3. Tawaran Menggiurkan

1005 Words
Damian dan teman-temannya sedang asyik bermain biliar di salah satu klub malam. Sesekali, mereka meneguk bir beralkohol rendah. "Dami, gimana nih soal Hana?" tanya Fadli. "Gimana apanya?" tanya Damian balik setelah menyodok bola putih dan memasukkan lima bola bernomor sekaligus ke dalam lubang. "Ck! Perkembangan hubungan lo sama Hana. Gitu aja mesti dijelasin!" sungut Fadli. Damian terkekeh melihat wajah kesal Fadli. Ia hela napas sejenak. "Baik-baik aja. Dia juga sering nyapa gue di sekolah. Sesekali juga gue ajak ke kantin pas Gracia diculik Nino," jawab Damian. "What? Lo gak pernah ajak dia makan di luar, jalan bareng, atau nonton di bioskop gitu?" timpal Gibran. "Mana mau Dami ngajak Hana keluar! Dia tuh betah banget terjebak friendzone!" ejek Nino. Sontak Gibran, Karl, dan Fadli tertawa mendengar ejekan Nino untuk Damian. Yang diejek pun mendengus kesal. "Puas banget lo pada ngetawain gue!" sungut Damian. "Lo kan jelas-jelas suka sama Hana, eh elo bukannya nembak malah milih jadi temen," celetuk Gibran. "Gue cuma pengen Hana nyaman bergaul sama gue. Soalnya, dia sempat minder. Dia selalu merasa dirinya tidak menarik, padahal gue gak butuh itu," ujar Damian. Ia lelah berdiri dan memilih duduk di samping Nino lalu meneguk bir kaleng miliknya hingga habis. "Jadi, lo beneran suka sama Hana, kan?" goda Nino seraya menaikturunkan alisnya. "Iya, gue suka sama Hana. Puas?" ketus Damian. "Wah, akhirnya elo jatuh cinta juga!" seru Fadli sambil bertepuk tangan. Ya, Damian akui bahwa dirinya jatuh pada pesona gadis sederhana seperti Hana. Selama seminggu ini, ia tidak bertemu dengan gadis itu karena Hana mengikuti Olimpiade Kimia tingkat nasional. Damian sesekali mengirim pesan singkat pada Hana atau meneleponnya jika sempat, mengingat ia akan segera mengakhiri masa kepemimpinannya sebagai ketua OSIS dan tentu saja ia juga sibuk menyelesaikan program kerjanya yang tersisa. "Apa yang bikin lo suka sama Hana?" tanya Karl. Damian tersenyum dengan mata menatap lurus ke depan. "Dia berbeda dari yang lain. Saat cewek-cewek pada melemparkan dirinya ke gue, dia bersikukuh dengan rasa malunya. Saat cewek-cewek berteriak histeris begitu lihat gue, dia cuma memandang gue dari jauh. Bukannya gue gak tahu kalau dia sering perhatiin gue, tetapi gue ngerasa lebih baik diam aja sambil menikmati segala macam bentuk perhatiannya yang selalu dia lakukan secara diam-diam, misalnya dia sering nyimpan kotak bekalnya yang berisi roti bakar kesukaan gue di laci meja. Gue suka cara dia menunjukkan perasaannya, terlebih lagi rona merah di wajahnya kalau lagi malu-malu." "Dami, gue mau nantangin elo!" celetuk Gibran. "Apaan?" tanya Damian. "Gue tantang lo untuk segera jadiin Hana sebagai pacar akhir bulan ini. Kalau lo berhasil, gue kasih mobil baru gue buat lo. Gratis! Gimana?" ujar Gibran. "Wah, gila lo! Lo serius sama yang lo bilang?" tanya Karl. "Gue serius! Lo tahu sendiri kan kalau gue gak pernah ingkar janji!" tegas Gibran. "Tuh, gimana tawarannya Gibran?" tanya Nino. "Udah, terima aja, Dami! Daripada gue yang nembak Hana terus dia jadian sama gue," timpal Fadli. Damian menatap tajam Fadli. Fadli malah terkekeh melihat kecemburuan sahabatnya. "Sekali lagi, gue tanya sama lo, Dami ...." "Gue terima tawaran lo, Gibran!" sergah Damian. "Yakin?" tanya Gibran. "Gue yakin!" tekan Damian. *** Hana merebahkan tubuhnya di atas ranjang hotel tempat ia menginap seminggu terakhir ini. Ia menatap dalam-dalam sebuah piala besar yang ia letakkan di atas nakas samping ranjangnya serta selembar sertifikat bukti kepesertaannya dalam ajang Olimpiade Kimia tersebut. Ia tersenyum puas atas kerja kerasnya. Ia rela menahan kantuk karena terus mempelajari soal-soal yang cukup sulit. Ponsel Hana berdering tanda panggilan masuk. Dengan cepat, ia menjawabnya setelah tahu siapa yang meneleponnya. "Halo, Hana," ujar seseorang di seberang sana. "Halo, Kak Dami." "Kamu sedang apa?" "Baru aja mau tidur. Kenapa?" "Gak apa-apa, sih. Takutnya aku malah gangguin kamu." "Gak, kok." "Gimana? Berhasil gak?" "Alhamdulillah, aku bawa pulang piala besar!" seru Hana. "Oh ya?" "Iya, Kak. Hari Senin nanti aku bakal bawa ke sekolah." "Bener nih, ya!" "Iya, Kak." Di seberang sana, Damian berusaha menekan rasa gugupnya yang selalu tiba-tiba muncul saat ia ingin berbicara dengan gadis itu. "Hana," lirih Damian. "Iya. Kenapa, Kak?" "Aku merindukanmu." Hana begitu gugup saat mendengar ungkapan rindu Damian. Untuk menutupi rasa gugupnya, ia tertawa kecil. "Kak Dami ada-ada aja, deh!" gurau Hana. "Aku serius, Hana. Aku rindu kamu," ujar Damian. "Kak, aku juga rindu sama Kak Dami. Selama seminggu ini, aku berusaha fokus pada olimpiade biar bisa bawa pulang piala ke sekolah. Kak Dami selalu ngirim pesan ke aku aja itu sudah cukup mengobati rinduku. Ya, namanya juga teman kan." Ada yang terasa nyeri saat Hana mengatakan bahwa ia menyebutkan kata teman. Ya, seperti itulah status mereka saat ini. Di tempat lain, tanpa Hana ketahui, Damian juga merasakan hal yang sama. Ia menyukai gadis itu, tetapi status mereka hanya berteman. Miris memang. "Hana, istirahatlah! Aku yakin kamu lelah karena seharian ini berjuang mati-matian demi bisa memenangkannya. Hari Senin nanti aku tunggu di sekolah, ya." "Iya, Kak. Aku juga mulai mengantuk. Kak Dami juga harus tidur. Jangan begadang!" "Bye, Hana!" "Bye, Kak Dami!" Sambungan telepon terputus. Gadis itu menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia begitu mencintai Damian, tetapi harus terjebak dalam zona pertemanan yang sudah mereka jalani selama dua minggu ini. Hana tentu saja tidak berani mengatakan yang sebenarnya karena sungguh ia terlalu mengungkapkan isi hatinya. Damian juga merasakan hal yang sama. Memendam cinta dan rindu memang sungguh menyiksa batin. Ia tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Meskipun rasanya sakit, ia tetap dengan senang hati menikmatinya. Benar kata orang bijak, cinta adalah siksaan yang mengasyikkan. Pemuda itu mencoba memejamkan matanya agar segera terlelap, tetapi yang ia lihat dalam pejaman matanya justru bayangan wajah Hana yang sedang tersenyum lembut padanya. Benar kata sahabat-sahabatnya, ia harus mengungkapkan perasaannya sebelum terlambat. Ia tahu, gadis seperti Hana juga menjadi incaran pemuda lainnya yang memang memandang segala kelebihan Hana tanpa memandang penampilannya. Membayangkan Hana menjadi kekasih orang lain saja ia tak mampu, apalagi bila benar-benar terjadi. Tidak, Damian tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Seperti janjinya pada sahabat-sahabatnya, Damian akan menjadikan Hana sebagai kekasihnya. Terlebih lagi ada tawaran menarik dari Gibran. Ibarat sekali menepuk dua nyamuk didapatkan, tentu lebih menantang, bukan? Begitulah isi pikiran Damian saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD