2~ Bertemu Lagi

744 Words
"Alhamdulillah. Akhirnya kamu bangun juga, Sayang." Aluna menoleh ke arah di mana suara seorang wanita terdengar. "Aku di mana, Bu?" Bingung. Yang ia ingat tadi sedang berada di ruang tamu bersama jenazah anak dan suami. "Kamu di kamar, Sayang. Tadi kamu pingsan. Ayah yang bawa kamu ke sini," jawab Nita, ibunda Aluna. Aluna ingat, tadi tiba-tiba saja kepalanya pusing dan pandangannya perlahan menjadi kabur sebelum semua tampak gelap. "Kamu mau ke mana?" tanya Nina sambil menahan bahu putrinya yang hendak bangkit. "Aku mau ikut ke pemakaman, Bu." "Kamu istirahat saja, Sayang. "Aku gak apa-apa, Bu. Aku mau ikut." Aluna menatap dalam netra sang ibu. Nina menghela napas panjang. Mengizinkan putrinya untuk ikut ke pemakaman meski ia khawatir. Biar bagaimanapun Aluna berhak mengantar anak dan suaminya ke peristirahatan terakhir. *** "Sabar, ya, Al." Aluna tersenyum yang dipaksa. "Makasih, Bang Shaka sama Mas Damar udah memenin sampai sini." "Udah seharusnya. Kamu ini udah seperti adik buat aku, Al. Nanti aku coba cari tahu orang yang menyebabkan anak dan suami kamu meninggalkan. Kalau ada CCTV di dekat tempat kejadian, seharusnya bisa dilihat,'' ujar Shaka. "Makasih, Bang." Shaka mengangguk. "Ya sudah, aku pamit dulu. Nanti aku ditinggal Damar kalau kelamaan. Aku gak bawa mobil. Kamu tau sendiri kalau dia sila usil." Aluna tersenyum kecil. "Ingat, kamu jangan sendirian, Al." "Iya, Bang." Aluna mengangguk. "Sekali lagi makasih." Shaka mengangguk kemudian berlalu. "Tan, aku pulang duluan. Aluna jangan dibiarkan sendirian, Tan." "Iya, Nak Shaka. Makasih, ya, udah datang dan nganterin Ardi dan Nayla untuk trakhir kalinya," sahut Nina. "Sama-sama, Tan. Aluna udah seperti adik bagi saya." Shaka mengangguk. "Pamit, ya, Tan." Nina mengangguk. "Hati-hati. Salam buat orang rumah." "Iya, Tan. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Shaka berlalu menuju mobil Damar yang menunggu diparkiran pemakaman. Kendaraan roda empat itu pun melaju meninggalkan tempat tersebut. Beberapa menit kemudian, mobil berwarna hitam memasuki area pemakaman dan parkir di tempat yang tadi Damar gunakan. "Bapak yakin mau bicara sekarang? Saya rasa waktunya kurang tepat. Beliau masih berkabung," ujar salah seorang dari dua pria yang ada di dalam mobil itu. Ia duduk di kursi kemudi. "Memangnya kamu punya pilihan lain?" Pria lain balas bertanya. "Tapi setidaknya bicara di tempat lain. Bicara di pemakaman seperti ini rasanya tidak tepat." "Saya tidak bisa membiarkan kondisi Sagara semakin burruk. Kamu tunggu aja di sini." Sang pria yang duduk di kursi samping kemudi membuka sabuk keselamatan, lalu turun dari mobil saat melihat orang yang ia cari. "Pak Ervan! Tunggu, Pak!" Adam segera melepaskan sabuk yang masih melilit di tubuh. "Bisa berabe kalau Pak Ervan yang bicara. Dia itu terlalu kaku kalau di luar urusan pekerjaan.'' Gegas menyusul. Sementara Ervan, "Tunggu!" serunya saat orang yang ia tuju semakin menjauh. Beruntung orang itu berbalik dan sudi mrn "Kamu kenal dia, Al?" tanya Nina yang menemani putrinya berada lebih lama di pemakaman setelah orang-orang pulang. Aluna menajamkan indra penglihatan sambil mengingat. "Cowok messum itu. Ngapain dia di sini?" gumamnya kemudian saat mengingat siapa pria yang sedang melangkah ke arahnya. "Selamat sore," sapa Ervan saat sudah berhadapan dengan wanita yang pernah menamparnya. "Selamat sore." Nina yang menjawab. "Perkenalkan saya Ervan," ujar pria itu memperkenalkan diri terlebih dahulu agar tidak mendapat tamparan seperti tadi. "Bisa saya bicara sebentar dengan Aluna?" Sang pemilik nama mengernyit. Dari mana pria itu tahu namanya. Tidak mungkin hanya kebetulan menebak. Apa jangan-jangan orang itu penguntit. "Aluna!" "Iya, Bu?" Aluna yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, galagapan. "Nak Ervan katanya mau bicara sama kamu," ujar Nina, "ibu tunggu di mobil." "Enggak!" Aluna menahan tangan sang ibu. "Ibu di sini aja." Lalu mengalihkan tatapan pada pria di depannya. "Saya gak kenal Anda, kalau mau bicara, silakan. Tapi ibu saya tetap di sini!" "Tidak masalah," sahut Ervan bersiap untuk menyampaikan maksudnya. "Maaf, Pak. Biar saya saja yang bicara." Adam yang sejak tadi berada di sana, segera bicara sebelum atasannya itu mengeluarkan suara. Evan menatap pria itu untuk beberapa saat kemudian mengangguk samar. Adam maju satu langkah. "Maaf sebelumnya, perkenalkan saya Adam, asisten dari Pak Ervan. Jika ibu berkenan dan memiliki waktu, bagaimana jika bicara di sama agar lebih nyaman?" ucapannya dengan sopan. Ervan memejamkan mata dengan kesal karena menurutnya sang asisten membuang waktu dengan hal itu. Lebih cepat bicara, itu lebih baik. Tetapi meski begitu ia memilih untuk diam dan menyerahkan semua pada asistennya "Bagaimana, Bu?" Adam bertanya lagi. Aluna masih menimbang. Ia sendiri tidak tahu apa tujuan kedua pria itu hingga mengajaknya bicara dan tampaknya ada hal yang cukup serius. "Gimana, Sayang? Mau bicara dengan Bapak-bapak ini sekarang atau kita pulang saja?" tanya Nina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD