Gemericik air di sungai belakang rumah menemani Anggana yang sedang bersimpuh di hadapan ibunya. Anggana mengenakan pakaian beskap berwarna hitam lengkap dengan beberapa atribut pernikahan yang sakral. Pagi ini Anggana akan melangsungkan pernikahan sesuai dengan rencana. Setelah beberapa persiapan yang tidak terlalu memusingkan dan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya, akhirnya status Anggana sekarang akan berubah, menjadi seorang suami.
Sebenarnya, bagi Anggana yang terpenting hanyalah anak, bukan statusnya. Tetapi menikah adalah syarat yang di berikan Pramesti kepadanya. Wanita itu berkehendak mendapatkan anak dari proses yang semestinya.
“Gana meminta izin kepada Ibu untuk menikah.” Anggana bersimpuh di dalam pangkuan ibunya, kedua tangannya berada di sana dengan kepala yang menunduk hormat.
Salah satu tangan Denayu menggenggam tangan anak semata wayangnya, satu-satunya keluarga dan penerus tahta kekuasaan Wisnukancana. Sedangkan tangan lainnya ia gunakan untuk mengelus kepala putranya yang sudah menganjak dewasa. Denayu bersyukur, mendapatkan Pramesti sebagai pendamping Anggana. Pramesti adalah sosok yang berani tetapi juga mengabdi dan takut kepada bagian kerajaan. Denayu yakin, Anggana akan semakin kuat berada di sisi Pramesti.
“Ibu mengizinkanmu, jadilah suami dan ayahanda yang baik untuk anakmu kelak,” ucap Denayu dengan lembut. “Doa ibu selalu menyertaimu dimana pun kamu berada, Gana.” Isakan jelas terdengar di sela-sela kalimat ibundanya.
Menyetujui Anggana menikah, lalu mengorbankan nyawa Anggana untuk berjuang mendapatkan kehidupan yang seharusnya, hal yang tentu berat di terima Denayu. Sama seperti saat dia merelakan suaminya yang dulu pergi berjuang untuk hidup, meninggalkan Denayu dan Anggana tepat di usia dua puluh delapan tahun.
“Ibu tahu Anggana adalah anak yang hebat, pulanglah, kembali berkumpul bersama ibu dan melihat ibu hingga menua nanti,” pinta Denayu.
“Bu ... Anggana baru minta izin untuk menikah, bukan minta izin untuk pergi ke Norwegia.”
Denayu tersenyum, lucu. Anggana memang baru saja meminta izin untuk menikah, tetapi perasaan gejolak takut kehilangan sudah mendominasi Denayu setiap harinya. Dia hanya berpura-pura tegar, padahal hatinya mencelos mengingat kepergian anaknya dalam beberapa hari ke depan.
Denayu mengangguk dengan senyum dan tangis yang tertahan. “Ibu sayang sama Gana.”
“Anggana juga sangat sayang sama Ibu.”
Tepat di pukul sepuluh pagi, prosesi akad nikah dilaksanakan. Dengan lantang Anggana mengucapkan ijab qabul dengan jelas, tegas dan lugas.
“SAH.”
“SAAAHH ..,” jawab para saksi dan beberapa Abdi yang berada di sana.
Pramesti mencium punggung tangan suaminya dengan hormat. Beberapa kamera mengabadikan moment sakral dan makna akan syarat pagi ini.
“Kapan kita berangkat ke Norwegia, Gan?” tanya Bima.
Baru beberapa hari yang lalu Bima menerima penawaran Anggana untuk ikut ke Norwegia. Cukup alot, karena dia harus meninggalkan studi dan keluarganya di Indonesia. Tetapi demi membantu Anggana, dan rasa penasarannya, Bima menerima tawaran Gana. Itu semua tidak gratis, tenang saja! Anggana membayar setiap bulan kepada Bima dalam bentuk gaji. Anggana tahu, Bima adalah tulang punggung keluarga, karena di samping sekolah Bima juga melakukan beberapa pekerjaan sampingan untuk mendapatkan uang demi mencukupi kebutuhan keluarganya. Bima adalah seorang anak yatim, jadi dia bertanggung jawab kepada hidup ibu dan adik perempuan satu-satunya.
“Belum jelas, mungkin satu minggu lagi.”
“Oh, mau puas-puasin sikidipapap dulu, ya?” goda Bima.
Anggana memukul pelan lengan Bima, tetapi cukup berefek di tubuh Bima karena hanpir saja gelas yang di pegangnya tumpah.
“Kamu jangan ngawur gitu, to!” hardik Bima. “Hampir saja aku menjatuhkan gelas.”
“Kamu-nya aja yang lemes, letoy,” jawab Anggana melawan.
“Ciee ... cieee ... sekarang bahasanya letoy, lemes, hot.” Candaan Bima tak lagi mendapatkan perhatian Gana. Laki-laki itu menerawang melihat istrinya yang kini sedang bercengkerama dengan ibunya.
“Aku akan membawa Pramesti ke Norwegia,” jelas Anggana yang mendapatkan tanda tanya besar di kepala Bima.
“Serius? Kenapa?”
“Aku harus memastikan dia hamil sebelum benar-benar masuk ke dalam alat yang bisa membunuhku.”
“Oh, iya juga sih. Kaya gitu nggak bisa langsung jadi, butuh di ulang-ulang,” ucap Bima tanpa ada nada jenaka. Dia serius, memang itu harus diulang-ulang, bukan? Agar memastikan Pramesti hamil.
Anggana mengangguk.
“Kalau dia sudah hamil? Bagaimana?”
“Terserah Pramesti, dia mau tinggal di Norwegia sampai anak itu lahir atau pulang lalu melahirkan di Indonesia.”
“Sebegitu berartinya sperhma mu, Gan. Apa perlu di buatkan frozen aawww ... aww .. jangan nyubit sakit lho.” Bima mengusap-usap lengannya yang memerah karena baru saja mendapatkan cubitan cukup keras dan kecil.
“Kamu yang di pikir cuma masalah selangkhangan.”
“Namanya juga laki-laki, aku yakin kamu juga deg-deg-an menunggu nanti malam.”
“Sok tahu!” ucap Anggana tidak terima.
--
Cekreekk
Bunyi pintu kamar mandi di dalam kamar terbuka. Anggana keluar dengan hanya berbalut handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Laki-laki itu melangkah mendekat ke ranjang, matanya memperhatikan Pramesti yang duduk dengan malu-malu di ranjang miliknya.
Tangan Pramesti saling menaut tanda cemas. Wanita itu mengenakan lingerhiee tipis berwarna dusty, dengan tali spagheti yang menggantung. Melihat dari bentuk tubuh Pramesti, Anggana yakin bahwa wanita itu tidak mengenakan apapun di balik bajunya.
Anggana menelan ludahnya berkali-kali, hingga jakunnya naik turun karena merasa ada sesuatu yang besar yang ingin dia lepaskan segera.
“Kamu siap?”
“Siap?” tanya Pramesti yang mendapatkan anggukan kepala Anggana. “Siap untuk apa? Memang kita mau bertempur?”
Sontak Anggana tertawa, kedua tangannya berada di pinggang dengan mata yang tak lepas dari tubuh istrinya. Pramesti yang ditatap dengan pandangan berkabut dari Anggana merasa malu, lalu menundukan pandangannya.
Anggana ikut menaiki ranjangnya, mendekat ke arah Pramesti lalu memegang ujung dagu wanita itu. Tangan Anggana menaikkan dagu Pramesti untuk menatapnya.
“Mulai saat ini aku adalah suamimu, kamu boleh menatapku, kamu bukan lagi anak seorang Abdi tetapi kamu adalah istri Paduka dan calon ibunda penerus tahta dan keturunan Wisnukancana.”
“I ... i-ya, Paduka.”
Anggana tersenyum, kali ini tangannya ia letakkan di kedua sisi Pramesti untuk mengukung wanita itu.
“Tatap aku,” titah Anggana.
Pramesti melakukan sesuai dengan yang diperintahkan Anggana. Mata wanita itu tepat menelisik ke arah Anggana. Pramesti menemukan pandangan Anggana yang berbeda dari pandangan Anggana biasanya. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya, lalu menempelkan bibir mereka berdua.
Tidak seperti pertemuan bibir pertama mereka, Pramesti saat ini hanya diam menerima apa yang dilakukan Anggana kepadanya.
Bibir Anggana mulai bergerak, awalnya perlahan lalu semakin menuntut. Anggana menggigit pelan hingga Pramesti mendesah, hal yang di manfaatkan Anggana untuk menerobos masuk semakin dalam, mencari kehangatan.
“Paduka ...”
“Panggil nama.”
“Ang ... Ang-gana,” ucap Pramesti ragu-ragu.
Tangan Anggana mulai bergerak, bergerilya menyusuri bagian tubuh Pramesti yang masih terbalut lingerhie. Mulai dari paha, tangan Anggana semakin ke atas hingga berhenti di tali spageti gaun milik Pramesti. Anggana menurunkan tali itu pelan-pelan hingga jatuh di bagian pinggang Pramesti. Seperti dugaan Anggana, wanita itu tak menggunakan apa-apa di balik baju tipisnya.
Anggana menatap dua benda itu dengan berkabut, tak menunggu waktu yang lama Anggana langsung mendekatkan bibirnya untuk menyelimuti gundukan dan bagian kecil yang berada di atasnya.
“Aahhh ...,” desah Pramesti. Serangan tiba-tiba tanpa aba-aba semakin memacu jantung Pramesti untuk bergerak semakin cepat.
“Heemm.. aku ingin kamu mendesahkan namaku.”
“Aahh ... Gana” desah Pramesti dengan mata yang terpejam dan wajah yang menengadah.
Desahan Pramesti semakin memacu Anggana untuk bergerak lebih. Laki-laki itu mendorong tubuh istrinya hingga telentang lalu melepaskan handuk yang membelit tubuhnya.
Aku sudah tidak tahan,” ucap Anggana dengan suara serak tertahan.
Pramesti hanya mengangguk pasrah saat suaminya membuka lebar kedua kakinya. Anggana membelai bagian tubuh itu, lalu dengan perlahan mencoba mulai membuka akses masuk. Merasa cukup, dalam satu hentakan Anggana memasukkan bagian tubuhnya yang berkedut. Tak mau bersabar, laki-laki itu langsung bergerak dengan ritme yang kasar dan cepat.
“Aaahh ... pelan-pelaan, Gana.”
“Aku tidak bisa pelan ... hah ... tidak bisa!”
Anggana bergerak semakin tak menentu. Tubuh Pramesti seperti guling yang dia bolak-balik sesuka hatinya. Sedangkan Pramesti? Wanita itu hanya bisa pasrah menuruti keinginan suaminya. Dia sudah ditakdirkan untuk melayani Paduka Raja.