2005, pertengahan desember...
Selalu begitu. Kelas selalu ramai ketika Sani menginjakan kaki untuk pertama kali setiap pagi. Bel yang belum berbunyi, teman-teman yang sibuk menyalin tugas, atau bahkan membersihkan kelas sebelum guru datang.
"Mereka pasti nggak piket lagi kemarin," batin Sani menggeleng prihatin. Mengabaikan pemandangan itu lantas berjalan menuju mejanya dan meletakan ransel di sana.
Begitu duduk di kursi, pandangan Sani tersita pada Anggi—si preman kelas yang baru saja selesai menyalin tugas di meja Dila kembali dengan ekspresi puas duduk di sampingnya. Sepertinya teman sebangkunya itu sengaja berangkat amat pagi untuk memuluskan rencananya menyalin tugas. Lihat saja ekspresi bahagianya menatap buku yang sudah terisi penuh dengan ratusan angka dan huruf di setiap lembarannya itu.
"Lo nggak ikut nyalin, Sa?" tanya Anggi setelah sadar bahwa rekan sebangkunya itu sudah ada di sana sejak tadi.
Menggeleng singkat, Sani mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Buku tugas yang sudah terisi hampir sama banyaknya dengan milik Anggi. "Gue udah ngerjain dong..." pemer Sani membuat Anggi mencibir tanpa suara. Pantas saja teman sebangkunya itu santai-santai saja, pikir Anggi.
Masih menebar senyum dengan buku tugas dalam genggaman, tiba-tiba seseorang merebut buku itu dari tangan Sani tanpa basa-basi. Sani menatap pelakunya dan terdiam untuk beberapa detik, di depannya Daru memasang senyum khas miliknya seperti biasa. Dengan enteng pemuda itu hanya berkata, "Pinjem ya?" lantas berbalik memunggungi kedua gadis yang duduk di belakang mereka.
"Kenapa tuh bocah?" Anggi menyikut Sani, menggerakan dagu ke arah Daru yang sudah sibuk dengan buku tugas Sani.
Kening Sani berkerut, "Kenapa, apa?"
Anggi menepuk jidat, "Tuh anak tadi bilang nggak mau ikut nyalin punyanya Dila, eh sekarang malah pinjem buku tugas lo."
Lirikan mata Sani mengarah pada Daru sekilas. Pemuda itu terlihat amat sibuk dengan dua buku di mejanya. Kembali pada Anggi, Sani hanya bisa mengangkat bahu tidak tahu. Tatapan heran kedua gadis itu pecah saat ketua kelas mereka—Reski berkoar di depan kelas dengan suara lantang. "Hari ini ulangan Biologi," ucapnya di depan kelas. Suasana yang semula hening berubah riuh dengan nada-nada kecewa, pasalnya guru Biologi mereka dua hari lalu tidak mengatakan apa-apa.
"Ngibul lo ya, Res? Orang Bu Dina kemaren nggak ngomong apa-apa," seru Taro tidak ingin percaya.
"Jadwal kelas sebelah itu hampir sama kayak kita, dan kemaren mereka udah ulangan mata pelajaran Bu Dina. Otomatis yang jadi korban selanjutnya kita," jelas Reski bijak.
Kebanyakan laki-laki di kelas itu lantas berseru kecewa, melampiaskan kekecewaan mereka dengan berbagai cara termasuk menjambak rambut sendiri atau teman sebangku. Sani hanya menyaksikan keriuhan itu dalam diam, sementara Anggi di sampingnya sudah menggerutu tidak jelas.
"Gue kira hari ini bisa tenang dengan tugas yang udah berakhir gue salin. Taunya malah ada ulangan Biologi, argh..." Anggi menjambak rambutnya sendiri, mengeram dramatis.
"Thanks, Lan. Jawabannya nggak beda jauh sama punya gue," Daru menyela, mengembalikan buku Sani dan meletakannya di meja gadis itu.
Mata kedua anak muda itu bertemu, untuk beberapa detik pertama hanya berpapasan biasa, hingga Daru lebih dulu mengalihkan pandangannya pada Anggi yang masih mendramatisir suasana.
"Kenapa?" tatapan Daru kembali pada Sani, bertanya tanpa suara menggunakan isyarat mata.
"Ulangan Biologi?" jawab Sani yang serupa dengan pertanyaan.
Daru tertawa kecil, menggeleng heran kenapa teman-teman sekelasnya begitu berlebihan hanya karena isu ulangan mendadak ini.
"Lo sendiri? Nggak khawatir sama ulangannya?" tanya Daru ingin tahu, melihat Sani yang bereksi biasa saja dibanding yang lain.
Bola mata Sani berputar, seperti mempertimbangkan apa yang harus ia katakan untuk situasi macam ini. "Tinggal baca buku dikit pas jam istirahat, bisa kan?"
Lagi-lagi jawaban yang berupa tanya, membuat Daru dan Anggi yang mendengarnya menatap Sani tidak percaya.
"Memang baca sedikit pas jam istirahat bisa bantu nilai ulangan lo? Dipake buat nyatet sedikit contekan sih bisa," cibir Anggi mulai mempertimbangkan ucapannya sendiri.
Ah, Sani lupa. Tidak banyak yang tahu memang—atau malah tidak ada yang tahu tentang hal yang satu ini. Sani memiliki ingatan jangka pendek yang cukup baik, sekali gadis itu membaca sesuatu, untuk beberapa jam ke depan ia akan mengingatnya detail. Meski dikemudian hari bisa jadi ia justru tidak mengingat satu pun dari apa yang dibacanya. Tapi untuk situasi seperti ini bukankah kelebihan itu harus ia syukuri?
Percakapan itu terhenti karena guru matematika mereka masuk dan langsung menanyakan tugas yang beliau berikan 3 hari lalu. Sontak saja suasana kelas yang semula hening karena kehadiran guru killer itu seketika berubah riuh karena sebagian dari yang menyalin tugas pagi ini belum seluruhnya menyelesaikan misi mereka. Dan itu berarti, mereka harus siap menghadapi hukuman keliling lapangan lima putaran pagi ini.
***
Riuh bisikan demi bisikan semakin terdengar jelas kala waktu yang tersisa semakin sempit. Di depan Bu Dina menjatuhkan pandangannya ke seluruh kelas, menatap satu persatu siswa yang terlihat mencurigakan dengan berbagai strategi mereka untuk mencontek.
Melihat hal itu Bu Dina hanya menyembunyikan senyumnya. Seahli apa pun anak muridnya mencari cara untuk mendapatkan jawaban dari teman yang lain, tentu saja tidak bisa mengelabui pengalamannya mengajar selama bertahun-tahun. Meski begitu Bu Dina diam saja, hanya mengamati tanpa menegur atau bisa saja merobek kertas ulangan anak-anak itu jika ia ingin. Baginya memberi nilai dengan usaha yang setimpal lebih baik, dibanding memarahi tanpa ada efek jera setelahnya. Memberikan nilai nol bagi yang mencontek, dan mengapresiasi nilai siswa yang dengan jujur mengerjakan tugas mereka seorang diri.
"Waktunya habis, silakan kumpulkan kertas kalian estafet ke depan."
Seruan kecewa terlontar setelah Bu Dina mengumumkan kalimat malapetaka itu—setidaknya bagi mereka yang tidak berhasil menyalin satu pun jawaban dari teman-teman terdekatnya. Meski begitu kertas penentuan itu harus tetap dikumpulkan bukan?
Sementara Sani menatap kertas jawabannya puas, Daru menoleh ke arahnya dengan tangan terulur, menunggu Sani menyerahkan kertas miliknya dan teman lain di belakang. "Ah, bentar," ucap Sani ketika sadar, memunggungi Daru lantas meminta kertas jawaban dari teman-teman yang duduk di belakangnya.
"Kayaknya lo tenang-tenang aja ya? Yakin sama jawabannya?" tanya Daru setelah menerima tumpukan kertas dari Sani.
"Kayaknya gitu, Ru. Selagi gue sibuk cari contekan, dia adem ayem aja ngerjain sendiri. Biasanya udah kayak ulet kepanasan kalo nggak bisa jawab soal-soalnya." Anggi yang menjawab, melirik Sani di sampingnya. "Tau gitu gue nyontek sama dia aja ya?" desah Anggi terlihat amat frustrasi.
Daru berbalik menyerahkan lembar jawaban di tangannya ke depan sejenak, sebelum kembali pada dua gadis itu.
"Salah sendiri, lo kan nggak pernah percaya kalo nyontek sama gue. Kata lo gue ini pengarang yang hebat, bahkan jawaban ulangan aja sampe gue karang sendiri."
"Memangnya nggak kayak gitu?" tanya Anggi sanksi.
Langit-langit kelas menjadi sasaran Sani merenungkan pertanyaan Anggi, "Yah meski kayak gitu sekalipun harusnya lo percaya sedikit kemampuan gue," ucap Sani berusaha membela diri.
"Terlalu riskan percayain nilai gue sama lo." Menepuk pundak Sani, Anggi berdiri meninggalkan kursinya. menghampiri Bu Dina untuk izin ke toilet sebentar.
"Kepercayaan diri lo yang satu itu boleh juga," tawa Daru menepuk puncak kepala Sani tanpa sadar, dan gadis itu hanya bisa menatapnya bingung.
***
"Nilai tertinggi untuk ulangan kali ini..." Bu Dina menggantung kalimatnya, menatap kelas lalu beralih pada lembar jawaban di tangannya saat ini.
Hari itu memang sudah seminggu berlalu sejak ulangan biologi tempo hari. Bertemu lagi dengan Bu Dina yang selalu mengumumkan nilai tertinggi di kelas sebagai apresiasinya. Seisi kelas hening menunggu, mengamati setiap gerak-gerik Bu Dina di depan kelas.
"Sani dan Daru, kerja kalian bagus," puji Bu Dina tulus.
Sorakan kaget yang pertama kali terdengar memenuhi ruang kelas, lantas disusul siulan bahkan tepukan yang entah dalam rangka apa. Sani sendiri terdiam di tempatnya, tidak menyangka bahwa namanya bisa disebut Bu Dina seperti itu.
Sani cukup tahu diri bahwa dirinya tidak pintar. Baginya ia hanya siswi biasa yang tidak sepopuler Finka, Dila atau pun Anggi. Nilai-nilainya selama ini pun biasa-biasa saja, rata-rata, meski ada beberapa yang di atas rata-rata tapi Sani juga tidak memungkiri bahwa dirinya lemah di beberapa mata pelajaran. Tapi hari itu, sungguh Sani tidak tahu apa Tuhan memang sedang berbaik hati padanya, hingga membuatnya bisa merasakan posisi istimewa itu.
Bagi kebanyakan orang, moment itu bisa jadi hal yang biasa saja, bahkan bukan sesuatu yang harus diingat di kemudian hari. Tapi bagi Sani yang tidak pernah menjadi pusat perhatian, membuat dirinya bangga walau hanya dalam lingkup kecil, entah bagaimana caranya memancing kepercayaan dirinya naik dan mengalami kemajuan. Celakanya kemajuan itu di kemudian hari tidak bisa Sani kontrol, hingga pada akhirnya melukai dirinya sendiri.
Sani juga tidak pernah tahu pasti. Hari itu, ketika namanya bersanding dengan Daru dalam kalimat yang keluar dari mulut Bu Dina, dan riuh suara teman-teman sekelasnya yang menggoda, menjadi awal perubahan 180° atas sikapnya, cara berpikirnya, juga... perasaannya pada Daru. Sani tidak tahu pasti, apa benar semuanya berubah hanya karena hal itu. Hal paling konyol yang pernah ia lalui hingga membawanya pada perasaan yang tidak bisa ia lupakan meski sudah tergerus waktu. Sepuluh tahun, jelas bukan waktu yang sebentar untuk melupakan seseorang yang mampir dalam hidupmu hanya seujung kuku.