanyanya lagi. Aku menggeleng. "Bukan. Itu Tomy." Kedua alis tebal Rolfie mengerut. "Tomy siapa?"    "Itu loh, pemilik perusahaan penerbitan tempat gue terbitin novel."    "Ohh, cowok sombong yang lo ceritain itu?" Aku terkekeh dan mengangguk. "Dia nggak sombong, gue aja yang salah kira."    Setelahnya, Rolfie hanya mengangguk-angguk paham, lalu ia membuka tutup kotak jus yang ia ambil tadi dan meminumnya begitu saja tanpa gelas.    Itu kebiasaannya sedari dulu, meminum minuman dengan kotak besar dan langsung di tengguk begitu saja tanpa gelas.    "Fie, tadi gue ketemu Alexa," ujarku di sela-sela makan kami.    "Alexa siapa?" tanya Rolfie sembari mengunyah potongan ayam di mulutnya.    "Temen sejurusan lo itu."    "Alexandra Calesthane?" Aku mengangguk.    "Ya terus?" lanjut Rolfie. "Urusannya sama gua apa?"    Aku menatap Rolfie datar dan tak melanjutkan ucapanku. Rolfie memang seperti itu, malas untuk membicarakan orang lain yang tidak terlalu dekat atau yang bukan orang penting menurutnya.    Rolfie memang orang yang tergolong dingin dan cuek. Orang-orang yang belum mengenalnya akan mengira dia lelaki sombong dan judes. Namun bila sudah kenal apalagi bila sudah dekat, pendapat itu akan langsung patah seketika.    "Mama sama Papa mau pulang dari Spanyol dua hari lagi. Kata mereka lo mau oleh-oleh apa?" ujar Rolfie.    "Apa aja," jawabku singkat.    Kedua orang tua Rolfie memang tengah berada di Spanyol sejak satu bulan lalu. Ada urusan keluarga yang harus diselesaikan, sekalian Papanya mengurus perusahaan yang berada di kampung halamannya tersebut.    Setiap satu tahun, mereka biasanya pergi ke Spanyol tiga sampai lima kali. Rolfie jarang ikut, paling-paling hanya dua kali setahun, itu dikarenakan Rolfie harus kuliah. Rolfie anak tunggal di keluarganya, oleh karena itu kedua orang tuanya sungguh mementingkan pendidikan untuknya.    Setiap mereka pulang pasti selalu membawa sesuatu untukku. Orang tua Rolfie terbilang memiliki hubungan baik denganku, karena sedari kecil aku dan Rolfie memang sudah berteman baik. Mereka menganggapku seperti anak mereka sendiri. Terlebih Mamanya yang memang menginginkan anak perempuan. Dahulu Rolfie sempat hampir memilik adik, namun kandungan sang Mama keguguran dan karena ada penyakit di saluran rahimnya, alhasil mengharuskan rahim Mamanya itu diangkat.    "Fie itu apaan?!"    Aku langsung panik kala melihat sebuah makhluk kecil berwarna cokelat kehitaman berjalan-jalan di lantai. Mataku langsung terbelalak lebar kala menyadari bahwa makhluk itu adalah seekor kecoa yang menggelikan.    "Kecoa!! Usir, Fie. Usir!!" hebohku.    Aku langsung lompat ke atas sofa. Sangat tidak ingin bila makhluk itu menghampiriku dan berjalan melewati kakikku.    Sementara Rolfie bersikap santai. Ia bahkan tak buru-buru bangkit dari duduknya dan masih bisa menikmati satu suapan dari makanannya itu. Ia lalu berdiri masih dengan mulutnya yang mengunyah. Ia lalu menatapku tanpa ekspresi dan setelahnya ia mengapit antena makhluk itu dengan jari telunjuk dan jempolnya. Ia lalu keluar rumah dan kembali masuk dengan santai. Ia pergi mencuci tangan lalu kembali pada posisi duduk di lantai seperti tadi.    Gerak-geriknya sungguh santai, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Berbeda denganku yang heboh sendiri karena seekor makhluk kecil yang menurutku sangat menggelikan.    Aku perlahan lantas turun dari sofa dan kembali menikmati makanku. Masih sedikit deg-degan sebenarnya dengan kecoa kecil tadi. Tapi sudahlah, lagi pula makhluk itu sudah pergi.    Rolfie tertawa melihat tingkah panikku. Ia lalu mengacak rambutku lagi. Kebisaan yang sedari dulu tidak pernah hilang.    "Gara-gara kecoa aja panik," ledeknya.    Aku terdiam di ledek olehnya. Namun, tiba-tiba sebuah ingatan mendarat mulus di pikiranku.    "Dari pada lo! Gara-gara kecoa aja nangis," ledekku balik.    Rolfie terdiam dan menatapku datar. Ekspresi yang selalu hadir bila hal-hal yang menurutku lucu dan menurut dia tidak. Aku yakin seratus persen, ia masih mengingat momen itu. Momen yang hingga saat ini masih berhasil membuatku tertawa.    Dahulu saat kecil ketika kami bermain di halaman belakang rumahnya, seekor kecoa datang dan berjalan-jalan di sekitaran halaman waktu itu. Rolfie lantas memainkannya, mengejar-ngejarnya ketika serangga kecil itu berjalan-jalan. Ia bahkan tak segan menangkap kecoa itu ketika kecoa itu terbang. Namun, kala itu ia iseng menghentak-hentakkan kakinya di dekat serangga tersebut dan alhasil membuat serangga itu kian berjalan menjauh. Namun Rolfie masih saja iseng, hingga kaki kecilnya itu dengan sengaja ia hentakkan ke tubuh kecoa tersebut. Saat itu ia menarik tanganku yang jaraknya sedikit jauh karena aku takut kecoa, dan kala itu ia menunjukkan kecoa malang yang sudah ia injak padaku. Ia pamer padaku bahwa dirinya jagoan yang tidak takut kecoa.    Namun, kala itu kecoa tersebut tak lagi bergerak, Rolfie meniup-niupnya tapi kecoa tersebut tetap tidak memberi respon, hingga akhirnya kami pastikan bahwa kecoa itu mati.    Dan saat itu, Rolfie menangis. Bibir manisnya terlekuk seketika, dan tangisannya pun pecah. Ia menangis dengan berteriak seperti anak-anak kecil pada umumnya, dan karena mendengar sang putra menangis, Mamanya langsung datang dan panik.    "Why you crying baby?" tanya sang Mama. Rolfie kecil menunjuk kearah kecoa itu. "I kill it, Mommy. I kill it," dan lagi-lagi tangisnya pun pecah.    Aku bisa melihat saat itu ekspresi sang Mama yang susah payah menahan tawa, ia lalu memeluk Rolfie dan menenangkannya.    Dan saat itu, seharian penuh Rolfie tak henti-henti menangis. Ia merasa bersalah terhadap kecoa kecil yang ia injak hingga mati. Padahal sebelumnya ia sangat bahagia memainkan bahkan menjahili kecoa itu, padahal ia sendiri yang sengaja menginjaknya, dan ia juga yang menangis karena kesalahannya.    Dan saat itu, di sore hari, ia mengajakku menggali tanah di halaman belakang rumahnya tempat pembunuhan itu terjadi, dan dengan penuh rasa bersalah Rolfie mengubur kecoa itu, setelah ditutup kembali dengan tanah, makam kecoa itu ditancapkan batu sebagai penanda bahwa ada mayat di dalam sana, tak segan-segan ia juga menaburi tanah itu dengan bunga yang ia petik dari tanaman hias Mamanya dan ia potong menjadi ukuran lebih kecil.    Dan lagi, setelahnya ia kembali menangis. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD