Brosur Sekolah

1181 Words
Raka terbangun setelah seharian ini dia menemani adiknya. Dia duduk di sofa ruang bermainnya saat kecil yang saat ini sering dipakai oleh adiknya. Raka melihat dua adiknya yang terlelap di karpet. Kebetulan yang sangat tidak dia inginkan adalah saat ini papanya malah membuka pintu ruang bermain mereka. "Kak, Adiknya kok tidur di bawah?" tanya Arlan melihat dua anaknya yang tertidur di karpet. "Mereka tadi diajak tidur enggak mau. Aku ketiduran di sini, bangun-bangun lihat mereka sudah ketiduran, Pa." Raka memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi. Dia bukan takut, tali Ana adalah Tuan Putri di rumah ini, jika gadis kecil itu sakit, seluruh rumah akan kena amuk oleh Arlan. Meski, sampai saat ini Arlan tidak pernah benar-benar marah pada anak-anaknya. Yah, dulu Raka memang pernah marah karena Arlan terlalu memanjakan Ana, alhasil saat ini pria yang semakin berumur itu tidak pernah memihak anak-anaknya. Jika salah satu anaknya nembuat salah, dia hanya akan memarahi anak itu. Hanya saja, terkadang saat mereka bertingkah bersama, omelan Arlan akan jauh lebih panjang dan lebih dari rel kereta api. Raka tidak pernah lupa dengan apapun yang terjadi pada keluarganya yang sempat hampir hancur. Dia bersyukur mendapatkan ayah seperti Arlan yang mau mengakui kesalahannya dan berubah demi kebahagiaan mereka. "Kak, bawa Adiknya ke kamar. Kalau Papa aja yang bawa sakit punggung, Kak." Suara Arlan membuat Raka tersadar dan menunjukkan wajah tanpa dosanya. "Aku juga enggak kuat, Pa. Mata aku ngantuk," ujar Raka memulai drama yang pasti akan membuat Arlan melebarkan matanya. "Bercanda, Pa. Papa serius banget makin tua," lanjut Raka membuat Arlan semakin melebarkan matanya. "Apa kamu bilang, Kak?" tanya Arlan. Raka langsung berdiri mengangkat tubuh Icam yang tertidur tenang dan membawanya kabur sebelum Arlan melempar kalimat indahnya. Mamanya sedang berada di rumah mantan sekretarisnya, jadi mencari masalah dengan Arlan saat ini sama saja bunuh diri. Raka membawa adiknya ke kamarnya, karena matanya yang juga masih sangat mengantuk. Dia merebahkan tubuhnya di samping Icam. Kebiasaan keluarga da Costa setiap weekend adalah waktu yang benar-benar hanya untuk keluarga. Sesuai request Ana, weekend kali ini mereka hanya di rumah sendiri dan Raka harus menemani Ana bermain bersama Icam. "Kak, bisa bantu Papa enggak?" tanya Arlan membuka pintu kamar anaknya. "Apa, Pa?" tanya Raka, meski matanya mengantuk. "Mama tadi suruh kasih makan Bona, kamu kasih makan ya. Tolong," pinta Arlan. "Iya," kata Raka yang langsung bangkit untuk melakukan permintaan ayahnya. Raka turun dan menuju ke halaman belakang di mana kucing mereka berada. Raka dengan sabar memangku Bona dan memberikan kucing itu makanan basah dalam kemasan. Raka sangat sabar melakukannya. Dia sangat menyayangi kucing yang sedsri kecil sudah seperti anggota keluarganya sendiri. *** Saat malam menyapa, Raka turun dan melihat adiknya yang sedang mengerjakan tugas bersama Arlan. Dia sudah selesai menyelesaikan tugasnya dan kali ini dia lapar. Raka berhenti di tangga saat melihat adiknya berani ribut di depan Arlan. "Papa, lihat Icam! Jahat sama aku!" keluh Ana pada ayahnya. "Aku enggak salah, Pa. Ana yang mulai menggangguku," sahut Icam. "Yang ganggu dulu 'kan kamu, Dik. Kenapa salahkan Icam?" tanya Arlan lembut. Raka menggelengkan kepalanya melihat adiknya yang mulai mendebat ayahnya. Raka kembali berjalan dan memeluk adik perempuannya yang mulai kesal. Dia mengecup pipi adiknya bertubi-tubi membuat Ana merengek memanggil mamanya yang berada di dapur untuk menyiapkan makan malam. "Makanya, jangan jahil jadi orang. Kakak jahilin malah teriak-teriak panggil Mama." Raka mengangkat tubuh adiknya dan memangku Ana dengan gemas. "Papa, lihat Kakak!" keluh Ana. "Astagfirullah, Dik. Jangan suka teriak-teriak! Sudah malam," ucap Farin dari arah meja makan. "Hayo loh, Mama sudah bersuara. Kamu sih rame terus," kata Raka pada adik perempuannya. "Nenek! Kakak nakal!" Ana malah menangis. Ana memang lebih sering menjadi manja karena Nenek mereka sangat memanjakan Ana yang merupakan cucu perempuan satu-satunya di keluarga da Costa. Arlan berdiri dan meninggalkan anak-anaknya di ruang keluarga. Ana langsung diam melihat ayahnya pergi. "Kakak, Papa marah?" tanya Ana pelan. "Minta maaf sana. Papa enggak akan marah kalau kamu enggak salah.Nanti Kakak juga minta maaf." Raka menurunkan adiknya yang langsung memeluknya. "Sama Kakak! Enggak mau sendirian. Takut Papa marah," kata Ana pelan. "Ya sudah, ayo!" ajak Raka. "Aku juga, Kak?" tanya Icam. "Kamu salah enggak?" balas Raka yang mengutip pertanyaan yang selalu papanya berikan saat anaknya bingung dengan salahnya. "Enggak, aku diam kok." Icam melihat kakak dan saudara kembarnya. "Ya sudah, enggak usah minta maaf. Kakak sama Ana ke Papa dulu ya," kata Raka yang langsung dibalas dengan anggukan kepala oleh Icam. Raka berjalan menggenggam tangan adiknya yang berjalan di sampingnya. Arlan terlihat membantu Farin menata makanan di meja makan. Hanya beberapa kali Arlan mengobrol dengan istrinya menandakan bahwa pria itu sedang kesal. "Papa!" panggil Raka yang mendekat dan membantu membersihkan meja makan. "Apa?" tanya Arlan tanpa melihat anaknya. Raka memberi kode adiknya untuk meminta maaf terlebih dahulu pada ayahnya. Dia tahu, saat Ana membuka suaranya dengan sangat menyesal, itu sama sekali tidak bisa membuat Arlan mengabaikannya. Ana mendekati Arlan dan memeluk pinggang ayahnya erat. "Papa, maafkan Ana yang suka teriak-teriak dan jahil. Jangan marah sama Ana," kata Ana memeluk ayahnya. "Kamu minta maaf disuruh Kakak atau tahu salah kamu sendiri?" tanya Arlan melihat anak perempuannya. "Tahu kok. Aku tahu salahnya. Aku jahil sama Icam, terus aku suka teriak-teriak waktu Kakak balas aku. Maaf!" kata Ana. "Jangan diulangi, Dik. Papa capek lihat anak Papa bertengkar. Masa harus selalu diingatkan? Eum? Kamu juga enggak boleh manja. Semua sayang kamu, tapi bukan berarti kalau kamu salah itu jadi berubah benar. Mengerti?" Arlan menasihati anaknya dan menyamakan tingginya dengan anaknya. Ana kembali memeluk Arlan dan menenggelamkan wajahnya ke perut rata Arlan. Farin yang melihat suami dan anak-anaknya hanya bisa menggelengkan kepalanya. Yah, begitulah anak-anak di keluarga ini. Saat Arlan mulai lebih diam dan memilih menyingkir, semua jadi panik membuat salah. Mereka jadi langsung meminta maaf karena ulah mereka yang mereka sadari dan mendengarkan nasihat Arlan. "Maaf kalau aku manja, Papa." Ana masih memeluk ayahnya dengan erat. "Iya. Papa enggak marah kok. Cuma bantu Mama, ini sudah mau jam makan malam. Mama sendirian di dapur, Bi Yem lagi pulang kampung, Sayang." Arlan mengusap rambut anaknya. "Aku juga minta maaf ya, Pa. Aku ganggu Ana sampai jerit-jerit," kata Raka. "Iya. Sudah sana belajar lagi," balas Arlan. "Mau sama Papa," kata Ana. "Papa, di depan ada guguk!" teriak Icam dari depan. "Mas?" panggil Farin. Arlan, Ana dan Raka segera ke depan. Dia melihat Icam yang mengintip dari pintu. Arlan meminta Icam masuk dan membiarkan anjing yang berada di depan rumah mereka, setidaknya tidak masuk ke halaman mereka. "Guguknya besar, Pa. Sama kaya aku tingginya," kata Icam menceritakan apa yang dia lihat. "Kamu kok mau keluar?" tanya Arlan. "Tadi ada orang teriak-teriak. Papa kok enggak dengar sih. Itu tadi orangnya panggil anaknya biar enggak boleh keluar karena ada guguk itu tadi. Ih Papa," keluh Icam. "Sudah tahu ada yang enggak boleh keluar karena ada guguk, kamu malah mau keluar lihat guguknya. Aneh-aneh aja kamu," kata Raka yang malah dibalas dengan senyuman tanpa dosa Icam. "Sudah ayo makan. Kak, selesai makan ke ruangan Papa. Brosur sekolah ada di ruangan Papa. Kalau mau langsung bahas sama Papa enggak papa, kalau mau kamu baca dulu juga enggak papa." Arlan menggiring anaknya ke meja makan. Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD