"Ngapain sih duduk di depan jendela? Masuk angin baru tau rasa!"
Aluna bergeming, abai dengan suara seseorang wanita yang terdengar dari belakang tubuhnya. Meski tak lagi menangis, ia masih belum ingin beranjak atau pun bergerak.
"Luna ... aku jauh-jauh datang ke sini. Tapi malah kamu cuekin," rungut wanita yang baru datang beberapa saat yang lalu.
Aluna akhirnya berbalik. Mata sembab menatap wanita yang merupakan temannya itu.
"Ya Tuhan ... coba kamu berkaca. Kamu sekarang mirip panda," pekik wanita itu dengan gaya berlebihan. "Kamu harus banyak istirahat, Luna. Katanya kamu udah memutuskan untuk membantu anak itu. Ya, kamu berarti harus bertanggung jawab dong dengan keputusan kamu. Tanggung jawab kamu adalah memberikan asik yang berkualitas. Kalau kamunya kayak gini, ya ... gimana, ya," celotehnya kemudian.
"Pasti ibu yang cerita sama kamu," komentar Aluna.
"Iya lah. Kamu kan gak cerita apa-apa sama aku," angguk sang wanita.
"Eh, kata ibu cowoknya ganteng, ya? Mau dong dikenalin. Sapa tahu kan jodoh. Gak apa-apa lah udah punya anak juga."
Aluna mendelik. ''Apa sih, Diva? Kamu ini gak bisa dengar ada orang ganteng, minta dikenalin mulu."
"Jadi bener, ya, dia ganteng?" tanya Diva dengan antusias.
"Biasa aja. Gak lebih ganteng dari Mas Ardi," jawab Aluna. Kembali teringat pada suami yang telah tiada. Hatinya masih tertinggal dalam kehampaan.
Rasa sepi masih begitu terasa, menghantui setiap langkah. Entahlah, apakah ia akan menemukan kedamaian seperti yang ia rasakan saat bersama pria yang hampir tiga tahun bersama.
Rasanya tak akan ada yang bisa menggantikan tempat suami dan anak dalam hati. Dihelanya napas panjang. Kepergian dua orang itu telah meninggalkan luka yang tak entah akan sembuh atau tidak.
Yang jelas, Aluna merasa terjebak dalam waktu yang terus berjalan, tetapi ia sendiri masih terhenti pada kenangan dan rasa kehilangan yang teramat dalam.
Diva yang awalnya ingin menghibur dan membuat sang teman lupakan kesedihan, menggaruk kepala yang tidak gatal. Tak tahu lagi harus berkata apa, ia memilih memeluk tubuh temannya dari belakang. Tubuh yang tampak lebih kurus dari saat terakhir mereka bertemu. Mungkin Aluna hanya butuh menuntaskan rasa sedih tanpa harus menghalaunya.
"Kalau mau nangis, nangis aja. Tapi abis itu jangan nangis lagi. Kami semua sedih saat melihat kamu sedih. Kami semua sayang sama kamu, Luna."
Aluna melepaskan tangan sang teman yang masih memerluk lalu berbalik. "Ada apa kamu ke sini?"
"Ya mau ketemu kamu.. Memangnya mau apa lagi?"
"Cuma itu?"
"Enggak sih," cengir Diva, "aku butuh bantuan kamu buat ngurusin toko kue aku. Kamu kan tau aku baru buka cabang. Kamu bisa bantu 'kan?"
Aluna menatap sesaat. "Aku gak apa-apa." Tahu bahwa itu hanya alasan sang teman agar ia tidak berlarut dalam kesedihan.
"Kamu mau di rumah terus? Nanti malah kepikiran ini itu. Mending kamu bantu aku. Kamu kan suka masak."
"Aku belum tertarik sekarang," jawab Aluna lalu menghela napas panjang. "Kamu gak usah khawatir. Aku baik-baik aja."
"Siapa yang gak khawatir? Badan kamu aja jadi tambah lurus. Ibu bilang kamu makan cuma dikit padahal kamu lagi ngasih ASI loh, Lun."
"Aku gak apa-apa, Diva." Aluna bersikukuh, merasa dirinya baik-baik saja. "Aku cuma butuh waktu untuk menerima semuanya."
Gadis cantik bernama Radhiva tersebut menghela napas panjang sembari menatap temannya yang keras kepala.
Ponsel milik Aluna berbunyi singkat. Dengan malas ia beranjak menuju nakas yang ada di samping tempat tidur. Mengambil benda pipin itu dan membuka pesan yang baru saja ia terima.
"Pak Adam? Siapa tuh?"
Aluna terperanjat saat suara temannya tiba-tiba terdengar dari belakang. Mengira wanita itu masih duduk di sofa. "Diva ... bisa gak sih kamu jangan suka kepo?"
"Gak bisa. Kepo itu udah bawaan dari lahir," jawab Diva.
Aluna hanya memutar bola mata malas mendengar jawaban sang teman yang bukan hanya sekali atau dua kali ia dengar.
"Dia kirim video apa, Luna?" Diva bertanya lagi. "Kasih tau dong. Adam itu siapa sih?" Mengulang pertanyaan sebelumnya yang belum terjawab.
"Kamu kepo deh!" Aluna menjauhkan diri dari teman yang memiliki rasa ingin tahu berlebih.
"Apa dia cowok yang anaknya kamu kasih ASI itu?" Diva tetap bertanya meski temannya menghindar.
"Bukan."
"Terus? Siapa dong? Ayo dong, Luna ... kasih tau aku," rengek Diva dengan wajah memelas.
"Dia asistennya."
"Asisten cowok yang punya anak itu?" Diva ingin memastikan.
"Iya." Aluna mengangguk.
"Oh. Terus itu dia kirimim kamu video apa?"
"Mana aku tau, Diva. Aku aja belum lihat. Kamu ganggu terus," sahut Aluna. Kembali duduk di kursi dan membuka video yang baru saja dikirim oleh Adam. Ia pun penasaran.