4. He's The Sweetest Boy

1000 Words
Hana baru saja turun dari mobil yang dikemudikan Marshal dengan sebuah piala besar di kedua tangannya. Seulas senyum kebanggaan terpancar di wajah cantiknya. "Wah, Neng Hana akhirnya menang, ya! Selamat, Neng!" kata Seno, satpam sekolah itu. "Terima kasih, Pak," ucap Hana sembari tersenyum. Hana kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang kepala sekolah. Namun, saat ia sudah berada di depan ruangan yang ia tuju, ia disambut teriakan histeris dari Gracia. "Hana! Selamat, ya!" pekik Gracia. Ia hendak memeluk sahabatnya itu, tetapi Nino, kekasihnya, langsung menarik lengannya. "Hana lagi pegang piala. Nanti jatuh itu. Pak Ghani bisa marah," ujar Nino, menegur. "Gracia, aku masuk dulu, ya!" kata Hana. "Oke, Hana! Aku tunggu di kelas, ya!" "Sip!" *** Bel istirahat berbunyi. Semua siswa bersorak girang karena jam pelajaran Matematika telah berakhir. Tentu saja mereka hanya berani seperti itu saat gurunya sudah keluar dari kelas. Hana sudah meletakkan buku Matematika miliknya di tas. Ia mengalihkan perhatiannya pada Gracia yang terlihat melamun. "Hei, udah jam istirahat. Kamu gak mau ke kantin?" Gracia terkesiap lalu menggeleng. "Gak, deh. Lagi malas ketemu Nino," ujar Gracia dengan wajah terlihat murung. "Kenapa?" "Aku lihat tadi sebelum masuk kelas dia ketemuan sama Stella. Bercandaan lagi," lirih Gracia. "Stella yang anak kelas XI IPS 1?" Gracia mengangguk pelan. Hana menghela napas. "Siapa tahu aja cuma kebetulan ketemu. Masa gitu aja kamu cemburu." "Ih, Hana! Stella itu mantannya Nino!" pekik Gracia. "Tentu saja aku khawatir kalau mereka balikan. Stella itu masih berusaha gangguin Nino begitu tahu aku pacaran sama dia. Ah, nyebelin!" "Udah, Gracia. Mending ke kantin. Aku lapar ini." Hana masih berusaha membujuk sahabatnya itu. "Oke, deh. Semoga aja si biawak jelek itu gak ada di sana!" ucap Gracia seraya berjalan keluar dari kelas. Kedua alis Hana bertaut. "Biawak jelek? Siapa?" "Nino, Hana! Siapa lagi!" jawab Gracia. Hana susah payah menahan tawanya. Sahabatnya itu memang aneh. Saat berbaikan dengan kekasihnya, ia akan memuji laki-laki itu. Namun, saat mereka bertengkar, julukan sadis terlontar dari mulut Gracia begitu saja. Seperti saat ini. Mereka pun sampai di kantin. Para siswa yang mengenal Hana langsung berebut menawarkannya tempat duduk. Apa lagi penyebabnya karena kemenangannya dalam Olimpiade Kimia itu. Hana tersenyum tak enak pada mereka hingga ia terkejut saat sebuah tangan kekar menarik tangannya dan membawanya duduk di sampingnya. Kedua matanya menatap tajam pada para siswa yang sudah membuat heboh suasana di kantin. "Kak Dami?" Yang dipanggil pun menoleh dan tersenyum manis padanya. "Duduk di sini saja, ya!" Hana tidak tahan melihat senyuman Damian dan langsung tertunduk. Malu. Sementara Gracia yang duduk di samping Nino langsung membuang muka saat melihat kekasihnya memelas padanya. "Aku minta maaf, Sayang. Tadi itu aku cuma kebetulan ketemu sama Stella," ujar Nino. "Oh. Kirain bakal ada rencana reunian sama mantan!" ketus Gracia. Hana memperhatikan interaksi sepasang kekasih yang sedang bertengkar tak jauh dari tempatnya duduk. "Abaikan saja dia! Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri," bisik Damian. Damian sendiri merasa gugup saat ini. Aroma lembut dari tubuh gadis pujaannya membuatnya terlena sejenak. Hana yang terkejut langsung menoleh dan melihat wajah tampan sang ketua OSIS yang masih tersenyum. "Lebih baik kamu pesan makanan sebelum jam istirahat berakhir," ucap Damian lembut. Hana mengangguk dan hendak berdiri. Namun, Damian mencegahnya. "Kamu duduk di sini. Biar aku yang pesankan makanan. Mau makan apa?" tanyanya. "Mau bakso, Kak." "Oke!" sahut Damian sembari tersenyum lagi. *** "Hana!" "Iya, Kak?" "Selamat, ya! Kamu berhasil bikin kami bangga," puji Damian tulus. Hana tersenyum. "Sama-sama, Kak. Aku hanya berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk sekolah ini." "Aku pun bangga padamu." "Eh?" "Kenapa, Na? Masalah?" tanya Damian. "Gak, kok." Motor Damian melaju dengan kecepatan sedang. Bila biasanya ia mengebut, kini ia sengaja memperlambat kecepatan motornya. Ia hanya ingin bersama lebih lama dengan gadis yang duduk di belakangnya dengan kedua lengannya melingkar hingga ke perutnya. "Kamu maunya jadi apa suatu saat nanti?" tanya Damian. "Arsitek," jawab Hana. "Oh, iya? Kenapa?" Mata gadis itu tertuju pada gedung yang mereka lewati. Gedung itu terlihat menjulang tinggi dengan kokohnya. "Aku suka melihat beragam bangunan. Karena kondisi peradaban manusia dinilai dari tatanan kota. Pembangunan gedung salah satunya. Tentu saja ada beberapa aspek juga yang dinilai sebagai penunjang seberapa menariknya kota tersebut. Aspek kebersihan lingkungan misalnya." Damian tersenyum sembari meletakkan telapak tangannya di punggung tangan Hana. "Kenapa, Kak?" tanya Hana heran. "Biarkan dulu seperti ini. Kapan lagi aku bisa berbagi cerita denganmu? Rasanya akan sangat menyenangkan kalau bisa seperti ini terus." Wajah Hana merona seketika. Damian sempat melihat respon Hana dari kaca spion. "Aku suka wajahmu yang merona, Hana," puji Damian. "Cukup pujiannya, Kak!" "Kenapa?" "Aku tidak terbiasa," lirih Hana. Mereka pun sudah sampai di depan rumah Hana. Hana turun dari motor Damian dan melepaskan helm dari kepalanya. Setelah menyerahkan helm itu pada Damian, ia pun pamit untuk segera masuk ke dalam rumah. "Hana!" Tangan Damian menahan tangan Hana. Hana berbalik. Seketika ia terkejut saat sebuah kecupan mendarat di keningnya. Hana mendongak dan melihat Damian tersenyum hangat padanya. "Biasakan dirimu untuk menerima pujian dariku setiap hari. Aku menyukaimu, Hana." *** Hana baru selesai mengerjakan tugasnya. Ia menutup buku tebal di hadapannya lalu meregangkan ototnya sejenak. Suara getaran ponselnya terdengar di nakas samping ranjangnya. Ia pun beranjak dari kursi menuju tepi ranjang. Ia raih ponselnya, ternyata ada sebuah pesan singkat dari Damian. Kak Dami: Masih belajar, ya? Hana membalas pesan tersebut. Baru aja selesai. Tak lama sebuah balasan dari Damian masuk. Kak Dami: Sudah terlalu malam, Na. Tidurlah! Jangan sampai kamu sakit! Hana memilih untuk tidak membalas pesan Damian. Ia pun segera ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan kedua kakinya sebelum tidur. Saat matanya mulai terpejam, ponselnya kembali bergetar. Lagi-lagi pesan dari Damian. Kak Dami: Have a nice dream, Hana. Ya, sepertinya malam ini, ia akan bermimpi indah. Seulas senyum terbit di wajahnya sebelum ia benar-benar terlelap. Begitu pula dengan Damian. Pemuda itu benar-benar merasa bahagia karena hubungannya dengan Hana semakin dekat. Hanya Hana, gadis berpenampilan sederhana yang mampu menggetarkan hatinya. Hanya Hana yang mampu membuat hidupnya lebih berwarna. Damian masih menatap foto Hana yang menjadi wallpaper ponselnya. "Aku suka sama kamu, Hana," ucapnya lirih sebelum ikut memejamkan mata indahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD