2. Memikirkanmu

1001 Words
Hana mendongak melihat langit malam yang cerah. Semilir angin sejuk begitu menenangkan. Rambutnya yang tergerai perlahan tertiup angin. Gadis itu menghela napas dalam-dalam. Ia lelah dengan hatinya yang merindu, namun tidak kunjung mendapat balasan. Ia pernah berpikir untuk mengungkapkan perasaannya lebih dulu, tetapi ia terlalu malu, bahkan untuk sekedar bertegur sapa dengan kakak kelas yang ia cintai diam-diam. Damian Erdana Kahraman. Gadis itu masih setia berdiri di tempatnya sambil memikirkan Damian. Seminggu sejak pemuda itu mengantarnya pulang dari sekolah, ia tak bertemu lagi dengannya. Bukan, lebih tepatnya ia menghindar darinya. Sungguh, ia terlalu malu bila berdekatan dengan laki-laki itu, apalagi ia memiliki banyak penggemar dan itu membuatnya semakin rendah diri. Ia memang siswi yang berprestasi di sekolah dan juga salah satu siswi yang kaya, tetapi penampilannya yang sederhana kerap jadi bahan ejekan siswa lainnya. Lagi-lagi ia menghela napasnya dalam-dalam. Sampai akhirnya suara ketukan pintu menyadarkannya dari lamunan panjang tentang Damian. Ia segera masuk dan menutup jendela kamarnya, lalu membuka pintu kamarnya. Sang kakak tersenyum manis padanya. "Boleh Kakak masuk?" tanya Marshal. Hana mengangguk dan menggeser tubuhnya agar pria yang berusia 25 tahun itu masuk. "Ini udah jam sepuluh, lho. Kok belum tidur?" tanya Marshal sambil mengusap rambut Hana. "Belum ngantuk, Kak," jawab Hana singkat. "Besok kan sekolah. Jangan terlalu larut baru tidur!" "Iya, Kak." "Sini, Kakak temenin kamu." Marshal naik ke ranjang Hana lalu menepuk bagian sisinya yang kosong. Hana menuruti permintaan Marshal. Mereka pun berbaring di ranjang itu. "Kak," lirih Hana. "Iya, Na," sahut Marshal. "Kakak pernah jatuh cinta, gak?" tanya Hana seraya menatap mata sang kakak. Marshal menggeleng. Hana menatap tak percaya. "Serius? Jangan-jangan ...." Tak! "Astaga, Kak!" pekik Hana seraya mengusap keningnya yang baru saja disentil Marshal. "Kakak masih normal. Kakak hanya belum ketemu seseorang yang tepat." Hana mengangguk. Perlahan, ia mulai mengantuk seiring dengan usapan lembut tangan Marshal di puncak kepala sang adik. "Tidurlah, Dek!" bisik Marshal. Pria itu mengecup kening Hana. Tak butuh waktu lama bagi gadis itu untuk terlelap. Setelah itu, Marshal mengecup sekali lagi kepala adiknya, lalu ia mematikan lampu kamarnya dan keluar dari kamar gadis itu dengan langkah perlahan. *** Hana yang sudah memakai seragam itu turun dari lantai dua dengan langkah tergesa-gesa. Ia meneguk habis segelas s**u yang ada di atas meja dan menyalami tangan orang tuanya satu per satu. "Sarapan dulu, Nak!" titah Evita. "Udah gak sempat, Mi. Takut telat. Aku berangkat, ya. Assalamu 'alaikum!" seru Hana sambil berlari keluar dari rumah. Hana memanggil tukang ojek yang sedang menunggu penumpang di depan gerbang kompleks rumahnya. "Neng Hana! Mau ke sekolah, Neng?" "Iya, Mang. Agak ngebut, ya!" "Siap, Neng!" Hana duduk di belakang tukang ojek itu setelah mengenakan helm. Motor pun melaju dengan kecepatan tinggi sesuai permintaan gadis itu. Lima belas menit kemudian, gadis itu turun dari motor dan membayar ongkos ojeknya setelah sampai di depan sekolah. Pagar telah ditutup. Dengan napas tersengal-sengal, Hana memohon pada satpam yang berjaga agar ia mengizinkan Hana masuk. Satpam pun mengangguk dan membuka pagar itu hingga Hana berlari masuk ke dalam sekolah. Namun, langkah Hana terhenti seketika saat sang guru Bimbingan dan Konseling menatap tajam dirinya. "Kau terlambat satu menit, Hana!" ketus Naomi, sang guru BK. "Maaf, Bu," lirih Hana. "Sekarang, kamu lari keliling lapangan ini dua puluh putaran. Cepat!" Hana menyimpan tasnya di lapangan basket dan berlari mengelilingi lapangan. Namun, baru lima belas putaran, gadis itu meringis kesakitan sambil memegang perutnya. Tak lama kemudian, gadis itu pingsan. Damian yang baru saja keluar dari perpustakaan langsung berlari mendekati gadis itu. Ia menggendong tubuhnya dan membawanya ke ruang UKS. Sesaat kemudian, seorang dokter yang bertugas di UKS mendatangi Damian yang menunggu di luar. "Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Damian khawatir. "Hana kelelahan dan sepertinya dia tidak sarapan sebelum ke sini. Untuk sementara, biarkan dia istirahat dulu atau lebih baik, suruh dia pulang agar bisa istirahat total!" "Baiklah, Dokter. Terima kasih," ucap Damian. Damian meninggalkan ruang UKS untuk membeli roti dan air mineral untuk Hana. Hana melenguh dan meringis saat ia merasakan perutnya terasa nyeri. "Hana, kamu sudah sadar?" tanya Damian. "Kak Dami? Kok Kak Dami bisa di sini?" tanya Hana balik. "Kamu pingsan tadi di lapangan. Kenapa kamu lari-lari tadi?" selidik Damian. "Aku dihukum Ibu Naomi karena terlambat," lirih Hana. "Kamu juga pasti belum sarapan, kan?" Hana mengangguk. Damian menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Ini roti sama air minum untuk kamu. Kamu makan, ya!" "Terima kasih, Kak," ucap Hana sembari tersenyum. Damian kembali bertanya, "Kenapa kamu menghindar dari aku?" Kening Hana berkerut. "Maksud Kak Dami apa?" tanyanya. Damian mendengus kesal. "Selama seminggu ini, kamu menghindar dariku. Ada apa?" tanya Damian datar. "Aku hanya malu, Kak," lirih Hana. Gadis itu bersusah payah menelan roti yang telah ia kunyah perlahan. "Kenapa malu?" tanya Damian bingung. "Aku malu dengan penampilanku seperti ini. Sangat gak pantas kalau aku bergaul denganmu." "Siapa yang berani mengatakan itu, Hana!" hardik Damian. "Atau ini cuma spekulasi kamu aja?" sambungnya. Hana diam. "Apakah kamu tidak ingin dekat denganku, Hana?" tanya Damian lirih. "Aku ...." "Kalau iya, berarti kamu satu-satunya cewek yang tidak mau dekat denganku. Padahal seisi sekolah juga tahu kalau aku tidak pernah ingin dekat dengan cewek mana pun. Mereka yang mau dekat sama aku aja aku cuekin. Cuma kamu yang bikin aku nyaman, Hana," lirih Damian. Hana semakin menunduk. Ia tak mampu menatap mata Damian. "Kamu berbeda dari mereka yang terang-terangan ingin mendekatiku, bahkan ingin jadi kekasihku. Padahal yang aku lihat dari mereka, mereka hanya mengharapkan popularitas semata. Aku ingin kita dekat, Hana. Setidaknya untuk saat ini, aku nyaman berteman denganmu. Kamu mau, kan?" tanya Damian penuh harap. Hana mengangguk seraya tersenyum. Membuat Damian mau tak mau juga ikut tersenyum. "Baguslah kalau begitu. Kalau ada yang hina kamu, biar aku yang urus mereka. Kamu tenang aja, ya!" Sekali lagi gadis itu mengangguk. "Habiskan rotimu, aku akan mengantarmu pulang." "Lho, kok pulang? Aku udah gak apa-apa, Kak." "Kamu istirahat. Besok kamu bisa masuk lagi kalau kamu sudah pulih. Ingat, sebentar lagi kamu ikut lomba. Kamu harus jaga kesehatan!" Hana tersenyum dan berkata, "Baiklah. Aku ikut maumu." "Nah, gitu dong!" sahut Damian sambil mengacak rambut Hana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD