Dengan wajah sumringah dan senyum lebar menghiasi, Adam mencium kunci mobil yang ada di tangannya. "Baru tahu ternyata mendapat mobil mewah itu semudah ini," ujarnya sembari melirik penuh kemenangan pada sang atasan.
Ervan mendelik sebal karena mau tidak mau harus merelakan mobil kesayangan. "Kamu pasti pakai ilmu hipnotis 'kan? Makanya Aluna tiba-tiba saja mau. Padahal udah jelas-jelas dia tadi nolak Padahal udah saya tawarin uang."
Adam tertawa. "Sudah saya bilang, Pak. Tak selamanya uang bisa membuat kita mendapat apa yang diinginkan. Lagi pula, cara apa pun yang saya lakukan, yang penting saya berhasil membuat Bu Aluna bersedia menjadi donor ASI dan sebagai gantinya mobil ini jadi milik saya sekarang."
"Saya yakin kamu pasti udah hipnotis dia. Makanya dia kasih ini," ujar Ervan yang menjinjing sesuatu di tangan.
Beberapa saat yang lalu.
"Gimana?" tanya Ervan saat Adam kembali ke kursi setelah bicara cukup lama dengan Aluna. Ia saja sampai tidak sabar sekaligus penasaran.
Adam hanya mengangkat bahu acuh tak acuh tanpa mengatakan apa-apa. Jelas hal itu membuat Ervan kesal. Tetapi niat untuk mengomel urung saat menyadari Aluna kembali.
Wanita itu meletakkan sebuah tempat di atas meja. "Kalau stoknya sudah menipis, kabari saya. Nanti saya siapkan dan Anda bisa ambil,'' ujarnya.
"Apa ini?" tanya Ervan, ambigu.
"Ini ASI, Pak. Bukannya kita datang ke sini untuk ini?" sambar Adam.
Ervan diam sejenak. Mencerna semua. "Ma-maksudnya ... Anda setuju menjadi donor ASI untuk anak saya?" tanyanya, ingin memastikan.
Aluna mengangguk. "Saya akan siapkan ASI perah dan Anda bisa mengambilnya saat perlu."
Ervan menatap ke arah Adam yang mengangguk samar seakan bertanya melalui tatapan mata.
Ervan tersenyum senang sekaligus sedih. Di satu sisi tentu ia senang karena Sagara tidak akan kelaparan. Tetapi di sisi lain, itu berarti ia harus merelakan mobil kesayangan.
"Terima kasih,'' ucapnya kemudian. Biar bagaimanapun Sagara adalah segalanya. Apa pun akan ia lakukan. Lagi pula ia memiliki lebih dari satu mobil. Salah satunya berada di bengkel setelah mengalami kerusakan tempo hari.
Aluna hanya mengangguk. Raut wajahnya datar. Jika bukan karena Adam yang membujuk, ia enggan. Apalagi ia tidak suka pada Ervan—pria yang menurutnya arogan dan menyebalkan.
"Boleh saya minta nomor telpon Anda?" tanya Ervan.
"Untuk apa?" Aluna bertanya balik.
"Bukankah tadi Anda yang meminta saya menghubungi jika stock ASI menipis?"
"Bisa lewat Pak Adam," sahut Aluna.
Ervan menoleh ke arah sang asisten yang menganggukkan kepala.
"Baiklah. Sekali lagi terima kasih," ucap Ervan, lega meski ia harus kehilangan mobil kesayangan.
"Mari! Saya antar Bapak pulang pakai mobil baru saya."
Ucapan Adam membuat Ervan kembali dari mengingat kejadian beberapa saat yang lalu. Diliriknya pria yang tengah cengar-cengir bahagia tersebut. "Songong!"
"Iya, dong, Pak. Saya punya mobil yang Bapak tidak punya sekarang," cengir Adam.
Ervan hanya derdecih. Sepertinya ia salah memilih asisten. Beranjak dan memasuki mobil yang kini bukan lagi miliknya. Duduk di kursi samping kemudi.
Tak lama kendaraan roda empat itu melaju meninggalkan kediaman orangtua Aluna.
"Ibu senang kamu akhirnya mau membantu anak itu, Sayang."
"Astaghfirullah, Bu ... bikin kaget aja." Aluna terperanjat saat ibunya menepuk pundak.
Nina terkekeh. "Kamu yang melamun." Duduk di samping putrinya.
Aluna menghela napas panjang. "Aku cuma kasian waktu tau kalau anak yang namanya Sagara itu ditinggalkan ibunya. Lucu, ya, Bu?! Di sini aku nangis karena kehilangan anak. Di sana justru ada anak yang nangis karena ditinggal ibunya."
"Ibunya meninggal?"
Aluna mengernyit kemudian menggeleng. "Aku gak tau, Bu. Pak Adam cuma bilang ibunya pergi. Gak bilang pergi seperti apa yang dia maksud."
"Oh. Tapi apa pun itu, ibu senang, Sayang. Setidaknya ASI kamu bermanfaat untuk anak lain." Nina melihat putrinya tampak lebih tegar setelah memutuskan untuk membantu pria yang mendatangi mereka setelah pemakaman.
Aluna tersenyum. "Iya, Bu. Aku cuma sebel sama ayahnya. Dia itu nyebelin, Bu. Gak sopan. Sok kaya."
"Mungkin dia panik dan khawatir anaknya kelaparan kalau kamu enggak bantu dia. 'Kan katanya kemarin bayi itu nggak mau minum sussu formula."
"Ah, emang dasar dianya aja yang tengil. Waktu di rumah sakit juga dia bicara gak sopan ke aku." Aluna tetap pada pendapatnya.
"Ya sudah. Kalau Kamu memang nggak suka sama ayahnya abaikan aja. Yang penting niat kamu tulus buat bantu anaknya."
Aluna mengangguk.
Sementara di tempat lain, "Sepertinya Bapak punya tamu," ujar Adam saat mobil yang ia kendarai sudah berhenti di depan rumah orang tua Ervan.
"Maksud kamu apa?" Ervan bertanya, sama sekali tidak mengerti maksud dari ucapan asistennya tersebut.
"Di sana!" tunjuk Adam dengan dagunya.
Ervan melihat ke arah yang ditunjuk oleh pria muda di sampingnya. "Mau apa dia di sini? Bukannya dia pergi dengan kekasihnya?"