Asmara Rindu

4258 Words
“Nala.” Tangannya dilepas dari genggamanku. Bukan maksud tak tahu terima kasih sudah ditolong. Aku betul-betul dibikin kesal lantaran kamera yang tadinya ikut berjuang menghadapi mara bahaya demi meliput situasi demontrasi ricuh harus jatuh di lokasi dan tak dibawa serta. Harganya memang sangat mahal, namun bukan itu yang aku sayangkan, melainkan foto-foto di dalamnya. Foto terakhirku bertemu Papa ada di sana! Ketika aku berlibur ke Australia sekaligus mengunjunginya karena rindu, aku mengabadikan tiap momen kami melalui lensa kamera kesayanganku. Kamera itu hadiah ulang tahunku dari Papa. Aku hobi fotografi. Selain mengabadikan keindahan, aku senang mengabadikan peristiwa dari seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia yang dengan menyedihkan harus aku cintai. Bukan karena akan kehilangan honor dari kantor media cetak, aku menangisi hadiah yang menjadi saksi bisu kenanganku bersama Papa. Kamera itu mau tak mau harus aku temukan kembali, kendati keadaannya mengenaskan. “Saya mau kembali ke tempat tadi, mencari kamera saya,” kataku sembari perlahan bangkit. “Ya ampun!” Nala menepuk dahinya. Raut wajahnya menampakkan kejengkelan yang berusaha ia tahan. “Saat ini nggak mungkin kamu balik ke sana. Kemungkinan polisi masih mengamankan lokasi dan menangkap siapapun yang diduga dalang dari kerusuhan. Apalagi kamu ini tampang-tampang mahasiswa. Dikira kamu juga terlibat aksi demo kotor tadi!” Bola mataku terputar jengah. Aku tak mengharapkan perhatiannya. Juga tidak berharap kebaikannya mengantarku pulang. Tanpa memasukkan ucapannya ke dalam telinga, aku berlalu dengan langkah gusar meninggalkannya di tempat ini. Sempat kutangkap ekspresi tercengangnya mendapati aku yang keras kepala tak bersedia menuruti perkataannya. Aku ngeloyor dalam langkah cepat, berlari kecil tak mengacuhkan perih di dahiku. Sampai di depan rumah sakit, aku berhenti dan menoleh ke belakang. Tak ada tanda-tanda pemuda itu mengekor di belakangku. Sekiranya ia tidak lagi peduli pada nasib dan keselamatanku. Hendak aku melambaikan tangan pada sopir taksi yang mangkal di sepanjang trotoar rumah sakit seandainya aku tak ingat bahwa tas yang mulanya aku genggam tak ada. Sialan, pasti bocah itu yang membawanya. Baru saja ia terbayang di pikiranku, keberadaannya menepikan kejengkelanku. Motor sportnya yang seolah berteriak di depan mukaku berkata ‘dia bukan orang sembarangan, Nirbita’ muncul mengagetkan. Di balik kaca helm yang ia buka, dipandangnya aku malas. Tas ransel merah milikku berada di tangan kirinya, lantas ia lempar tepat kena mukaku. Spontan, aku mendekap dan memelotot padanya. “Biasa aja dong, Mas,” sengalku. “Naik.” “Heh?” “Naik! Aku anterin ke tempat tadi.” Malaikat baik di atas pundakku berbisik di telinga, berkata aku tak boleh ikut dengannya. Sebab bisa saja pemuda itu berniat buruk padaku. Lihat saja gayanya yang petakilan. Melalui gestur tubuh dan caranya berbicara aku sudah dapat menarik kesimpulan bahwa ia memiliki tidak kurang dari dua puluh persen sikap lembut pada perempuan. “Nggak ah. Bisa-bisa kamu culik saya.” Teringat olehku banyaknya kasus penculikan mahasiswi di kota ini. Melengos, aku memilih jalan kaki menyusuri trotoar, menjauh darinya. “Ya udah.” Ia melajukan motornya meninggalkan aku. Padahal ekspektasi dalam kepalaku tak hentinya menggumam ia akan membujukku agar bersedia menerima tawarannya. Kepalaku yang pening celingukan di antara lalu-lalang manusia yang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Nala benar-benar membiarkan aku pergi sendiri. Ia tak muncul lagi, bahkan sampai aku memutuskan memanggil taksi untuk mengantarku ke Jalan Tunjungan. Lokasi kerusuhan demonstrasi diamankan oleh polisi, meninggalkan sisa-sisa seperti pecahan batu, beling, darah berceceran, yang membuat aku mual dan geleng-geleng kepala. Salah seorang polisi pada mulanya melarangku menerobos lokasi kerusuhan sementara waktu, namun aku menegaskan padanya bahwa aku seorang wartawan yang kehilangan kamera dan ID Card—aku tekankan padamu, aku bukan wartawan. Polisi yang menghadangku memberiku akses dengan pengawalan. Kuingat kali terakhir aku berada di tempat ini untuk mengambil gambar. Tak jauh dari tikungan, di sebelah pertokoan. Aku lekas berlari kecil mencari-cari keberadaan kameraku. Rasa pening aku tahan, sembari celingukan dan menjarah pandangan pada jalan-jalan dan trotoar. Namun nihil, aku tak mendapatkan kameraku. Kedua telapak tangan aku katupkan pada bibir. Aku berputar-putar, celingukan, seperti orang linglung. Kameraku betul-betul hilang. Dokumentasiku lenyap! Didera kepanikan dan tak kuasa membendung air mata yang bergumul saling mendesak di pelupuk mataku, aku menangis di sana saat itu juga. Lututku lemas. Praktis, aku duduk menekuk kedua lututku meratapi hilangnya benda berharga itu.   *   Asrama tampak sepi. Memang, tidak banyak mahasiswa yang memilih tempat ini sebagai rumah kedua mereka. Kamar-kamar yang terisi hanya bisa dihitung dengan jari. Dan dari sekian penghuni asrama, hanya Kiara yang akrab dan menjadi temanku di sini. Begitu aku pulang, teman-teman asrama melayangkan perhatian padaku secara serentak dari sofa. Televisi mereka duakan demi memerhatikanku. Mereka memanggil namaku, tapi tak kupedulikan. Aku melenggang lesu melewati ruang televisi, mengabaikan beragam tatapan yang ditujukan padaku, masuk ke kamar. “Kenapa kamu? Kok berdarah gitu dahinya?” Kiara duduk di sebelahku dan meminta aku memperlihatkan luka di dahiku. Mulai aku ceritakan secara sporadik kejadian siang tadi. Mulai dari kenekadanku memasuki lokasi kerusuhan demo, dihantam batu, dan ditolong seseorang yang tak punya etika. Mendengarkan cerita panjang lebarku, Kiara hanya membeliak sambil berwah-wah ria. Ia berdecak, ikut menghakimi kenekadanku. “Kayak begitu mah udah biasa, Ra,” aku membela diri. “Sekarang yang aku pentingkan itu kamera. Kameranya ilang di sana. Udah gagal dapat honor, kena lemparan batu, dibikin bete sama cowok juga!” Aku memijit kepalaku yang berdenyutan. “Yeee! Emang kamu aja yang nggak tahu terima kasih. Terus, dia nggak nganterin kamu pulang?” “Mana mau nganterin pulang. Udah keburu bete juga sama aku. Cau gitu aja deh.” “Ya udah, istirahat gih.” Kiara menepuk-nepuk pipiku. “Duh kacian... Lain kali kalau main jangan yang berbahaya ya, Dek.” Tanganku melayang meninju bahunya. “Apaan sih. Jadi ikutan nyebelin kayak Abimanyu gini!” Ia terbahak. Ditinggalkannya aku di dalam kamar, sementara ia berpamitan mandi dan bersiap-siap pergi bersama Rama. Ini malam minggu, sudah sepantasnya Kiara yang lama berhubungan dengan Rama memenuhi jadwal kencan berdua. Alih-alih tidur, aku justru menyambar kertas dan membuat puisi singkat. Tadinya aku ingin mengkhayalkan sosok Bhisma. Wajahnya yang memenuhi kepalaku mendadak lenyap digantikan Abimanyu. Bayangannya yang tetiba muncul di kepalaku—seperti ia yang gemar muncul bak hantu—malah membuat aku tersenyum macam orang sinting. Abimanyu. Sebab apa aku jadi begini? Aku tahu, ia hanyalah teman yang bukan tanpa sengaja dipertemukan denganku. Mungkin ini yang namanya takdir. Tuhan mempertemukan seseorang bukan tanpa arti, kan? Maka, kutulis bait-bait puisi seraya membayangkan bagaimana sosok Abimanyu. Wajah kalemnya yang sangat tampan dengan dua lesung pipi yang muncul ketika ia tersenyum. Matanya yang menyorot teduh dan lembut. Perhatiannya padaku. Seperti bukan hanya diberikan dari seorang sahabat untuk sahabat. Bukan pula dari seorang kakak untuk adik... Menyelesaikan puisi yang tergambar dari sosok Abimanyu, aku meraih gitar di samping ranjang. Mataku terbagi antara kertas puisi dengan senar yang kini bersetubuh dengan jemariku. Memulai nada awal, aku menerka-nerka nada mana yang sekiranya cocok untuk penggalan puisi ini. Lama aku menyelami nada-nada dan menyanyikan lagu yang aku buat ini. Sampai suaraku tenggelam oleh sebuah nyanyian lain. Nyanyian seorang wanita dan kikik tawa anak-anak kecil. Spontan aku berhenti menyanyi. Aku edarkan pandangan ke seantero tempat; nyanyian itu masih terdengar, ditambah tawa cekikikan bocah-bocah yang terdengar makin lantang. Perlahan-lahan, kamar tidurku yang semula bercat coklat muda mengabur menjadi tempat lain. Hijau, mendominasi tempat ini. Hijau berasal dari tetumbuhan dan pepohonan yang bergesekan membawa aroma kedamaian. Perlahan aku bangkit dari ranjang. Mataku tak lepas dari pemandangan kehijauan di depan sana. Di atas bukit yang hampir bersentuhan langit biru. Wanita yang menyanyi tampak di depanku dengan gaun kelabu berenda tipisnya. Di sebelahnya, hadir tiga lelaki paruh baya memainkan seruling, biola, dan harpa. Beberapa meter di sekelilingku bertebaran pondok-pondok kecil berbahan batu bata dengan aktivitas pemiliknya, seperti menumpuk jerami dan memotong rumput tinggi. Lama aku termenung, seseorang mendadak menyentuh dan menggenggam tanganku. Menoleh, aku sudah menemukan Abimanyu. Ia mencium punggung tanganku dengan selipan senyum lembut yang aku suka. “Seorang pangeran tentu tak akan menjadi sempurna tanpa tuan putrinya, bukan? Mari, Dandelion.” Aku terbahak. Diajaknya aku melangkah mendekati wanita yang bersenandung itu, diikuti bocah-bocah yang semula memenuhi telingaku dengan tawa mereka. Di genggaman Abimanyu, aku diajak berdansa, dikelilingi bocah-bocah yang cekikikan riuh. Di antara mereka, beberapa gadis kecil mengenakan gaun putih, krem, dan ungu, berhiaskan mahkota bunga-bunga yang dijalin di atas kepala mereka. Sedangkan yang lelaki berbalut kemeja dan celana yang disingsing hingga mata kaki. Sejenak, aku tinggalkan duniaku. Sejenak. Sejenak.   *****   Meja makan telah dipenuhi piring-piring berisi lauk-pauk yang disajikan Maman. Ia menguliahiku—lagi!—setelah gagal meredakan amukan Papa begitu mengetahui nasib mobil yang ia hadiahkan. “Mangkane, Le. Dadibocahojo begajulan. Tuh, lihat adikmu. Dia nggak pernah bikin ulah kayak kamu.” Sabrang yang barang tentu sudah lelah mendengarkan pujian baik dari Papa maupun Maman hanya mengedikkan bahu, menikmati makan malam tanpa suara. Padahal aku tahu dalam hatinya ia memaki dan menertawaiku karena gagal menjadi anak kebanggaan. “Kalau Papa pulang dan kamu dihukum, Maman nggak ikut-ikutan lagi.” Kalau Maman sudah mengomel, lidahku enggan membantuku berkelit. Aku dengarkan saja ia yang mengomel sembari menyiapkan makan malam untuk kami. “Lusa Tante ngadain arisan keluarga besar di rumahnya. Kalian jangan ke mana-mana. Papa besok sampai di bandara, Maman mau jemput.” Garpu di genggaman Maman diarahkan padaku, seakan ingin mencolokkannya di mataku. “Kamu jelasin sendiri ke Papa.” “Porquoi—kenapa?” aku mulai angkat bicara. “Kenapa Papa pulang cepat dari panti asuhan orangutannya itu?” Sudah tiga bulan ia tak pulang. Anak-anaknya di Kalimantan, maksudku orangutan itu, lebih ia sayang daripada anak-anaknya di sini. Sebetulnya aku senang kalau Papa tak kunjung pulang. Kalau ia pulang, bisa-bisa aku dikuliahi sehari semalam dan ditahan di rumah, tidak boleh mengikuti demo kotor lagi. “Kamu nggak seneng Papa pulang?” Maman mendelik. “Loh, bukan cuma aku. Maman juga nggak seneng kalau Papa pulang. Maman nggak bisa leluasa kan jalan sama temen-temen kuliah dan—” Mataku sengaja aku jatuhkan pada puntung rokok di atas asbak yang digeletakkan dekat meja kayu beberapa meter dari meja makan. “Apa? Kamu mau ngancem Maman? Anak kurang ajar.” Maman buru-buru menghampiri puntung rokoknya yang sudah mati dan membuangnya ke dalam tong sampah. “Non.” “Pragmatikmu itu loh. Diajari siapa kamu bisa nyindir Maman kayak gitu, heh?” Ia berkacak pinggang. “Tu m’as appris (kau yang mengajariku).” Aku melanjutkan makanku, tidak terlalu merisaukan mata Maman yang kini dikobari api. “Malam ini setorin lima puisi di meja Maman. Itu hukuman kamu.” “Aku salah apa sih, Ma?” nadaku meninggi. “Kamu salah sudah membantah orangtua!” Ya... aku tahu ini bentuk kejengkelannya terhadap sikapku yang bisa saja melapor pada Papa. Daripada dibebankan hukuman lain yang malah membakar otakku ini, lebih baik aku menuruti saja perkataannya dan diam. Ia duduk lagi di kursinya dan menyantap makan malam seraya tak henti-henti melirikku seakan sudah menyiapkan segala jenis ultimatum untuk ditembakkan ke arahku bila sewaktu-waktu aku melapor pada Papa bahwa ia masih merokok diam-diam. Malam itu juga aku melembur demi mengerjakan hukuman Maman. Membuat lima puisi dalam semalam, adakah yang lebih menyiksa daripada hukuman ini? Aku menikmati puisi, tapi tidak jika sudah diminta membuatnya. Beginilah nasib memiliki seorang ibu mantan jurnalis dan kritikus sastra. Setidaknya, aku beruntung tidak dinamai teori-teori sastra seperti halnya Pak Herman menamai anak-anaknya. Coba kau bayangkan saja jika Maman memberiku nama Pragmatik Renoir? Semiotik Renoir? Analisis Wacana Renoir? Bisa-bisa aku bunuh diri menanggung ledekan teman-temanku seumur hidup. Tinta sudah aku jatuhkan pada kertas polos di hadapanku. Belum ada sama sekali sepatah kata yang mengintip di celah pikiranku. Menghela nafas panjang, aku memulai kalimat pertama:   Di tepi danau itu...   Haassssuh! Otakku ini mengapa jadi bebal! Tak ada inspirasi nyangkut di kepala. Tidak ada satu pun! Aku meremas kertas itu setelah mencoret-coretinya tak beraturan. Kulempar buntalan kertasnya menuju tempat sampah. Sekali lagi, aku berpikir keras membangun imajinasi untuk satu puisi pertama. Ini baru satu, belum empat yang lain.   Ada sehelai...   Sehelai apa? Sehelai kain? Sehelai bulu? Bulu apa? Bulu burung? Bulu d**a? Bulu apa! Lagi-lagi aku meremasnya menjadi buntalan dan mengacak-acak rambut frustrasi. Daripada membiarkan kepalaku terbakar, aku istirahatkan saja sebentar. Seleret ingatan menubruk kepalaku, membawaku lekas menghampiri tas ransel dan mencari-cari sesuatu di dalamnya. Tanganku berhasil mengangkat sebuah kamera canon yang lensanya telah pecah menciptakan lakuna besar di sana. Kuamat-amati benda ini. Kamera milik bocah sableng yang memperkenalkan dirinya dengan nama... siapa namanya tadi? Narita? Nobita? Ah, persetan siapa namanya. Aku mengambilnya di lokasi kerusuhan demo tadi sebelum ia berhasil menemukannya lebih dulu. Menghidupkan laptop, aku colokkan kabel untuk menyambungkan data di dalamnya. Untunglah kamera ini masih berfungsi. Aku kira, hanya lensanya yang perlu diganti. Foto-foto di dalam kamera ini aku pindahkan ke laptopku dan membukanya satu per satu. Foto bentang alam kehijauan seperti sepetak sawah, petani membajak sawah dengan kerbau, bocah balita menangis, ibu menyusui, nenek-nenek penjual koran, pengamen jalanan, tugu pahlawan, patung malaikat di makam Peneleh, jembatan Suramadu, seorang ibu menangisi anak balitanya yang mati kelaparan di tangannya. Sialan, anak ini berbakat menjadi fotografer. Lantas tak terlewatkan olehku, foto-fotonya sendiri di Australia, bersama seorang pria jangkung kurus berkacamata. Oh, mungkin ini Papanya. Alih-alih keindahan Australia yang ia abadikan, justru kegiatan Papanya di sana yang ditangkap lensa kameranya. Menulis sesuatu—seperti kertas partitur?—dengan wajah serius, memainkan piano, memainkan cello, memainkan biola, melatih paduan suara, dan fotonya sendiri tertawa bersama Papanya di balik grand piano. Aku tidak tahu ada relasi apa gadis ini dengan Padang Bulan, namun melihat foto-fotonya, ada seseorang yang seakan dengan sengaja membisikkan nama Padang Bulan di telingaku. Nah, Padang Bulan. Yang aku yakini sangat seksi dari semua karya buatannya. Aku menyambar bukunya di rak bukuku dan membukanya. Aku pilih lima puisi buatannya yang akan kubalas.   Kasihku, ketakutan telah merenggutmu dariku Di tanah neraka yang keji ini, kau bersimbah darah Mayat-mayat yang kau lihat bangkit dari kematian, menari-nari dalam lintas langit kelabu dan hujan yang tercurah seperti membisikkan tangisan dewa   Aku tak berhenti menulis balasan puisi-puisi Padang Bulan seakan ia memang pacarku dan kami berhubungan melalui tulisan. Selain memberikannya pada Maman, akan kuposting karya-karya balasan ini agar si Padang Bulan membacanya dan siapa tahu kami berjodoh. Mulai kubayangkan seperti apa Padang Bulan ini. Sebahenol Djenar Maesa Ayu? Seeksotik Laksmi Pamuntjak? Secerdas Ayu Utami? Secantik Dewi Lestari? Semisterius Intan Paramadhita? Sambil terus mengkhayalkan rupanya, aku tak berhenti menuliskan balasanku untuk puisi-puisinya. Ah, Padang Bulan. Aku benar-benar jatuh cinta padamu. Aku harus segera menemukanmu, mencumbumu, dan bercinta denganmu!   *   Adakah yang lebih sial lagi hari ini daripada terlambat memasuki kelas Filsafat Sosial yang diajar oleh Pak Herman? Lima belas menit terlambat memasuki kelas, aku berdiri di balik pintu seraya berpikir apakah lanjut masuk ke dalam atau bolos untuk ke sekian kalinya. Biasanya kalau aku bolos, aku titip absen pada Jarwo—dan perlu mengancamnya dengan memotong tititnya kalau ia tak menuruti perintahku. Masalahnya, Pak Herman bukanlah tipikal dosen cupu yang bisa-bisanya ditilap mahasiswa. Ia tak akan membiarkan mahasiswa yang mengikuti kelasnya titip absen dan keluyuran seenak udelnya. Pak Herman rajin mengabsen mahasiswa-mahasiswanya dan tak jarang menjatuhi hukuman bila memergoki mahasiswanya bermain curang. Baru aku berpikir demikian, pintu dibuka. Buru-buru aku sembunyi di balik tembok, mengintip keluar melihat Pak Herman merapikan kerah kemejanya dan berjalan tegap keluar kelas, menuju toilet pria. Segera saja aku melesat memasuki kelas, mengabaikan pandangan kawan-kawanku yang barangkali meneriakkan ‘Berani banget lu masuk ke dalam!’ dan duduk di barisan paling belakang seraya mengatur napas. Aku harus bersikap natural, agar tak terlihat kalau aku baru memasuki kelas. Selang beberapa menit, Pak Herman kembali lagi duduk di kursinya. Ia terkejut melihatku sudah ongkang-ongkang kaki di barisan belakang. “Nala, sejak kapan kamu ada di sana!” Ia berdiri tegap. “Sejak tadi lah, Pak.” “Saya tidak melihat kamu tadi!” “Lah dari tadi saya sudah duduk di sini. Ya nggak, Fer?” Aku menoleh ke arah Fera di sebelah kursiku, ditambahi kerlingan mata menggoda. Ia mengangguk membelaku. “Iya kok, Pak. Dari tadi dia udah duduk di sana. Bapak kali yang nggak ngelihat.” Pak Herman memilin kumis panjang melintangnya yang menggodaku untuk mencukurnya sampai gundul. Ia berbalik badan tak mengacuhkanku lagi. Dilanjutkan lagi penjelasannya yang sempat tertunda, meski aku tahu ia tak rela aku lolos dari hukumannya. “Merci, Sayang,” aku berbisik tepat di telinga Fera sebagai tanda terima kasihku. Ia pandang aku kosong dengan nafas panjang-pendek. Dua detik berikut badannya ambruk di lantai disusul seruan teman-teman sekelas memanggil namanya. Aku menggeser kursiku menjauh, pura-pura tak mengenalnya.   *   Dunia rupanya sesempit daun kelor. Aku tidak tahu kalau bocah sableng yang pernah nekad memotret kerusuhan demo kotor tempo hari satu kampus denganku. Ia berlarian kecil keluar dari Fakultas Humaniora, berbelok melewati fakultasku. Aku ikuti ia dari belakang. Ia berhenti di tempat fotocopy, mengeluarkan kertas-kertas dari dalam map di tangannya sambil mengomel. “Cepetan dong, Mas! Dokumennya harus selesai ditandatangani hari ini!” “Sabar ya elah. Sini sini.” Gadis itu menunggu seraya mengetuk-ngetukkan jemari di atas kaca etalase. Pandangannya dibagi antara tukang fotocopy dan jam di pergelangan tangannya. Aku mendekat, berpura-pura melihat-lihat buku yang sudah difotocopy dan dijilid di atas etalase. Kuperhatikan ia dengan saksama, mulai dari rambutnya yang dikuncir sampai ujung sepatu kets abu-abunya. Kemeja kotak-kotak merahnya dibiarkan terbuka menampakkan tank top hitamnya, sedangkan jinsnya ditekuk memperlihatkan mata kakinya. Berbalik badan memandangku, ia terperanjat kaget, membuka mulut sambil mendelik seperti dihadapkan Nyi Blorong. “Kamu ngapain di sini?!” “Heh?” Aku menunjuk mukaku. “Iya, kamu kenapa ada di sini? Pasti ngikutin saya ya?” “Dih, ngapain ngikutin kamu?” Tukang fotocopy menyodorkan kertas-kertas panas pada gadis sableng ini. “Ini, Mbak.” “Taruh di situ!” ia membentak, membuat tukang fotocopy berjengit dan menghindar darinya. Perhatiannya dialihkan padaku lagi. Sambil berkacak pinggang, kepalanya tengadah berhadap-hadapan denganku. “Kamera saya resmi ilang. Kalau kamu nggak nganterin saya balik ke sana waktu itu, pasti kameranya masih ada.” Lah? “Bukannya kamu sendiri yang menolak aku anter?” “Harusnya kamu bujuk saya! Usaha dikit kek.” Tahu begini aku tak mengikutinya tadi. Aku tepuk etalase cukup keras dan bertolak pinggang menanggapi kemarahannya. “Kamu butuh piknik kayaknya.” Tangannya dilambai-lambaikan di udara. “Sudah ya, saya nggak mau ada hubungan lagi dengan kamu. Ini pertemuan terakhir kita. Saya harus segera menyetorkan kertas-kertas ini biar ditandatangani dekan. Saya juga harus mengurusi acara puncak di departemen saya malam ini. Dan tolong, jangan ikuti saya lagi. Oke?” Ia menyambar kertas-kertas fotocopy miliknya dan berlari pergi seperti maling dikejar polisi. Mataku mengekori map yang ia tinggalkan. Mulutku terbuka hampir meneriakkan namanya, tetapi ia lenyap kelokan. Tadinya aku berniat meninggalkan map itu biar ia sendiri yang mengambilnya. Namun melihat isi di dalamnya yang berisi partitur dan kertas-kertas penuh dengan kata-kata, aku pungut map itu, membawanya pergi.   *   Kertas partitur di dalam map berwarna merah jambu aku keluarkan lebih dulu sesampainya aku di basecamp. Di atas pojok kanan kertas tertulis namanya lengkap: Nirbita Arunika. Oh, Nirbita. Ia yang membuat not-not balok ini? Kuperhatikan dengan saksama not-not balok yang dibuatnya dan lagu yang ia tulis di bagian bawah paranada. Kata-kata yang disusunnya begitu indah, seperti sebuah lagu yang diciptakan dari sebuah puisi. Sayang sekali basecamp ini tak memiliki piano. Aku simpan saja partitur ini dan memainkan lagunya kalau pulang nanti. Kertas lain akan aku keluarkan dari dalam map, namun keberadaan suara seorang perempuan menepis keinginanku menggeledah isi map Nirbita. “Where is... Anarki?” “Mara!” Mataku berkedut tegang mendengar nama itu disebutkan teman-temanku lantang—yang barangkali sengaja mereka lakukan agar sampai di telingaku. Melenggang ke depan, aku memasang tampang ‘biasa’ saja untuk mempertegas bahwa aku memang baik-baik saja, tiada yang perlu kukhawatirkan mendapatkan dirinya ada di sini. Di depanku kini berdiri seorang perempuan bertubuh tinggi semampai, rambut bergelombang panjang sepunggung, bibir merah menggoda, paha mulus di bawah hot pans, kaki jenjang bersepatu bot pendek, dan d**a sintal yang tersembunyi di balik tank top hitam di atas perutnya, memamerkan anting kecil yang ditindik di pusarnya. Di pundaknya yang telanjang itu, ada tato ular melingkar-lingkar melewati lengannya. Aku merentangkan tangan menyambut kedatangannya. “Asmara Rindu, sayangku!” Ia melangkah anggun mendekat. Dan sejurus kemudian tamparan keras menghentak pipiku, menciptakan nyeri dan panas yang menyemut jadi satu. “Sekali lagi kamu ninggalin aku tanpa pamit, aku colok matamu yang terlalu indah itu dengan pisau.” “Pardon, Sayang. Kamu masih marah?” Ia memutar bola matanya ke atas. Tubuhnya merespon kehadiran Hana yang ikut keluar mendengar keributan di luar. Aku tahu dua perempuan itu bagai air dan minyak yang tak akan bisa disatukan. Hana menengadahkan kepalanya—bukan hanya karena Mara terlalu tinggi untuknya, melainkan juga memberinya gestur menantang. Sebelah alis Mara terangkat skeptis. “Aku kira kamu udah mati dikeroyok polisi pas demo.” Hana membuka mulut tak percaya. “Eh, jalang busuk, ngapain kamu di sini?” “Me? Nggak ada urusannya sama kamu kok, tenang aja.” Mara menggelayut mesra, menggantungkan tangannya pada leherku. “Aku ada urusan sama dia. Urusan ranjang yang belum kelar.” Sudut bibir Hana berkedut. Ia berbalik badan, melangkah gusar. Begitu rivalnya menghilang dari hadapannya, Mara menjauhkan diri dariku, mengamatiku dengan sepasang mata membidiknya. Aku jelaskan padamu sebelumnya, ia bukan pacarku. Bukan. Ia bukan tipikal gadis yang mudah diajak berkencan, itu poin pertama. Yang kedua, ia lebih senang berhubungan tanpa ikatan. Dan yang ketiga, aku bisa habis di tangannya. “Duduk dulu, Sayang. Perjalanan kamu panjang, kan?” “Nggak usah manis-manis, nanti aku kena diabetes.” “Kamu datang ke sini, kayaknya bukan cuma masalah di Paris waktu itu, kan?” Mara menatap satu per satu teman-temanku. Mereka yang tadinya menguping pembicaraan kami dengan cepat mengalihkan perhatian menuju kartu-kartu UNO di tangan masing-masing. “Nggak aman ngomong di sini. Banyak kuping. Ke apartemenku aja, yuk.” Banyu Biru terbatuk-batuk hiperbolis. “Beruntung ya jadi orang ganteng. Nggak usah nyari cewek, cewek-cewek udah pada nempel.” “Heh, lanjutin sana. Tuh, kartu-kartu lu diintipin Anta.” Aku menyeret Mara menjauh sebelum teman-teman bangsatku itu mulai berkoar-koar tak berguna.   *   Asmara Rindu—Levesque, nama belakang yang lama ia tinggalkan. Seniman sekaligus mata-mata bayaran yang bekerja mengandalkan tubuhnya. Aku menemukannya lima tahun lalu di Montmartre. Seperti yang aku jelaskan tadi, kami tak terikat hubungan seperti remaja kasmaran. Ia sahabatku, aku sahabatnya. Dan kami sama-sama bertukar keuntungan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Aroma kasturi yang semerbak memenuhi indera penciumanku. Di sudut kamar miliknya, aku melihat sebuah kanvas berdiri tegak, ditorehkan cat minyak membentuk gambar abstrak. Aku duduk di tepi ranjangnya, meraih sebuah buku yang mengabadikan potret koleksi lukisannya sendiri. Mara membuka kelambu, membiarkan sinar matahari merayap masuk menghangatkan tempat yang cukup besar ini. “Kamu yang menuntut kasus pembunuhan Lentera Dewi?” Sebelah alisku tertarik ke atas. Lentera Dewi, mahasiswi yang ditemukan mati di tempat kosnya dan diduga dibunuh. Latar belakang pembunuhan itu, menurut desas-desus, diakibatkan oleh seorang pejabat yang ingin menutupi kebejatannya. Selain itu, menurut beberapa surat kabar, Lentera Dewi dibunuh karena ia dapat membahayakan posisi pejabat ini yang pernah dipojokkan sebagai tersangka penggelapan uang. Atas dasar kemanusiaan, beberapa mahasiswa turun tangan, melakukan aksi di berbagai kota. Termasuk organisasiku yang sangat mengusahakan kasus kematian mahasiswi malang ini segera diusut tuntas. “Kenapa?” “Jangan main api. Kamu bisa kebakar.” Mara menyambar sebatang rokok, menghidupkan korek dan menyulutkan api pada rokok yang kini berada di bibirnya. “Siapapun yang berusaha menguak kasus pembunuhan itu pasti dihabisi. Aku lama menggeluti pekerjaan kotor seperti itu. Menguping, membocorkan rahasia, dan aku paham dunia macam apa yang sedang dimainkan orang-orang berduit kurang kerjaan itu.” Kurebut rokok di tangannya dan menghisapnya. “Berapa lama kamu kenal aku, Mara?” Aku menghembuskannya perlahan. Asap tipis berputaran di udara. “I know you’re clever and brave, Sayang. But, once again, don’t play with a rat. Big Rat.” Ia balik merebut rokoknya, menyundutkannya pada asbak. Aku menyingkirkan rambutnya ke samping sehingga tengkuknya yang dihiasi gambar mawar dan laba-laba tampak di mataku. Kususupkan wajahku di sana, mencium aroma mawar dari rambut dan kulitnya. “I’m a cat, Darling. Big cat.” Ia termangu sejenak, membiarkan aku mencumbu belakang lehernya. Kutunggu ia berpikir, entah pikiran apa itu, aku tidak begitu peduli sekarang. “Ada lagi yang berusaha ikut campur. Mereka mengendus tulisan berbahayanya,” lanjutnya. “Siapa?” Ia menyentuh sebelah pipiku dan memandangku penuh arti. “Fokus utama kita sekarang kamu. Kamu. Kamu kalau nggak berhenti ikut campur, bakal jadi korban selanjutnya.” Tangannya mulai nakal meremas kausku dan meloloskannya dari tubuhku. Sebelum aku menjamah tank topnya, ia yang membukanya lebih dulu, membiarkan lekuk tubuhnya dapat dijarah mataku dengan leluasa. Mara bukan tipikal perempuan yang gemar mengenakan bra, aku katakan padamu. Jemarinya yang lentik menari lincah di d**a dan leherku. “Berhenti, Sayang. Jangan teruskan lagi.” “Berhenti apa, Sayang?” Aku mendorongnya hingga jatuh di atas ranjang. “Jangan bermain-main dengan mereka.” “Kalau main sama kamu boleh, kan?” Obrolan yang tadinya sangat serius harus disingkirkan sementara waktu untuk permainan sore ini. “Katakan, siapa yang kamu maksud tadi?” bisikku di depan bibirnya. “Siapa?” “Yang katamu tulisannya berbahaya bagi mereka.” “Kalau kamu suka baca, pasti kamu tahu orangnya. Maman kamu, aku yakin tahu.” “Siapa namanya?” Ia berbisik di telingaku. “Padang Bulan.” Padang Bulan? Padang Bulan pacar fantasiku? Aku pandang Mara lekat-lekat hingga dapat kutemukan pantulan bayanganku di dalam matanya. “Kamu tahu siapa Padang Bulan?” Mara menggeleng. “Tapi aku bisa bantu kamu mencarinya. But first, let me ask you one question. Kenapa kamu sepertinya tertarik sama... si penulis misterius ini?” Aku sendiri tak bisa menjawab pertanyaan itu dengan mengatakan aku jatuh cinta pada Padang Bulan hanya karena membaca karyanya. Itu t***l. Dan konyol. Dan amat sangat bukan Nala Anarki. Mara bisa menertawai jawabanku. “Cari siapa Padang Bulan, Mara. Cari sampai ketemu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD