Bab 2. Aset RSJ Wija

1066 Words
*** Direktur Utama RSJ Wija masuk ke ruangan pribadinya. Pertama kali dalam hidupnya setelah puluhan purnama terlewatkan, mata tua Wira mendapati Arziya Windira, putri tercinta yang pernah ia tinggalkan bertahun lalu duduk di kursi tamu. Sedang menunggu kedatangannya. Wira merasa dunia yang sempat gelap menjadi terang lagi. Rindu yang pernah ia tahan hingga belasan tahun akhirnya tersampaikan juga. Ziya berlari memeluknya. Setelah itu melepasnya dengan cepat. Membuat Wira menggelengkan kepalanya sambil terkekeh. Wira tidak marah. Bahkan ketika tak satupun kata rindu terucap dari bibir putrinya. Menetap bersama Firda dan suami barunya barangkali membuat Ziya sedikit melupakannya. Apalagi alasan yang Ziya katakan ketika ia memutuskan untuk datang kemari adalah karena bosan dan terpaksa. Namun, berbeda seratus sembilan puluh derajat dengan apa yang telah ia ketahui. Ziya membutuhkan suasana baru. Tentu dengan senang hati Wira menerima Ziya karena sesungguhnya yang memisahkannya dengan Ziya adalah Firda. "Papa kenal dokter Dias Pratama, nggak?" Wira baru saja mendudukan dirinya di kursi kebanggaannya saat putri semata wayangnya itu bertanya. Wira mengernyit heran kendati ia tahu siapa yang putrinya maksud. "Ada urusan apa kamu sama dokter Dias, Zi?" dari pertanyaan itu Ziya sadar Papanya mengenal dokter Dias. Arziya Windira mencebikan bibirnya. "Nyebelin Pap, masa ngebentak Ziya di depan cewek gila," jawabnya tanpa perasaan. Wajah Wira yang terkejut mengusik diri Ziya. "Kenapa? Sejauh apa Papa kenal sama dokter sinting itu?" tanyanya. "Kamu gangguin Rara, Zi?" tak ada yang bisa membuat seorang Dias berteriak panik kecuali Dwiratifa seorang. Wira tahu betul akan hal itu. Sebagai direktur utama di rumah sakit jiwa ini, Wira sangat menghargai kinerja Dias sebagai seorang dokter jiwa. Tak sekali pun Dias mengeluh dalam menangani pasiennya, terlebih itu Rara. "Ohh jadi namanya Rara? Cewek gila berkepang dua? Dasar aneh!" Wira tidak tahu dari mana sikap menyebalkan yang putrinya miliki ini berasal. Barangkali tinggal di luar Negeri dalam waktu yang cukup lama membuat Ziya tak memperhatikan ucapannya. Wira menyayangkan hal itu. Didikan mantan istrinya ternyata seperti ini. Nol besar. Apa lagi pakaian yang Ziya kenakan betul-betul di luar bayangannya. Putri kecilnya yang dulu teramat santun dan manis berubah drastis bagai tak mengenal budaya tanah airnya sendiri. Wira menghela napas dengan berat. "Jangan bicara seperti itu, Zi. Rara sangat berarti bagi dokter Dias," ucap Wira. "Papa juga belain cewek sinting itu?" tatapan mata Ziya menunjukan ketidak percayaannya atas perkataan Wira. Bertahun-tahun tidak bertemu ternyata membuat papanya tak lagi peduli pada perasaannya. Papanya memang memberikan pelukan sebelum duduk di kursi kebanggaannya beberapa saat yang lalu, tetapi bagi Ziya itu belum cukup. Ziya menginginkan perhatian lebih, termasuk pembelaan untuknya atas sikap kurang ajar dari seorang dokter Dias Pratama. "Cewek gila itu hampir bikin aku jatuh, Pa!" kekesalan tampak jelas pada wajah Ziya. "Baru hampir, Zi. Kamu belum jatuh. Tolong maklumi Rara, dia nggak seperti kamu yang punya pemikiran normal," Wira sama sekali tak mengharapkan perdebatan di antaranya dan Ziya. Namun, Ziya harus diberi pengertian karena Rara memiliki keterbelakangan mental. Berbeda dengan Ziya yang memiliki pemikiran normal. Hanya saja, dapat Wira lihat, Ziya belum dewasa meskipun umurnya sudah Dua Puluh Dua tahun. "Terserah Papa! Kayaknya aku pulang aja," marahnya Ziya tak main-main. Tentu ia kecewa akibat tidak mendapatkan dukungan dari Wira. Ziya merasa dikhianati oleh papanya sendiri. Wira segera mendekati Ziya. "Jangan marah dong, temanin Papa makan siang ya?! Sekalian Papa ajak ke butik-butik berkualitas," bujuknya. Ziya mengerutkan dahinya. "Beneran? Beliin Ziya pakaian?" tanyanya bagai anak kecil yang baru saja ditawari mainan keren. Wira mengangguk singkat. "Apapun yang anak Papa ini mau akan Papa belikan," lalu senyum Ziya terbit sangat lebar. Membuat Wira semakin yakin kalau pemikiran putrinya belum dewasa. Wira menelpon asistennya terlebih dahulu sebelum meninggalkan ruangan. Membawa putri satu-satunya itu berkeliling sebentar adalah tujuannya. "Kabar Mama kamu gimana, Zi?" Wira memecah keheningan di dalam kendaraan roda Empat itu. "Baik," sahut Ziya tak bersemangat. Pasalnya, penyebab utama dirinya kembali ke Indonesia adalah karena mamanya juga. Namun, Ziya tak ingin mengingatnya. Memilih berada di sisi papanya adalah pilihan Ziya yang sekarang. Tinggal bersama mamanya dan mengukir kenangan bertahun-tahun ini adalah masa lalu yang sebaiknya dikubur saja. "Kita mau makan di mana, Pa?" sengaja Ziya mengalihkan pembicaraan. Wira mengerti. Bukan tak tahu kenapa Ziya akhirnya pulang setelah sekian lama menolak berada di sisinya. Wira tahu semuanya, tetapi dia akan menyimpan segala rahasia itu sampai Ziya sendiri yang akan menceritakannya. Kini, Ziya boleh saja terpaksa datang padanya, tapi Wira pastikan Ziya akan merasa bersyukur karena telah memilih kembali ke Jakarta dan tinggal bersamanya. "Makan di restoran jepang, mau?" tanya Wira. "Mau, Pa." sahut Ziya. Makan siang plus belanja apapun yang Ziya inginkan berjalan dengan lancar. Wira akhirnya kembali membawa Ziya ke rumah sakit. "Oya koper kamu sudah di antar Pak Tarman ke rumah Papa, kan?" dijemput dari bandara oleh supir pribadi papanya membuat Ziya tak perlu memesan taksi lagi. Koper pun sudah dibawa pulang oleh supir papanya itu setelah mengantarnya sampai ke rumah sakit. Ziya mengangguk singkat. "Sudah Pap," jawabnya. "Bagus! Sekarang kamu langsung ke ruangan Papa aja ya, tunggu di sana. Papa mau ke mereka sebentar," Wira menunjuk sekumpulan dokter lelaki diujung koridor sana. Entah sedang mendiskusikan apa. "Aku ikut Pa!" bukan karena penasaran dengan obrolan mereka atau urusan papanya, Ziya hanya ingin melihat lebih dekat kumpulan dokter ganteng di sana. Syukur-syukur ada yang nyangkut padanya, pikir gadis itu jenaka. "Ikut?" Wira sedikit curiga. Ketika Ziya mengangguk antusias, Wira pun mengedikan bahu terserah. Membuat Ziya mengekor di belakangnya dengan senang hati. Senyum cantik Ziya sejak tadi terukir indah, siap untuk dipamerkan pada sekumpulan dokter RSJ Wija. "Mas dokter di Wija ganteng-ganteng ya?! Nggak apa-apa deh gue gila, asal yang rawat mereka!" Ziya terkekeh sendiri atas apa yang dirinya pikirkan. Secepat pikiran itu muncul, secepat itu pula Ziya menemukan sesuatu yang bisa membunuh kebosanannya selama berada di Indonesia. "Aset Wija nggak main-main," bisik Ziya yang diiringi kekehannya sendiri. Sudah tidak diragukan lagi, RSJ Wija bukan hanya dihuni pasien gila saja, tapi juga dokter tampan, pintar dan mempesona. Ziya sudah tidak sabar untuk mendekati mereka. Entah seperti apa nanti hari-hari yang akan ia lalui, tetapi Ziya pikir sanggup menghapus kenangan buruknya selama ini. Ziya merasa tak salah datang ke Wira demi menjauh dari Firda. Ziya yakin papanya akan memberinya perhatian yang selama ini ia rindukan. Ziya pasti bisa menunjukan pada Firda bahwa ia sanggup bahagia tanpa mereka. Apa lagi di sini papanya tidak menikah lagi. Anak papanya hanya dia seorang. Ziya yakin bisa mendapatkan perhatian dari Wira seutuhnya. . . To be continued.  Jangan lupa bantu penuhin target ya wkwk
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD