4~ Pria Arogan

765 Words
Ervan mencoba mondar-mandir sambil menempelkan telepon ke telinga, sedang memanggil seseorang. Tetapi tidak dijawab. Sekali lagi mencoba dan hasilnya tetap sama. "ARGH ...!" Pria itu mengerang kesal. Tangan terangkat berniat melempar ponsel ke lantai, tetapi urung. Banyak data penting pada benda pipih tersebut. "AKH!" Pada akhirnya ia hanya memukul angin. Ervan duduk di sofa sambil memijat kepalanya yang berdenyut hingga akhirnya teringat sesuatu. "Aluna. Aku harus membuat dia mau menerima tawaranku. Tapi gimana caranya?" Ervan kemudian membuka ponsel. Mencari tahu apa saja tentang wanita itu. Tetapi tak banyak yang ia dapatkan. "Sayang!" Panggilan disertai ketukan di pintu membuat Ervan menoleh. Beranjak kemudian. "Iya, Ma?" Membuka pintu, ibunya sedang berdiri di sana. "Kamu gak kerja?" tanya Yeni. Putranya itu masih memakai piyama tidur. Ervan mengalihkan tatapan para jam yang menempel di dinding. ''Ini mau siap-siap." "Ya sudah. Papa udah nunggu kamu di meja makan." "Iya, Ma." Ervan menutup pintu setelah ibunya berlalu. Gegas bersiap pergi ke kantor. Sebelum keluar dari kamar, ia menghampiri tempat tidur bayi. "Ade di rumah dulu sama oma, ya ... papa mau kerja dulu." mengecup kening bayinya yang masih tidur kemudian berlalu. *** "Apa wanita itu ada menghubungi kami?" tanya Ervan saat bertemu dengan asistennya di lobby. "Wanita yang mana? Bu Olivia?" Adam bertanya balik. "Bukan. Aluna." "Oh. Tidak ada. Saya memberikan kartu nama Bapak kemarin. Seharusnya dia menghubungi Bapak seandainya menerima tawaran kita," jawab Adam. Ervan menatap sekilas. "Kalau trik menyentuh hati yang kamu lalukan itu sia-sia, saya akan ambil jalan menyentuh rekening. Biarpun dia gak kelihatan butuh uang, tapi siapa sih yang akan menolak kalau dikasih uang. Apalagi banyak," sindirnya kemudian. "Oke. Kita tunggu sampai batas waktu yang Bu Aluna tentukan. Kalau tidak ada menghubungi juga, saya ikut saja cara Bapak." Adam mengangguk setuju. Kedua pria itu berdiri sesaat, menunggu lift yang akan membawa mereka ke lantai paling atas di gedung bertingkat tersebut. "Apa Bapak punya kandidat lain jika Bu Aluna menolak?" tanya Adam. Ervan menggeleng. "Bapak tidak minta bantuan pada Dokter Damar? Beliau dokter anak. Saya rasa Beliau memiliki kenalan. Setidaknya orang tua pasien yang mungkin aja bisa bantu." Ervan mengangguk. "Nanti saya coba sebagai opsi.. Tapi saya tetap mau Aluna." "Kenapa?" "Saya bukan cuma buruh ASI, tapi juga butuh sosoknya." "Maksud Bapak ... pengasuh?" "Iya. Dia orang yang paling tepat. Tidak ada suami atau anak. Dia bisa mengurus Sagara dengan fokus." "Itu kalau Beliau bersedia. Jadi ibu susv saja belum tentu mau. Apalagi merangkap jadi ibu asuh," sindir Adam. "Kita lihat. Nanti kamu akan menyaksikan sendiri kekuatan uang yang sebenarnya," sahut Ervan dengan percaya diri. Tersenyum menyeringai, yakin urusan Aluna akan selesai dengan uang yang akan ia tawarkan. *** "Saya tidak bisa!" tolak Aluna dengan tegas saat Ervan dengan angkuhnya menyodorkan cek kosong dan sebagai gantinya ia harus menjadi pengasuh juga ibu susv. Sejak awal, is tidak suka pada pria itu, selain mesvm, terkesan suka memaksakan kehendak. Tampak seperti tipe orang yang harus mendapatkan apa pun yang diinginkan dengan berbagai cara. Terbukti dari cara pria itu bicara saat pertama datang tadi. "Saya tidak punya waktu untuk basa basi. Saya datang ke sini untuk menawarkan kesepakatan. Silakan isi cek ini dengan nominal yang Anda inginkan, berapa pun. Sebagai gantinya, saya ingin Anda menjadi ibu susv juga ibu asuh untuk anak saya." Begitu yang Ervan katakan dan membuat Aluna yang awal sudah memutuskan ingin membantu setelah seharian menimbang, akhirnya mengurungkan niat. Malas berurusan dengan pria arogan seperti itu. Adam mengulum senyum. "Kekuatan uang tidak berlaku di sini, Pak," bisiknya, mencibir. Tidak habis pikir dengan atasannya itu. Apa sesulit itu bicara dengan baik? Apa salahnya merendahkan hati untuk mendapatkan hati? "Maaf, Bu Aluna, bisa kita bicara?" "Silakan." Aluna mengangguk. Ia lebihan suka bicara dengan Adam yang lebih sopan dan memiliki Adab, tidak angkuh seperti Ervan. "Bicara Berdua jika bisa." Aluna mengangguk. "Mari ikut saya!" ajaknya sambil melangkah menuju depan rumah. "Bapak tunggu di sini sebelum," ujar Adam pada atasannya. Ervan menatap sebal melihat raut wajah tengil penuh ejekan itu. "Gak usah sok. Saya aja yang mau kasih uang banyak, ditolak sama dia." "Itu Anda, saya belum tentu." "Gak usah sok. Kalau kamu berhasil menjadikan dia donor ASI, mobil saya buat kamu," ujar Ervan dengan nada penuh ejekan. "Deal!" Adam tersenyum lebar. Kemudian berlalu menyusul Aluna, meninggalkan atasannya sendirian di ruang tamu kediaman orang tua Aluna. "Cih! Pede banget dia. Mana mungkin dia bakal berhasil. Lihat aja tuh, muka Aluna aja ngeselin kayak gitu. Pasti ditolak juga dia. Mimpi kamu, mau mobilku," gumam Ervan sambi menatap dari jauh Aluna dan Adam yang sedang berbincang. Jika memang kali ini gagal, sepertinya Damar menjadi solusi selanjutnya. "Semoga aja Mas Damar bisa bantu aku," gumamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD