Partikelir

4272 Words
Kamarku seperti kapal pecah. Segala jenis pakaian aku keluarkan dari dalam lemari, mencocokkannya dengan tubuhku seraya meminta pendapat Kiara, dan melemparnya di atas kasur kala gelengan Kiara mewakili penolakannya. Sudah hampir jam tujuh, sedangkan aku belum berbenah sama sekali?! Semoga Bhisma bersedia menunggu sebentar saja di tempat kita akan bertemu. “Kalau ini?” Aku memamerkan baju selanjutnya, memadupadankannya dengan badanku. Lagi-lagi Kiara menggeleng. “Eh, pakai yang motif songket waktu itu loh. Kan kamu pernah pakai.” Ia membantuku memilah-milah pakaian di dalam lemari. Kuingat-ingat baju mana yang ia maksud. Aku tak mengingat motif dan bentuk bajuku. Memakai yang bagus saja bila ada acara-acara tertentu. Putus asa tak mendapatkan pakaian yang ia maksud, Kiara meniup poninya hiperbolis. Ia mendesak kepalanya masuk ke dalam dan mengeluarkan b*****h apapun dari dalam lemariku. Musik keras di dalam kamar makin memantik semangatku malam ini. Kiara mendorong seonggok pakaian dan memintaku memakainya segera. Selera berpakaiannya dengan seleraku berbeda. Jika ia mengatakan pakaianku tak cocok, sebaliknya aku menganggap aku nyaman menggunakan itu. Kali ini aku menurut saja padanya, sebab ini kali pertama aku diajak keluar seseorang yang aku suka. Sembari bertekur dengan ponselnya, sesekali Kiara mengamatiku berdandan dan memberi masukan warna apa yang cocok aku gunakan malam ini. Ia menyarankan warna cerah untuk bibirku dan gelap untuk mataku. Serius, aku tak pernah suka warna cerah pada bagian bibir karena sangat mencolok. Lagi-lagi, aku menuruti masukan Kiara yang memang ahli di bidang seperti ini. Waktu aku menengok jam di dinding kamar asrama ini, jarum panjangnya sudah menunjuk angka tiga. Buru-buru aku merapikan pakaian, riasan, rambut, dan menyambar tas sesegera mungkin. Untuk sampai di tempat kami akan bertemu, aku memerlukan taksi. Taksi! Awalnya aku kira ia akan menjemputku, sebab aku tak memiliki kendaraan pribadi di kota ini. Dulu Papa hendak menghadiahkan aku mobil, namun Bunda menolak dengan berkata aku tak boleh bepergian menggunakan kendaraan pribadi. Ia kerap berkata Mbah Watu Asri—entah siapa itu—melarangku menggunakan kendaraan pribadi terkecuali aku memiliki sesosok pelindung. Dan pada usiaku yang baru dua puluh tahun ini, Bunda menceracau aku belum boleh memiliki seorang pelindung. Pelindung yang dimaksud Bundaku ialah sesosok jin. Jin, aku katakan padamu. Jin baik yang datang dari sebuah tempat dan menjadi balatentara bagi keluargaku yang memegang teguh tradisi dan mitos. Keheranan pernah singgah di pikiranku. Mengapa Bunda yang tak akan bisa dijauhkan dari mitos bisa bersatu dengan Papa yang selalu berpikir secara rasional. Mereka menikah, memiliki aku, lantas pisah beberapa tahun karena Papa mengajar di salah satu universitas di Australia sedangkan Bunda tak bisa mengikutinya. Lagi-lagi Bunda menyebut Mbah Watu Asri tak mengijinkan ia keluar dari Indonesia, dari tanah kelahirannya, karena itu berarti melanggar tradisi turun-temurun keluargaku. Sebab, keluarga dari Bunda tak pernah—dan tak boleh—bepergian sampai keluar Nusantara. Hanya aku yang pernah melanggar pantangan tersebut dengan kekeraskepalaanku. Meski tak pernah bercerai, Bunda akhirnya dinikahi seorang polisi berpangkat perwira menengah yang sekarang harus aku panggil ‘Papa’. Taksi berhenti di depan pintu restoran berselang setelah pikiranku berhamburan pergi. Segera aku keluar dari dalam usai menyodorkan lima puluh ribu rupiah dan berlarian kecil memasuki restoran.   Bhisma: Bi, sori, kayaknya aku bakal telat. tunggu aja ya   Pesan itu aku baca begitu kakiku melangkah masuk. Oh, ternyata ia belum kemari. Karena aku sampai lebih dulu, maka aku yang memesan meja di dekat jendela, pada nomor tujuh—itu nomor favoritku. Menunggu Bhisma datang kemari, aku sudah dapat merasakan debaran jantungku yang berusaha keras membuat aku bergerak gelisah. Berulang kali aku bergeser ke kanan atau kiri dan mengetuk-ngetuk jemari pada meja. Di luar perkiraan, aku lihat Abimanyu berjalan khitmad menghampiri mejaku dan duduk di depanku dengan wajah tenangnya. “Ngapain kamu di sini?” tanyaku cukup keras hingga mengundang perhatian pengunjung di depanku sana. “Nemenin kamu,” Abimanyu membalas santai. “Kamu ngikutin aku?” Bahunya terkedik. “Bisa ditebak, kan?” Astaga! Aku tak habis pikir ia bisa mengikutiku sampai kemari. Namun kehadirannya di sini tentu memberikan ketenangan padaku sebelum Bhisma datang. Kami bertukar cerita sebentar sambil aku pesankan minuman untuk kami berdua. Pada mulanya ia menolak, tetapi aku terlanjur memesan satu minuman untuknya. “Mana pasangan kencan kamu? Lama amat datangnya.” Abimanyu celingukan mencari-cari eksistensi Bhisma. Aku menengok pada jam tangan. Bhisma terlambat satu jam. Sudah berulang kali aku mengirim pesan namun tak kunjung mendapatkan responnya. “Pasangan kencan apaan.” Bola mataku terputar. “Setelah dua tahun baru kali ini diajak jalan. Dia mulai suka sama kamu kayaknya.” Ucapannya ibarat api yang membakar tuntas pipiku. “Abimanyu!” Ia menertawai pipiku yang memerah. “Eh, aku nggak bisa nemenin kamu lama nih. Kamu aku tinggal sendiri nggak apa?” Bibirku mencebik, namun kepalaku mengangguk. “Mau ke mana?” “Ada tugas kenegaraan.” “Selalu gitu.” Berdiri dari kursinya, diraihnya kepalaku untuk mengacak-acak rambutku. Aku menghindari tangannya tanpa melenyapkan ekspresi memberengutku. “Kalau kamu butuh aku, pasti aku datang.” Melemparkan senyum terakhirnya, ia melambai padaku dan melangkah keluar dari restoran. Abimanyu, datang dan pergi seperti angin. Tak ada jejak maupun pertanda yang dibawanya. Ia muncul secara tiba-tiba dan menghilang dalam sekejap pula. Ia bagaikan malaikat yang dijatuhkan Tuhan ke bumi khusus menjadi temanku. Yang pasti, ia selalu datang tepat waktu. Tak berselang lama, aku kedatangan seseorang yang sejak tadi aku nantikan. Senyum merekah di bibirku lenyap begitu kulihat dengan siapa ia datang. Seorang gadis yang tak pernah aku kenal berjalan di sebelahnya. Lantas bergabung di meja nomor tujuh pesananku. Ada iblis yang menusukkan trisulanya tepat di jantungku. Seseorang yang aku suka, mengajakku pergi makan malam bersamanya, datang membawa perempuan lain? “Sori lama. Kamu nunggu dari tadi ya?” Bhisma memberikan ekspresi menyesalnya. “Nggak kok.” Perasaanku yang tadinya dipenuhi Cupid beterbangan kini dibumihanguskan secara kejam. “Nggak apa kan aku ngajak Shella gabung?” Kuperhatikan perempuan berambut hitam panjang seperti seorang model itu di depanku dan aku mengangguk berdusta. Belum-belum nafsu makanku jadi hilang. Saat ia memesankan makanan pada pelayan restoran untuk kami bertiga, aku hanya menatap jenuh ke seantero tempat, asal bukan Bhisma dan Shella yang malah mengabaikan aku di meja ini. Keduanya berbagi cerita dan tawa seputar kemacetan panjang dan kejadian memalukan di lampu merah. Ternyata ia tak menjemputku karena datang bersama perempuan di depanku ini. Bagaimana rasanya bila kau jadi aku, heh? “Oh ya, Shel. Nirbita ini yang pernah aku ceritakan sama kamu.” “Oh... ini anaknya.” Apa kiranya yang Bhisma ceritakan tentang aku pada perempuan-bak-supermodel-berkulit-putih-dan-berambut-hitam-panjang ini? Lagipula, untuk apa ia menceritakan aku di depan perempuan lain? Menutupi ekspresi jengahku, aku tersenyum kecut. “Idenya luar biasa. Bukan cuma di acara Bulan Bahasa, di acara lain juga dia pernah nyumbang ide yang brilian.” Oh, ia sudah lama mengamatiku. Aku sangka ide-ide yang sempat aku tawarkan di acara departemen lainnya tidak pernah menarik perhatiannya. “Ah, biasa aja kok.” “Kalau Shella ini pinter main piano.” Sekarang bukan aku lagi yang ia puji, melainkan Shella yang tak henti-hentinya tersenyum malu dan menyelipkan rambut ke belakang telinganya. “Dia bisa nyiptain lagu sendiri. Sekarang lagi sibuk apa, Shel?” “Kan kamu tahu aku lagi belajar harpa.” “Nah, dia juga mau belajar harpa.” Lantas apa hubungannya denganku?! Persetan ia bisa bermain piano, harpa, dan bedebahlah lainnya. Bukan hanya Shella yang bisa bermain instrumen musik. Papaku seorang dosen musik di akademi musik Australia yang namanya telah melalang buana hingga daratan Amerika pula. Sebagai putrinya, aku juga bisa memainkan alat musik! Bukan hanya piano, aku bisa memainkan gitar, biola, cello, bahkan harpa pun aku pernah memainkannya saat usiaku dua belas tahun! Ingin kukatakan kelebihanku yang itu, tetapi Papa tidak mengajariku menyombongkan diri pada setiap kelebihan yang aku miliki. Meski aku bisa main musik, lantas apa? Harus kupamerkan ke seluruh dunia bahwa aku bisa membawakan segala jenis instrumen musik dan memainkan Beethoven dengan mata tertutup? Jangankan bermain musik, menulis pun aku tak pernah meneriakkannya pada dunia. Kalau aku bisa menulis, lantas apa? Dunia tidak perlu tahu aku memiliki bakat di bidang musik turunan dari Papa, atau menulis, turunan dari Bunda. Semua itu tak lepas dari hobi, bukan ajang cari perhatian orang! Mengapa aku jadi marah? “Hm... hebat,” aku memuji sekenanya. Makan malam yang katanya sebagai imbalan atas ide luar biasaku untuk acara departemen berubah menjadi makan malam garing yang hanya diisi obrolan yang tak aku pahami di antara dua orang itu. Shella bercerita padaku soal tur Eropanya memainkan piano, bahkan sempat bertemu Ludovico Einaudi di sebuah konser akbar. Aku menusuk-nusuk makananku dengan pisau tanpa minat dan menjejalkannya ke dalam mulut. “Bi, gantian kamu dong yang cerita,” Bhisma pada akhirnya menoleh ke arahku. “Cerita apa?” “Ya apa aja. Hobi kamu? Kegiatan kamu selain di kampus?” Bahuku terkedik. “Nggak ada.” Bola mataku sempat menyoroti seseorang tengah bersembunyi di balik tembok, mengintip dari balik topeng porselen mengerikannya. Sekejap aku membuang muka dan menutup sebelah wajahku. Jantungku dipaksa bekerja keras, berdebar antara khawatir dan ketakutan. Penguntit itu lagi? Apa yang ia inginkan dariku? Mengapa ia datang lagi dengan topeng porselen mengerikannya! Sisa malam ini aku habiskan dengan duduk gelisah seraya mendengarkan Shella dan Bhisma cekakak-cekikik. Apa Bhisma bersedia memberikan tumpangan padaku agar aku terhindar dari si penguntit? Mulutku terbuka ingin bertanya—biarpun harus kukerahkan keberanian memintanya mengantarku pulang. “Ya ampun, udah malam nih,” Shella memekik. “Bhisma, katanya mau anterin aku ke petshop? Kalau udah jam sebelas petshopnya tutup loh.” Kalimat yang tadinya ingin kukeluarkan masuk ke dalam empedu. Bibirku terkatup rapat menjadi satu garis tipis. “Ya udah, kita pulang aja sama-sama.” Bhisma menoleh ke arahku. “Kamu naik apa pulangnya?” “Bareng temen?” “Oh, ya udah. Kita duluan kalau gitu.” Ia beranjak berdiri dan menyentuh pundak Shella. “Sampai ketemu besok di acara puncak ya.” Meninggalkan aku di meja seorang diri, ia melambai padaku, meneruskan perbincangannya dengan Shella sepanjang jalan keluar dari restoran. Makan malam apa ini? Ingin rasanya kuberantakkan meja ini seandainya aku tak punya rasa malu. Kupandangi pantulan bayanganku pada jendela kaca restoran, bayangan seorang gadis menyedihkan yang duduk seorang diri, ditinggal pujaan hatinya bersama perempuan lain yang kini melajukan mobilnya pergi. Aku bisa mendengarkan musik menyedihkan yang dimainkan dari gesekan biola di dekatku. Prelude in E Minor milik Chopin. Menoleh ke samping kiriku, kulihat seorang pemuda berambut pirang yang mengenakan pakaian Eropa era kolonial tengah duduk memainkan biola tua dengan wajahnya yang pucat menatapku sendu. Kudengarkan saja Prelude in E Minor yang dimainkannya penuh penghayatan dalam kebisuan. Pandangan monoton aku jatuhkan menuju pemandangan di luar jendela kaca. “I shall create a new world for my self,” si pemuda pirang membuka percakapan di antara kami, mengutip kalimat Frederic Chopin, si komposer Prelude in E Minor. “Name’s William Cassavetes. And you, Miss?” Aku pandangi ia, memerhatikannya dari puncak kepala sampai ujung sepatunya. Biola tua di tangan pucatnya lebih menarik perhatianku daripada wajah Eropa tampannya. Tersenyum simpul, aku membalas perkenalan yang ia tawarkan. “Nirbita.”   *   Sampai setengah jam, aku tak kunjung mendapatkan kendaraan. Apa aku harus jalan kaki sampai ke asrama? Gila, yang ada sosok misterius bertopeng itu mengikutiku dengan leluasa dan bila sempat, bisa saja menculikku. Sampai saat ini aku tak tahu kesalahan apa yang kuperbuat hingga aku diintai macam begini. Berjalan sepanjang trotoar sekadar mencari taksi di jalan lain, aku mengusap-usap bahuku yang kedinginan. Malang benar nasibku. Dalam ekspektasiku, aku duduk di restoran tadi, berdua dengan Bhisma. Kami mulai dekat dan ia sadar bahwa aku adalah perempuan tepat yang seharusnya ia kejar. Ekspektasi yang terbangun kokoh dan megah dipikiranku harus hancur dalam sekali gempuran realita. Bahuku yang mulanya dingin terasa hangat begitu sebuah jaket ditanggalkan di sana. Bisa kutebak jaket siapa yang kini berada di pundakku dari aroma surgawi yang ia bawa. Abimanyu lagi-lagi datang tepat waktu. Senyum lembut dan hangatnya meredakan kekecewaanku. “Katanya ada urusan?” tanyaku. “Aku bisa ngerasain kegalauan kamu,” kelakarnya. Bibirku mengerucut ke depan. “Dari mana kamu bisa ngerasain itu?” Ia menggerak-gerakkan telunjuknya ke atas kepala dan berdenging pelan. “Ada gelombang yang aku tangkap. Aku kan alien.” Lantas ia terbahak. “Dasar freak.” Kami menghabiskan malam berdua, menjelajahi malam kota ini yang makin sepi sembari bercandaan dan tertawa sepanjang jalan. Kami banyak menceritakan lelucon t***l yang tak penting. Mulai dari teman sekelasku yang sangat perfeksionis hingga yang terindikasi sebagai seorang homo. Bahkan, aku tak sadar bahwa aku telah sampai di asrama setelah hampir satu jam jalan kaki. Di tengah malam begini! “Makasih ya. Kamu selalu datang tepat waktu,” kataku tulus sebelum kami berpisah. Aku kembalikan jaket miliknya. Abimanyu mengusap puncak kepalaku diikuti keberadaan senyum yang aku suka. “Lain kali kalau diajak cowok, pastiin dia datang sendirian.” “Tuh kan mulai ngeledek.” Bibirku mengerucut ke depan. “Kan cuma ngasih saran. Kasihan tahu, udah dandan cantik-cantik begini, eh dikacangin.” Aku memukul lengan Abimanyu sampai ia memekik dan terkekeh. Sebelum aku membuka pagar dan masuk, ia menyempatkan diri menjatuhi kecupan di dahiku. Hal itu sering ia lakukan tiap aku bersedih. Sesampainya aku di atas balkon asrama pun ia masih menunggu di bawah sana. Kepalanya tengadah ke arahku, lalu melambai berpamitan untuk pulang. Kiara tetiba memberondong masuk kamarku sekadar bertanya bagaimana malam yang ia anggap sebagai jalanku menuju hati sang Bhisma. Ia menunggu ceritaku seraya menahan mangkuk berisi kentang goreng yang asapnya masih mengepul. Tangannya mengibas-ngibas kepanasan, sesekali meniupnya. “Nggak ada yang menarik.” Aku menghampiri laptop dan menghidupkannya. “Nggak ada yang menarik apanya? Kamu dianter pulang dia, nggak?” Aku menggeleng, tak berminat melanjutkan obrolan soal yang tadi. Kiara terus-menerus menuntutku bercerita. “Aku nggak diantar dia, Ra! Aku jalan kaki sama Abimanyu!” Mulutnya ternganga. Tidak lagi aku pedulikan gerutuannya yang mengatakan aku bodoh karena tak meminta Bhisma mengantarku. Yang bodoh itu aku atau dia? Aku tahu diri. Juga punya harga diri. Aku hidup tak berkalang lelaki. Kalau memang aku tak diantar pulang, haruskah aku merengek manja dan memaksanya mengantarku sedangkan ia sedang bersama perempuan lain? Aku masih bisa berpikir rasional dan cukup waras memilih jalan kaki bersama seorang sahabat yang memahamiku di setiap kondisi. Sahabat! Tak mengacuhkan kuliahan Kiara, aku mengutak-atik laptop sekadar memeriksa pada akun ask.fm yang lama tak aku buka. Terdapat sekitar belasan pertanyaan yang dikirim baik dari orang-orang bernama dan dari para anon yang enggan menampakkan namanya. Satu per satu pesan itu aku balas. Jemariku berhenti ketak-ketik saat aku baca salah satu pertanyaan bernada—sok—filosofis yang tersangkut di akun ini.   Untuk apa kamu hidup? – anonim   Mataku menyipit sekadar bertanya-tanya siapa kiranya seseorang yang mengirim pertanyaan model pemikiran Jostein Gaarder dalam Dunia Sophie di akun ini? Tersenyum kecut, aku membalas pesan tersebut.   Untuk apa kamu hidup? Sebelum saya memberikan jawaban atas pertanyaan Anda, ijinkan saya bertanya pada Anda. Sudah pernah baca Dunia Sophie? Mungkin bisa mewakili jawaban saya.   Sekitar lima menit aku mendapatkan pertanyaan lain, yang membuntut dari pertanyaan anonim bernada sok filosofis tadi. Aku yakin penanya ini adalah orang yang sama.   Aku kira, jawaban seorang penulis hebat bukanlah seperti itu.   Dahiku mengernyit.   Aku kira, jawaban seorang penulis hebat bukanlah seperti itu. Lalu jawaban macam apa yang Anda harapkan? Yang bernada puitis?   Aku masih menunggu jawaban kamu dan tidak akan berhenti menanyakannya sampai kamu bisa menjawabnya.   Gila. Ia bercanda atau memang kurang kerjaan? Kututup laptop kasar dan menyusupkan jemari pada rambut ke belakang. Baru sadar, aku tidak mendengar cericit beo di kamar ini. Kucari sumber suara cericitan tadi di kasurku. Rupanya si beo sudah terlelap dengan mangkuk kosong di sebelah kepalanya dan selimut terjatuh di bawah kaki ranjang. Aku sambar gitar di sudut kamar dan melenggang menuju balkon, duduk di sofanya merasakan angin berembus menerpa rambut dan kulitku. Dinginnya seperti senjata tajam yang digoreskan pada permukaan kulit. Aku menggigil sebentar, lantas menghangatkan diri dengan memulai nada awal, menyanyikan Mad World – Gary Jules.   *****   Banyu Biru kalah main gaple lagi. Ia menggerutu mendapatkan colekan bedak yang sudah hampir menutup seluruh wajahnya seperti pisang dalam tepung. Hampir sejam mereka bermain gaple di teras basecamp tengah hari ini ditemani gitar yang dimainkan Jodi sambil menyanyi dengan suara samber. Kali ini aku absen ikut bermain, sebab banyak hal yang perlu aku kerjakan. Berhadapan dengan laptop sampai kepalaku pening dan hanya disediakan segelas es teh gratisan dari Hana. Terkutuklah dosen-dosen yang hobi menyulitkan mahasiswa. Sekarang aku perlu mengejar ketertinggalan, di samping menyelesaikan proposal skripsiku yang berkali-kali ditolak. Pak Herman, sejak aku putus dari Femi, enggan membantuku dan tak sudi lagi jadi dosen pembimbing skripsiku kelak. Bahkan ia sudah pasang tampang ngeri dengan memilin kumis melintangnya sambil memelototkan mata tiap bertemu denganku di kampus. “Aaah! Dolananjancuk! Kalah mulu!” Banyu menghempaskan kartu-kartunya serampangan di atas meja. “Main yang lain ajalah.” “Mau main gaple, UNO, uler tangga, sampai uler kadut, kamu yo tetep kalah,” Kresna menyinyir seraya merapikan kartu-kartu di atas meja dan menumpuknya lagi. Banyu mengipas-ngipaskan tangannya kepanasan. Kemejanya dibiarkan terbuka menampakkan kaus polos di dalamnya yang basah oleh keringat. Sudah memasuki musim penghujan, namun tak ada setetes air pun jatuh ke bumi. “Na! Buatin es teh satu dong.” Duduk bersebelahan dengan Durga dan Sarasvati, Hana yang mengguntingi kertas untuk membuat properti demo selanjutnya berteriak dari dalam, “Mbok kira aku ini babumu apa? Buat sendiri!” “Ya elah. Masa cuma Anarki yang dibuatin. Buat abang mana, neng?” “Buat sendiri!!!” “Haiiissshhh! Berisik, Cuk!” Aku kehilangan kesabaran. Mengerjakan tugas di basecamp memang bukan pilihan yang tepat. Kalau aku memiliki opsi lagi selain tempat ini, sudah sejak setahun lalu aku menyelesaikan tugas di tempat itu dan tak dibikin tertinggal. “Bisa nggak sih seharian doang gua bisa ngerjain tugas dengan tenang?” “Weeesssss siaga satu, siaga satu, Nala Anarki bersiap melemparkan rudal pertama,” Antareja berlagak memberikan komando dengan suara robotnya. “Udah gua bilangin, dia lagi mens.” Banyu mengusap wajahnya yang didempul bedak bayi menggunakan kemeja yang ia lepas. “Cewek gua kalau lagi mens juga begini, bawaannya ngamuk. Gua pernah dicocolin sambel Bu Sandra yang ekstra pedes cuma gara-gara salah ngambilin sepatu!” Aku simpan umpatan selanjutnya untuk mereka. Membereskan barang-barangku yang berserakan di atas meja ke dalam ransel, tak kutanggapi gelak tawa dan candaan kawan-kawan brengsekku. “Loh, loh, Nar. Marahnya ndak usah sampai ngambek kayak cewek beneran dong,” Kresna dengan aksen medok Jawanya masih menyinyir. “Aku ada jadwal ngajar, goblok.” Ransel di tangan kusandarkan di sebelah bahu. Melewati teman-teman, kudorong kepala mereka satu per satu sebelum enyah menghampiri ducati hitam yang terparkir bersebelahan dengan jeep Jodi. Jangan tanyakan di mana mobil yang baru dibelikan Papa lima bulan lalu. Mobil malang itu harus masuk bengkel kemarin lusa dengan kerusakan parah di bagian bampernya. Pasalnya, aku dan dua orang polisi terlibat kejar-kejaran seperti di film laga dengan kemenangan berada di tangan mereka. Aku tanpa sengaja menerobos lampu merah. Tanpa sengaja, sekali lagi aku ulangi. Prinsipku daripada mencoreng namaku dengan tuduhan ‘ketilang’, lebih baik menghindari kejaran polisi sebisanya. Sekencang-kencangnya! Sialnya dewi Fortuna tidak berada di pihakku. Mobilku justru menabrak tiang listrik, aku berhasil tertangkap, ditilang, dan harus menghadiri sidang. Bonus, dimarahi Maman seharian. Ia marah bukan karena aku bertingkah. Ia marah karena tak tahu harus bicara apa pada Papa bila mengetahui mobil yang ia hadiahkan aku hancurkan. “La voiture est cher, Nala (mobil itu mahal, Nala)!” “Siapa bilang mobilnya murah, Ma?” “Mon Dieu (Ya Tuhan)!” Dan ia mencari alasan tepat untuk menyalamatkan aku dari hukuman Papa. Maman tak pernah tega melihat putra-putranya mendapatkan hukuman dari Papa. Ia memiliki cara sendiri untuk menghukum kami. Salah satu contohnya, meminta kami menulis esai tujuh lembar sesuai tema yang ia berikan atau membuat puisi yang menguras ide dan tenaga untuk berpikir. Aku menghentikan laju motor begitu melihat keramaian beberapa meter di depan sana, di Jalan Tunjungan, di samping Siola. Suara hantaman benda-benda keras dan sorak-sorai hampir menulikan telinga. Para aparat berusaha menenangkan situasi ricuh di lokasi itu. Baku hantam terjadi antara aparat kepolisian dan segerombolan bocah beralmamater organisasi Mahasiswa Bersatu. Inilah demonstrasi yang kerap disebut-sebut berakhiran ricuh, tidak hanya aku yang memegang, tetapi organisasi lain pula. Aku hendak memutar setir dan berbelok mengambil arah berlawanan, namun mataku menangkap sosok gadis yang terjebak di antara kerusuhan demo, berdiri di trotoar menyodorkan nyawanya. Bodohnya, ia justru memotret sana-sini tanpa memedulikan keselamatannya. Seorang wartawan kenamaan tak akan sebodoh itu mengambil posisi untuk meliput suatu kejadian berbahaya. Baru aku memikirkan ‘bahaya’ itu di dalam kepala, aku dengar suara mengaduhnya. Sebuah batu berhasil mendarat mulus kena dahinya. Kamera di tangannya jatuh di bawah sepatunya; lensanya pecah dan meloncat berhamburan. Hampir-hampir ia kena pukulan sebatang kayu dari seseorang yang meleset. Aku segera menariknya mundur dan mendorongnya menjauhi kerusuhan. “Kameraku, kameraku mana?” Dalam keadaan seperti ini ia masih menanyakan kameranya? Otaknya bermasalah. “Heh, kamu itu g****k atau gimana sih? Udah tahu ada kerusuhan malah mager di sana nontonin.” Ia menyipitkan mata memandangku. Tangannya menekan pada dahinya yang mengucurkan darah tak henti-henti. Ini bukanlah waktu yang tepat menggoblok-goblokkan anak orang yang sedang kesakitan. “Kamu siapa?” ia makin menyengal sentimen. “Kameraku mana??” “Kamera? Kamu nanyain kamera?” nadaku naik setengah oktaf. “Aduh, kepalaku sakit.” Tangannya tiba-tiba mencengkeram kerah kemejaku. Merepotkan sekali. Daripada aku tinggalkan ia mati di jalan, aku bantu saja ia. Hitung-hitung berbuat baik di antara perbuatan burukku yang selama ini aku lakukan. Aku papah ia, sedikit kebingungan harus kuapakan anak ini. Mau aku panggilkan taksi dan meminta sopir membawanya ke rumah sakit, tapi tak ada satu pun taksi lewat—barangkali takut kena imbas kerusuhan demonstrasi. Maka, aku memintanya ikut bersamaku, duduk di belakang dan berpegangan pada apapun yang bisa menopang tubuhnya. Kepalanya disandarkan di punggungku dengan tangan melingkari pinggangku. Kalau saja ia tidak sedang celaka macam begini, sudah kulempar ia ke tepi jalanan. “Pusing,” ia masih menggumam kesakitan. “Abimanyu...” Aku simpan rangkaian kalimat untuknya nanti. Sekarang, kubawa saja ia menuju rumah sakit terdekat agar secepatnya diberi pertolongan. Menghindari penilangan polisi—lagi—karena gadis di belakangku ini tak mengenakan helm pelindung, aku mencari jalan tikus. Batinku membentak kasar memintaku memegang tangan perempuan ini agar tubuhnya tidak jatuh di jalanan. Jadinya nanti tak akan lucu. Maka, aku menahan tangannya yang sudah lemas, menggenggamnya agar tubuhnya yang terkulai tetap dapat ditopang sampai di tempat tujuan.   *   Kalau saja hati nuraniku sudah tak ada, aku tinggalkan gadis itu di sini dan mengejar waktuku yang terlalu berharga untuk dibuang. Aku diminta menunggu perempuan ini sampai keadaannya sangat membaik dan diminta mengantarnya pulang. Dikira aku ini siapa? Tahu namanya saja tidak, enak sekali menyuruhku mengantarnya pulang. Di pojok ruang rawatnya, aku duduk seperti orang t***l. Terpaksa harus kubatalkan jadwalku mengajar di Save Street Child hanya untuk menunggu seorang perempuan yang tak aku kenal sama sekali. Ia sudah sedikit membaik dengan menanggapi pertanyaan dokter dan tersenyum mengucapkan terima kasih. “Kamu, sini.” Ia menggerakkan jemarinya memintaku mendekat. Apa lagi yang ia minta? Aku melangkah malas mendekati bangkarnya tanpa peduli betapa pucat wajahnya sekarang ini dengan dahi ditempeli kasa dan plester. “Kamu yang bawa aku pergi dari sana, kan?” tanyanya. “Hm.” Aku melipat tangan angkuh. “Kamera aku mana?” The f**k? “Sama-sama.” “Oh, makasih sebelumnya udah nyelametin aku dari sana. Kalau boleh tanya, kamera aku mana, Mas?” Tahan amarahmu, Nala. Bocah model begini yang sering menguji kesabaranku. Aku bersabar untuk tak memakinya. Selain karena ia baru saja celaka, juga karena ia seorang perempuan. “Kamera kamu jatuh dan pecah di sana.” “HAH?!” Ia spontan berdiri terhuyung mendengar balasanku. “Kameraku pecah?! Kok bisa! Kenapa nggak dibawa ke sini sekalian! Itu kamera mahal banget! Kalau nggak ada kamera itu gimana saya bisa dapat penghasilan tambahan?!” Astaga. Sabar, Nala. Sabar... “Mbak, kamu ini harusnya ngucapin syukur, alhamdulillah, terima kasih. Kalau aku nggak bawa kamu pergi, kamu udah mampus di sana. Kamera lebih berharga dari nyawa, ya? Biar nanti saya belikan kalau mau.” “Ini bukan soal harga, ya. Kamera itu sangat berarti, selain harganya mahal! Sekarang saya kehilangan dokumentasi kejadian tadi dan gagal dapat uang dari media cetak! Kamu tahu nggak kerugian saya, hah? Berita yang masih panas itu laku keras kalau disodorin ke media cetak! Sekarang gimana saya bisa nyusun berita dan nyodorin ke media cetak kalau dokumentasinya nggak ada?! Ilang honornya, ilang, Mas! Itu lumayan loh!” Aku meremas tanganku gemas. “Saya melewatkan jam yang sangat penting cuma buat nolongin cewek yang nggak ada rasa terima kasihnya sama sekali. Kamu kira, saya juga nggak rugi, heh? Kalau saya nggak punya hati nurani, saya biarkan kamu di sana, dipukuli, mati di jalan! Bisa nggak sih bilang ‘makasih’?” Ia terdiam. Nah, apa yang akan kamu lakukan kalau tidak mengucapkan terima kasih padaku? Sebentar lagi ia akan memelas dan mengucapkan terima kasih, berkata menyesal telah merepotkan aku, sehingga waktuku terbuang sia-sia dan puluhan anak harus menelan kekecewaan karena aku tak datang. Alih-alih mengatakan terima kasih, bibirnya bergetar dengan air mata lulur membasahi pipinya. Suara isak tangisnya mendadak terdengar dari mulutnya. Mon Dieu, apa dosaku bisa bertemu dengan perempuan macam ini? Duduk di bangkar, ia menangis sesenggukan. “Di dalam kamera itu ada foto saya sama Papa,” bisikan lirihnya tertangkap olehku. “Saya jarang bertemu dengannya. Saya belum sempat memindahnya. Sekarang, kameranya hilang.” Ia melanjutkan isak tangisnya sambil menyeka air mata menggunakan punggung tangan. Kalau begini, yang salah siapa? Aku keluarkan sapu tangan dari saku celanaku dan menyodorkannya. Kepalanya tengadah menatapku. Disambarnya sapu tangan itu untuk mengusap air mata dan ingusnya. “Ambil aja deh.” Mana sudi aku menyimpan bekas ingus orang. Ia memandangku dengan wajah basah. Tangannya terulur meminta sambutku. “Nirbita.” Dengan enggan, aku membalas uluran tangannya sekilas. “Nala.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD