Schedule yang Padat

1277 Words
Jika berada di rumahnya sendiri, Raka tidak akan pernah segan berada di kamar dengan lama dan tenggelam dalam kesibukannya sendiri. Namun, berada di rumah Karin membuat Raka membawa semua tugas yang harus dia selesaikan di ruang keluarga bersama dengan adik-adiknya yang juga mengerjakan tugas. Raka menghidupkan laptop dan memasang earphone ke telinganya. Dia mendengarkan lagu yang harus dia persiapkan untuk ujian praktik yang akan dia lakukan dua minggu lagi. Memang ada beberapa remidi yang diberikan gurunya, tapi beruntung Raka tidak masuk dalam list yang harus sibuk dengan remidinya. Gantinya adalah dia sibuk dengan persiapan praktik yang memang bukan passion-nya sama sekali. “Kakak, HPnya bunyi!” Ana mendorong pelan lengan Raka membuat pria itu menoleh ke arah adiknya. Ana menunjuk HP Raka yang berdering tanda panggilan masuk. “Siapa?” tanya Ana. “Welly. Teman Kakak,” kata Raka yang langsung mengangkat panggilan itu. “Halo, Ka. Kamu di mana?” tanya Welly dari ujung sana. “Rumah Yangti. Kenapa, Wel?” balas Raka yang menyandarkan punggungnya ke sofa. Raka melirik ke kanan dan kirinya yang langsung ditempeli oleh dua gadis berbeda usia. Raka menghela napas melihat tingkah Lani dan Ana yang tidak jauh berbeda. “Kamu bisa editing enggak? Drama besok kita pakai backsound biar lebih menonjol gitu. Kamu tahu, banyak yang enggak begitu menonjol di pronounce, jadi bisa kita siasati dengan menampilkan pertunjukan yang menarik dan beda dari yang lain. Aku masih sibuk kerjakan remidi matematika, Ka. Besok aku bantu, aku ke rumah kamu deh,” kata Welly. “Gampang. Yang penting script dulu, baru bisa kita tentukan backsound atau apa yang bisa jadi added value dari penampilan kita. Kamu kerjakan aja dulu tugas kamu,” balas Raka. “Ya seenggaknya kamu juga persiapan buat edit-edit gitu, Ka. Mau ‘kan? Enggak percaya aku kalau sama yang lain. Meragukan,” kata Welly. “Tapi, rumah Yangtiku cukup jauh dari sekolah, Wel. Yakin kamu mau ke sini. Aku bakal tinggal di sini sampai waktu yang tidak bisa ditentukan,” kata Raka membuat Ana menatapnya kesal. “Santai, pasti aku datang. Share location aja besok. Sudah ya, Bye. Tugas remidi perlahan membunuhku,” pamit Welly. Raka hanya menggelengkan kepalanya mendengar temannya pamit. Dia pun menjawab salam saat temannya ingat salam. Raka menaruh HPnya dan melihat adiknya yang turun dari sofa. “Kenapa?” tanya Raka pada Lani yang masih berada di sampingnya. “Kali aja telepon pacar. Aku kepo pacar kamu kaya apa, Kak.” Lani dengan polos mengatakannya. Sepupu Raka yang tidak terpaut terlalu jauh. “Masih bau ingus, jangan pacar-pacaran!” kata Raka. Lani mencebik bibirnya yang kesal dengan kakak sepupunya itu. Raka hanya terkekeh melihat Lani yang memilih duduk di dekat Icam dan mengerjakan tugasnya sendiri. Lani sedari kecil suka belajar bersama Raka, karena jika menemukan kesusahan, Raka akan dengan sigap mengajarkan bagaimana yang benar. “Kakak, Papa kok belum pulang?” tanya Icam pada Raka. “Masih sibuk mungkin. Jalan dari kantor Papa ke sini juga ‘kan cukup jauh,” kata Raka. Tidak lama setelah Raka memasang earphone kembali, Arlan datang dan melihat anak dan keponakannya sedang belajar bersama. Anak-anak itu menyalami tangan Arlan yang menyempatkan duduk sebentar di ruang keluarga. Tanpa diminta Raka memberikan minum untuk ayahnya. “Terima kasih, Kak. Kamu lanjut aja belajarnya,” kata Arlan yang menerima gelas dari anaknya. “Jadwal Papa lagi padat, Pa?” tanya Raka. “Iya, Kak. Tadi, habis visit proyek juga. Lambat mereka. Papa jadi pusing proyek ini enggak selesai-selesai.” Arlan menoleh ke anaknya yang memang mulai mengerti apapun yang dia lakukan. “Mau dipijat enggak?” tanya Raka. “Belajar aja dulu. Papa mau ke Yangti dulu. Mama di atas, ‘kan?” balas Arlan. “Iya, Pa. Mama masih di atas.” Raka menjawab dan Arlan menyempatkan mengecup pipi Ana. Arlan pun berjalan meninggalkan anak-anaknya dan menuju ke lantai dua di mana mertuanya berada bersama istrinya, mungkin. Arlan membuka kamar istrinya terlebih dahulu dan tidak melihat wanita yang sudah menemaninya hingga 16 tahun ini. Dia menuju ke kamar mertuanya dan mengetuk pintu kamar itu. “Lembur, Mas?” tanya Farin begitu suaminya masuk ke kamar Karin. “Iya. Ada kendala tadi. Bunda gimana?” balas Arlan yang melihat mertuanya terlelap setelah dia mengecup kening istrinya. “Lemas banget. Tadi, Raka sempat bilang kalau Bunda enggak kenali Raka waktu sapa Bunda.” Farin terlihat sedih dengan keadaan ibu kandungnya. “Sabar ya, Sayang.” Arlan membawa istrinya dalam pelukannya agar bisa melampiaskan perasaannya. Sementara itu di bawah, Ana merasa lapar. Dia mengatakannya pada Raka. Melihat adiknya lapar padahal gadis kecil itu baru saja menghabiskan camilan yang Raka ambil dari dapur. “Kamu baru aja makan cookies itu sampai habis loh, Dik. Padahal itu buat bersama loh,” kata Raka kembali menaruh laptopnya. “Tapi, aku masih lapar, Kakak.” Ana mengerucutkan bibirnya dan bergelayut manja pada kakaknya. “Adiknya kenapa, Kak?” tanya Farin yang baru saja turun. “Dia habiskan cookies, tapi masih lapar, Ma. Aku mau goreng nugget takut Mama ngomel kalau aku buat berantakan dapur Yangti. Kalau dapur kita sendiri, aku masih mau, Ma.” Raka menjelaskan pada ibunya apa yang terjadi. “Mama sudah buat makan malam kok tadi. Tinggal panaskan aja, maaf ya. Mama lupa kasih tahu kamu sama Lani,” kata Farin yang berjalan ke dapur. Raka mengikuti ibunya untuk menemani wanita itu berkesibukan di dapur. Raka tidak jarang membantu membersihkan meja makan. Lani pun menyusul dan membantu Farin. Mereka berbincang sembari mengatakan apapun yang ingin mereka bahas. “Ma, kalau Kak Raka sudah punya pacar, gimana?” tanya Lani membuat Raka melotot pada sepupunya itu. “Kakak punya pacar?” tanya Farin melihat ke arah anaknya yang membersihkan meja makan bersama dengan Lani. “Lani tuh yang dari tadi bahas pacar, Ma. Aku enggak ada kaya gitu, serius,” kata Raka meyakinkan ibunya. “Iya, Mama percaya. Ada juga enggak papa kok. Selama Kakak bisa tahu batasan. Jangan tertutup kalau punya pacar. Mama sama Papa juga wajib tahu loh, Kak.” Farin menasihati anaknya. “Ih, Mama. Belum waktunya. Bahagiakan Mama sama Papa aja belum bisa mau bahagiakan anak orang, temanku banyak yang putus dan suka ngeluh tentang pacarnya. Salah siapa berani pacaran,” kata Raka yang terdengar kesal. Farin merasa bahagia mendengar anaknya mengutamakan kedua orang tuanya, padahal baik Farin atau Arlan tidak pernah terlalu membatasi anaknya yang penasaran. Bahkan saat masih dini, Raka sudah menanyakan bagaimana dia bisa lahir. Raka sudah tahu sejak dulu bahwa pacaran adalah tanggung jawab yang enggak akan mudah untuk anak labil sepertinya. “Lani punya pacar?” tanya Farin pada keponakannya. “Enggak sih, Ma. Cuma dekat aja, tapi banyak yang bilang aku pacaran. Padahal enggak kok, Ma.” Lani mengatakannya pada Farin yang bertanya. “Kalian makin besar ya. Mama sudah tua ternyata,” kata Farin melihat dua remaja yang ada bersamanya. “Mama tua, tapi masih cantik,” puji Lani. “Terima kasih pujiannya, Cantik.” Farin menata makanan dan mencubit pipi Lani. “Kak, panggil Papa ya. Kalau sudah selesai mandinya, suruh ke bawah. Tolong ya,” pinta Farin. Raka langsung melakukannya dan meninggalkan meja makan. Dia berjalan menuju kamar masa muda ibunya dan mengetuk pintu kamar. Raka memunculkan kepalanya saat mendengar jawaban dari dalam. “Kenapa, Kak?” tanya Arlan yang melihat anaknya memunculkan kepalanya dari sela pintu yang dibuka sendiri. “Papa kalau sudah selesai cepat turun ya. Disuruh Mama makan malam.” Raka mengatakan apa yang menjadi pesannya dari Farin. “Iya, sebentar lagi turun, Kak.” Arlan mengatakan pada anaknya yang langsung diangguki oleh anaknya. Raka langsung pamit dan menutup kembali kamar tersebut. Dia segera turun dan mematikan laptopnya sebentar sebelum makan malam bersama keluarganya. Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD