Zia sudah mati. Zia sudah mati. Zia sudah mati .... Kalimat itu terus terngiang di telingaku hingga pagi menyapa, hampir semalaman rasanya sulit memejamkan mata. Sementara Tuan Liem, tampak pulas di balik selimutnya. Kami berdua tidur di dalam tenda, aku benar-benar tidak bisa tidur bersamanya di sini. Aku tak biasa tidur bersama dengan lelaki dalam satu ruangan. Aku pikir, jika kami harus tinggal bersama, memang sebaiknya menikah adalah yang terbaik. Kutatap wajah tampannya, dia tidur sangat damai seperti bayi yang pulas karena kekenyangan. Dia begitu sempurna di mataku, tampan, kaya, baik hati, dan bertanggung jawab. Benar-benar lelaki idaman. Seketika aku hanyut dalam buaian kekaguman akan dirinya, lalu bayangan-bayangan Zia terus menggangguku. Aku menarik napas panjang, kemudian

