Rumah Yangti

1598 Words
Raka yang baru saja selesai ujian praktek Bahasa Indonesia langsung membereskan baju-baju yang dia pakai. Ujian drama membuat dia jadi membawa beberapa outfit yang dia pakai dan temannya pinjam. Raka bahkan meminjam topi Ana untuk dia pakai properti.   Saat mengantar dirinya tadi, Arlan mengatakan bahwa Raka adalah pria paling ribet yang dia kenal. Di saat anak pria lain tidak ingin direpotkan dengan berbagai hal seperti ini, Raka malah mau dan tidak masalah saat temannya mengaku bahwa tidak memiliki properti yang diminta.   "Ini barang sudah balik semua, Ka?" tanya salah satu teman sekelas Raka yang membantu Raka membereskan barang-barangnya.   "Tayo Adikkku belum." Raka ingat dengan mainan Icam yang terpaksa dia bawa, bahkan dia sewa hanya karena ujian praktik ini. "Tayo Adikku mana, heh?" tanya Raka.   "Dibawa ke kantin sama Aldo. Dia seret-seret kaya anak kecil." Teman Raka yang lain menyahut.   Belum juga Raka berpindah dari tempatnya, seorang cowok putih dan tampan menggeret bus mainan yang dia beri tali rafia. Raka menggelengkan kepalanya melihat temannya yang memang tidak ada yang benar. Raka meminta bus mainan itu dan tidak berniat melepaskan talinya.   “Sayang banget sama Adik kamu, sampai mainannya aja enggak boleh hilang?” tanya teman Raka yang lain.   “Bukan karena sayang kalau yang bus. Ini perlu bayar sewa. Dia bakalan ngamuk kalau ketinggalan. Ini dia beli langsung di Korea waktu ikut Mama. Dia sayang banget sama ini, karena sempat dilarang Papa bawa pulang. Akhirnya dibawa karena dia bujuk Papa. Jadi, dia bakal ngamuk kalau ini hilang,” kata Raka.   “Kayanya hidup kamu sama keluarga kamu enak ya, Ka.” Teman Raka mengambil kesimpulan yang hanya membuat Raka tersenyum.   “Setidaknya begitu kata orang,” kata Raka.   “Jadi mau punya Mama kaya Mamamu. Cantik, pintar, dan tentunya sabar. Mana sayang banget sama anak-anaknya” Teman Raka membahas keluarga Raka yang mereka tahu.   “Semua orang tua pada dasarnya kaya gitu kok, kata Mama. Cuma cara orang tua menunjukkannya enggak selalu sama. Mungkin kamu pikir Mama kaya gitu, karena Mamaku beda memperlakukanku dengan Mamamu memperlakukan kamu, tapi mereka sama-sama sayang kita sebagai anak,” kata Raka.   Jam pulang sudah menyapa dan Raka membawa semua barang-barangnya ke depan. Dia harus menunggu jemputan Pak Oding atau malah memesan taksi online, meski pada akhirnya saat dia memesan taksi online akan kena omel Arlan. Meski usianya sudah menginjak remaja, Arlan tidak memperbolehkan anak sulungnya menaiki taksi online. Dia sungguh melarang anaknya untuk menaiki angkutan umum.   Bukan karena dia tidak suka anaknya merakyat, tapi dia khawatir Raka akan kenapa-kenapa. Penculikan tidak pernah melihat siapa dan seperti apa targetnya, tentu saja itu membuat Arlan sangat was-was. Saat berada di gerbang, mata Raka melebar melihat mobil mamanya yang sudah jarang terpakai, jika tidak ingin me time.   “Mama?” panggil Raka dengan heran.   “Halo, Kak. Sudah pulang, ‘kan? Mama enggak terlambat?” tanya Farin.   “Aku baru keluar. Kok Mama yang jemput, Pak Oding enggak bisa?” balas Raka yang sembari memasukkan barang-barangnya ke bagasi.   “Kita mau ke rumah Yangti. Papa nanti nyusul dari kantor langsung, Kak.” Farin masuk dan menyuruh anaknya segera masuk ke mobil.   “Yangti kenapa, Ma?” tanya Raka.   “Kata Tante Hana, sakit dari semalam. Kemarin adik bilang Yangti lemas banget. Akhir-akhir ini, Yangti sudah enggak sehat, jadi kita yang ngalah ya, Kak. Kita gantian sama Tante Hana jaga Yangti. Sekolah Kakak tambah jauh sedikit enggak papa, ‘kan?” balas Farin.   “Mama, memangnya aku pernah marah kalau kita bermalam ke rumah Yangti atau Nenek? Enggak masalah, Ma. Yangti juga orang tersayang Mama, aku juga sayang sama Yangti. Mama juga sehat-sehat ya, Ma.” Raka mengecup pipi ibunya dengan lembut dan membuat Farin tersenyum mendengar anaknya.   Raka kembali duduk tenang dan menceritakan sedikit demi sedikit apa yang dia lalui seperti biasanya, kebiasaan yang tidak pernah hilang sejak dia kecil. Farin adalah ibu paling baik dan paling bisa menjadi teman dengar untuknya hingga saat ini. Respons yang diberikan ibunya pun selalu menjadi bentuk apresiasi yang sangat jujur.   “Jadi, Ma. Si Aldo tadi malah bawa mainan Icam ke kantin kaya anak kecil. Padahal aku sudah mulai tata semua, eh dia nyaman bawa mainan Icam ke kantin,” cerita Raka membuat Farin tertawa membayangkan sosok teman Raka itu.   “Aldo itu yang teman kamu dari SD bukan, Kak?” tanya Farin menanggapi cerita anaknya.   “Iya, yang dulu anak pindahan itu, Ma. Anak yang paling gila, kata guru dulu itu, Ma.” Raka dengan semangat membagikan kisahnya.   “Seru enggak, satu kelas lagi sekarang dan bikin drama bareng kaya gini?” tanya Farin.   “Masih ada satu drama lagi dan satu performance lain, Ma. Bahasa Inggris juga mau praktiknya bikin drama. Aku diminta bikin translate script-nya, Ma. Neni yang bakal buat original script-nya,” keluh Raka yang menyandarkan kepalanya.   “Tandanya mereka percaya sama kamu, Kak. Terus, kapan mau perform, Kak?” Farin terlihat antusias dengan perkembangan anaknya yang semakin dewasa.   “Dua minggu lagi yang Bahasa Inggris, Ma. Buat perform lainnya itu malah suruh nyanyi Bahasa Inggris. Suara aku sudah kaya panci jatuh, disuruh nyanyi, apa kabar telinga temanku, Ma?” Raka mengeluh dan membuat Farin tertawa saat melirik wajah frustasi anaknya.   “Yang bilang suara kamu kaya panci jatuh siapa?” tanya Farin saat tawanya reda.   “Om Gilang!” keluh Raka.   “Ayah?” tanya Farin yang langsung diberi gelengan kepala oleh Raka. “Papa? Yangkung? Yangti? Nenek? Mama? Pernah bilang kaya gitu?” tanya Farin.   “Enggak,” jawab Raka.   “Suara kamu enggak kaya gitu, Kak. Mungkin memang berbeda sama anak yang memang dari sananya latihan nyanyi. Kalau kamu, dari sananya belajar mulu dan jadi pintar di akademiknya. Enggak masalah, kamu juga bagus kok di non-akademik, tapi lebih ke sport-nya, ‘kan? Setiap orang itu punya kelebihan dan kekurangan. Kamu merasa kurang di olah suara, tapi coba lihat di sisi lain, ada banyak kelebihan kamu yang buat Mama dan Papa selalu bangga punya kamu, Kak.” Farin mengatakannya pada Raka.   “Mama selalu bisa tenangkan aku. Aku enggak peduli, kalau nanti ada yang bilang aku anak Mama dan terlalu manja, karena apapun selalu aku bagi ke Mama. Karena buat aku, Mama penting, keputusan Mama adalah hal terbaik dan enggak akan menjatuhkan aku,” kata Raka menoleh ke arah ibunya yang menyetir mobil ke arah rumah masa kecil Farin.   “Kamu memang anak Mama. Kamu lahir dari rahim Mama, enggak masalah dong kalau kamu jadi seperti itu. Bahkan Mama dan Papa sendiri yang minta kamu tetap terbuka sama Mama dan Papa. Bukan karena kami enggak percaya sama kamu, Kak. Justru semua langkah yang kamu lewati, seberat apapun itu, kamu harus ingat … kamu enggak pernah sendirian. Ada Mama dan Papa yang siap kasih dukungan penuh buat kamu,” kata Farin.   “Ma, terima kasih sudah bertahan sampai saat ini. Banyak orang yang bilang, aku beruntung punya keluarga yang baik-baik saja. Mereka enggak tahu semua yang keluarga kita lewati, trauma penculikan yang buat Papa jadi lebih posesif sampai saat ini, dan semua yang terjadi sama Mama dan Papa. Aku bangga banget punya Mama kaya Mama Farin.” Raka memeluk ibunya saat mereka tiba di tempat tujuan.   Farin terharu mendengar apa yang anaknya katakan. Dia memeluk anaknya dengan erat dan mengusap punggungnya lembut. Semua yang terlihat baik di depan, belum tentu juga baik di dalamnya. Semua membutuhkan effort untuk menjadi seperti saat ini.   “Ayo turun, Adik sudah tunggu di pintu tuh,” kata Farin mengusap pipi anak sulungnya yang sedikit basah.   “Kakak!” Ana berlari memeluk Raka saat pria itu keluar dari mobil.   Raka memang jarang sekali datang ke rumah Karin, Yangti-nya saat work days seperti ini. Dia hanya akan berkunjung saat weekend dan itu pun terkadang terjadwal untuk berkunjung ke rumah Neneknya atau ke sini. Semua pilihan terkadang sesuai dengan permintaan Ana atau Farin.   “Kakak, mana busku?” tanya Icam yang langsung meminta mainannya.   “Nanti aja. Kakak baru pulang,” kata Farin menyahuti anaknya.   “Enggak hilang, ‘kan? Kakak ‘kan sering lupa,” keluh Icam.   “Enggak. Sudah ada di mobil. Masuk dulu yuk, Kakak mau ke Yangti dulu,” kata Raka yang berjalan menggenggam tangan adik perempuannya.   Raka langsung menaruh tas di ruang keluarga dan mencuci tangan serta kakinya di toilet yang ada di dekat dapur sebelum naik ke atas untuk ke kamar Yangti-nya. Raka mengetuk pintu kamar Karin dan membukanya perlahan. Terlihat betapa lemas dan ringkih wanita yang melahirkan ibunya itu.   “Yangti!” sapa Raka saat Karin menoleh ke arahnya. “Ini Raka,” lanjut Raka yang melihat Karin bingung.   “Kakak lama banget enggak ke sini. Dua minggu sudah enggak main ke sini,” kata Karin saat cucunya itu ikut berbaring dan memeluk tubuh ringkihnya.   “Maaf, aku sibuk sama ujian praktek. Jangankan ke sini, ke rumah Nenek aja sudah jarang, Yangti.” Raka sedih melihat wanita yang dulu sering menemaninya belajar dan bermain, saat ini semakin tua.   “Enggak papa, Kak. Jangan lupa jaga kesehatan ya, Kak. Sekolah memang penting, tapi kalau kamu enggak sehat, gimana mau sekolah?” kata Karin.   “Yangti, cepat sembuh ya.” Raka mengecup pipi Karin yang terasa kurus sekali.   “Aamiin, Kak. Kamu makan dulu sana. Baru pulang, ‘kan? Tadi Tante Hana bawa makanan. Makan yang banyak ya.” Karin meminta cucunya untuk makan terlebih dahulu.   Raka menganggukkan kepalanya dan menuruti Karin. Saat akan keluar kamar, Raka bertemu dengan ibunya. Farin mengatakan bahwa dia sudah menyiapkan makanan untuk Raka dan wanita itu masuk ke kamar Karin. Raka melihat pintu kamar itu yang sudah tertutup.   “Ya Allah, jaga Mama sampai aku bisa membahagiakan Mama, seperti Mama membahagiakan Yangti dengan caranya sendiri. Aamiin.”   Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD