Mayapada Protesis

2960 Words
 Rapat pembahasan Bulan Bahasa berjalan khidmat. Aku dengarkan satu per satu ide yang yang disumbangkan pada para anggota sambil memain-mainkan penadan sesekali melirik Ketua HMD yang masih sama; auranya paling mencolok di ruangan ini. Aku tersenyum-senyum sendiri seperti orang sinting. Terlebih ketika ia tanpa sengaja menoleh ke arahku, spontan aku melengos dan pura-pura mengangguk mendengarkan CO seksi Acara menjelaskan rundown yang telah ia buat. Baru aku sadar kalau ide yang ditawarkan olehnya sungguh membosankan, selalu diulang setiap tahun, yang malah membuat kami, para anggota kepanitiaan acara bosan setengah mampus. Buru-buru aku mengangkat tangan kala ia melemparkan pertanyaan pada anggota kepanitiaan lain. “Nirbita.” Aku maju ke depan, melewati Ketua HMD yang tersenyum padaku. Senyum sialannya itu justru membuat aku rikuh dan tak berkutik di hadapan puluhan anggota. Sebelum memulai presentasi ideku, aku menarik napas dalam-dalam. Berpuluh-puluh pasang mata memandangku seperti hendak menghakimi. Mereka menjelma menjadi iblis-iblis penjaga neraka lengkap dengan tanduk merah dan trisula yang dikelilingi kobaran api. Aku mengkerut menjadi potongan mikroskopik yang siap diinjak sampai mati. Menelan ludah menuruni kerongkonganku yang kering, dalam hati aku berbisik untuk menenangkan diriku sendiri. Mengapa orang-orang di depanku saat ini seakan ingin menelanjangiku? Di pojok ruangan sana, tanpa terduga aku melihat Abimanyu, berdiri bersandar pada dinding dan melipat tangan. Senyum yang ia berikan menyuntikkan semangat padaku. Ini memang tak wajar karena ia tiba-tiba datang ke ruang rapat seperti seorang penguntit. Bukan, ia bukan si Ketua HMD yang duduk tepat di depanku, menunggu mulutku terbuka dan segera memberikan ide terbaikku. Ia, Abimanyu, sahabatku yang tiba-tiba datang dan pergi macam jelangkung. Namun yang pasti, ia selalu datang tepat waktu di kala aku membutuhkannya. “Jadi, aku punya konsep baru buat Bulan Bahasa kita. Tahun-tahun sebelumnya, konsep kita, sejujurnya loh ya, sangat membosankan.” Aku mondar-mandir tak peduli jadi bahan perhatian teman-temanku, termasuk Bhisma yang tak henti-hentinya mengamatiku. “Bulan Bahasa kali ini, aku mau menawarkan ide yang baru. Kita dekorasi koridor kampus dengan lilin-lilin di sepanjang jalan dan bunga kembang tujuh rupa di setiap sudut koridor—” “Eh, sori ya,” Jihan si CO seksi Acara tertawa sarkastis, mencemooh ide yang kuberikan. “Kembang tujuh rupa? Kamu kira kita mau manggil setan?”  “Biasanya Bundaku begitu kok tiap malam Jumat. Biasa aja.” Jihan memutar bola matanya. “Ini acara anak Sastra, bukan Pakar Sajen. Ngapain pakai kembang tujuh rupa?” “Ssshhh.” Bhisma memberi peringatan pada Jihan agar diam. Gadis berambut panjang sebahu itu menarik sudut bibirnya ke atas, lalu membuang muka dariku. Kudapatkan lagi waktuku untuk presentasi. Kendati bibir Jihan mencebik dan mukanya memberengut, aku teruskan kalimatku, “Memajang foto para penyair Indonesia di dinding fakultas cuma bisa merusak cat temboknya. Fotonya digantung aja sampai di lantai tiga. Di setiap tangganya nanti jangan lupa pasang lilin juga.” Sekitar lima menit aku mempresentasikan ideku, mondar-mandir, menggenggam spidol sambil menggigit penutupnya untuk menulis dan menggambar pada white board, mengimajinasikan ruangan ini menjadi koridor fakultas dengan lilin-lilin kecil, lampion bergantungan, foto-foto penyair di sepanjang tangga, dan bau bunga tujuh rupa yang semerbak, meski aku tahu dan sadar diri ini bukan ranahku—aku diletakkan di seksi dokumentasi, bukankah itu menyebalkan? Jihan sengaja tak memasukkanku ke dalam anggota seksi acara karena menganggap aku tak berpotensi. Dikira aku tak bisa memberikan kontribusi dan sumbangsih ide? Aku seorang Gemini sekaligus bergolongan darah B! Jangan sekali-kali meremehkan aku. Begitu menyelesaikan presentasiku, serentak suara tepukan bersahut-sahutan memenuhi ruang rapat, termasuk Bhisma. Kembali ke tempat dudukku, tak lagi aku melihat Abimanyu di pojok ruangan rapat. Barangkali ia sudah meninggalkan ruang rapat sebelum Bhisma mengusirnya karena lancang masuk tanpa ijin. Nanti saja aku temukan ia di tempat biasanya usai rapat berlangsung. Tak kurang dari sepuluh menit selanjutnya rapat telah dibubarkan dengan keputusan konsepku yang dipakai pada acara tahun ini. Tentu, aku pulang dengan perasaan setengah tak tenang dan setengah lega. Tatapan menusuk dendam Jihan membayangi kepulanganku. Kiranya karena aku menggeser ide konyol dan membosankannya. Bukan salahku dong orang-orang suka dengan konsepku? “Nirbita, pulang sendiri?” Suara Bhisma yang paling kuhapal mengalihkan perhatianku dari trotoar. Menoleh ke samping, sudah kudapati pemuda tinggi ini, tengah mengumbar senyum ramah untukku. “Iya.” “Mau bareng aku?” Iblis di atas pundakku menjerit mengatakan iya berkali-kali seperti seorang pemandu sorak kampungan, akan tetapi si malaikat menyentil kuping si iblis sambil memelotot. Ia lantas berbisik tepat di kupingku, mengingatkan aku bahwa Kiara menunggu kedatanganku di perpustakaan untuk membantunya menyelesaikan satu tugas yang tak kelar-kelar. Berbeda dengan aku yang seorang penikmat organisasi, ia peduli setan dan tak ingin terlibat kegiatan aktif sepertiku. “Kayaknya nggak bisa deh,” balasku lesu. “Aku ada janji ketemu temen di perpus.” “Hm... ya udah. Kalau gitu, aku duluan ya.” Ia menepuk pundakku dan melambai mendahului menuju tempat parkir mobil. Kuamati saja dirinya sampai punggungnya ditelan tembok tempat parkir di samping fakultas. Iblis di atas pundakku mencaci lagi, mengatakan aku sungguh bodoh melewatkan kesempatan lebih dekat dengan Bhisma, yang sejak mahasiswa baru sangat menarik perhatianku dengan pribadi luar biasanya. Biar kukilas balik, dimulai dari hari pertama ospek fakultas. Aku memang tak satu kelompok dengannya karena aku berada di kelompok Gatotkaca sedangkan ia berada di barisan Puntadewa, sebagai pemimpin. Aku percaya dalam diriku terdapat pemancar sinyal malaikat-malaikat yang dijatuhkan ke bumi. Sebab saat bertatap muka dengannya pertama kali, aku sudah jatuh hati, terlebih mengetahui kepribadian dan wataknya yang cerdas. Tak salah bila ia mendapatkan posisi sebagai Ketua HMD. Mahasiswi mana yang tak tergila-gila pada seorang Ketua HMD yang cerdas, pandai mengambil hati orang, dan cakap berbicara di depan umum? Lamunanku tercerabut dari kepala saat aku rasakan seseorang mencolek punggungku. Berbalik, aku sudah melihat Abimanyu menyengir menampakkan dua lesung pipinya. Setelah muncul dan menghilang dari ruang rapat, kini ia memamerkan cengiran seolah tiada memiliki kesalahan? Aku melengos, melanjutkan jalanku sedangkan ia mengikuti langkahku. “Idenya diterima, kan?” tanyanya membuka percakapan di antara kami. “Yaiyalah. Siapa sih yang bisa nolak ide seorang Nirbita Arunika?” Ia mengacak rambutku gemas. Sehari yang lalu ia menyelinap masuk entah dari mana hingga memberiku kejutan dari belakang. Kehadirannya tak pernah terendus olehku. Kerap aku mencurigainya datang dari langit atau dimensi lain, yang memungkinkannya bisa muncul dan lenyap tiba-tiba. Sahabatku inibagaikan sebelah mataku yang ikut memandang dunia dari sudutku. Bila aku terluka, ia ikut patah. Bila aku berbunga, ia ikut sumringah. Bahkan bila dibandingkan dengan Kiara, aku lebih dekat dengannya, sebab ia selalu mengekor di belakangku. Dalam senyap. Membawa serta rahasiaku ke mana pun aku bernapas. “Sejak kamu muncul, orang misterius bertopeng porselen itu nggak ngikutin lagi loh,” lanjutku, teringat sosok misterius yang sering membuntut dan mengawasiku. “Berarti kamu berutang budi banyak sama aku.” Aku mencibir. “Sekarang main perhitungan nih?” Tawanya menggelegak. Kami hampir sampai di perpustakaan saat ia berhenti tiba-tiba dan menggenggam tanganku. “Bi, aku berulang kali bilang sama kamu. Saat kamu butuh, aku akan datang. Saat kamu nggak lagi butuh, aku akan pergi.” Lama aku terdiam mendengar penuturan itu dan membawa kalimatnya merasuk ke dalam pikiranku selama beberapa menit. Mata kami bertemu cukup lama. Dan aku bagaikan melihat seluruh isi jagad raya di dalam matanya. Ia seakan berisi surga keduniawian. “Kamu bilang seperti itu seakan-akan suatu saat nanti kamu pergi.” Sebelah alisnya tertarik ke atas. “Kalau begitu, teruslah bergantung pada seseorang sepertiku.” Ia menyengir kuda. Kami tak lagi bicara dan bertemu sesampainya aku di perpustakaan, sedangkan ia berbelok melambai padaku, berpamitan pergi untuk suatu keperluan yang tak pernah kutahu. Kendati ia menggenggam seluruh rahasiaku, ia tak pernah berbagi rahasia padaku. Lantai tiga tempat biasanya mahasiswa kampus ini belajar dan membaca senyap sepi, namun tetap padat oleh pengunjung yang konsentrasi. Di sudut ruangan aku lihat rambut ikal sepunggung Kiara, tengah bertekur pada laptopnya sambil duduk tak tenang. Ketak-ketik jemarinya yang keras terdengar sampai beberapa meter di belakang. Aku sangsi penjaga perpustakaan tak mendengar suara yang sangat nyaring itu. “Woy! Jangan serius-serius kalau ngerjain tugas.” Aku mengambil tempat duduk di sebelahnya. “Aduh...” Ia mengacak-acak rambut frustrasi. “Ini maksudnya apaan sih? Nggak ngerti deh sama teori-teori kayak gini.” Aku menggeser laptopnya sekadar melihat sejauh mana ia mengerjakan tugas Filsafat kami. Mataku membulat begitu dihadapkan lembar kerjanya yang masih kosong dan diisi dengan satu judul saja. “Kamu mau mengkaji apaan sih?” Ia menggigit bawah bibirnya dan menggeleng. “Nggak tahu.” Bola mataku terputar ke atas. “Kamu yang udah khatam apa aja?” Aku membantunya mencari buku-buku teori di rak bertuliskan FILSAFAT sambil membuka-bukanya sekilas. “The Hunger Games. Udah sampai buku terakhir loh.” “Hapal jalan ceritanya, kan?” Mataku menyoroti satu buku yang aku rasa cocok untuknya. Kutarik buku tersebut, membuka halaman demi halaman dan berbalik kembali ke tempat dudukku. “Iya lah.” Buku di tanganku aku hempas di atas keyboard laptopnya. “Posmodernisme, tinggal baca dan kaji aja bukunya pakai itu. Selesai deh.” “Aku nggak ngerti pos-posan kayak gini.” Lagi-lagi ia menggerutu sembari mengacak rambutnya. Padahal baru kemarin lusa ia keluar dari salon, menghabiskan lima ratus ribu demi rambutnya yang selicin perosotan bocah TK. “Bacaaaaaa!” Bisikanku nyaris meletup jadi teriakan. Kusodorkan buku Filsafat tersebut padanya berbarengan dengan bergetarnya ponsel di sakuku. Sementara Kiara mulai membaca bukunya, aku membuka pesan yang rupanya dikirim dari nomor Bhisma.   Bhisma: Bi, nanti malam kosong?   Belum-belum aku sudah merasakan jantungku menggedor-gedor rongga dadaku.   Me: Yep. Kenapa?   Tak kurang dari lima belas detik ia membalas.   Bhisma: Mau traktir kamu makan malam buat ide cemerlang tadi   Spontan, menggigit bibir menahan diri untuk tak menjerit histeris di dalam perpustakaan ini. *****   Wartawan k*****t. Inilah mengapa aku sangat membenci wartawan. Selain tak ada kerjaan dengan memfitnah orang, berita-berita yang mereka rangkai tiada yang bermutu. Bahkan, Maman yang merupakan mantan jurnalis era Orde Baru pun sependapat denganku. Jurnalis dulu dengan sekarang sangat berbeda. Bila dulu mereka menggunakan kekuatan pena dan tinta untuk menghancurkan penindasan, malah kini digunakan sebagai senjata adu domba. Kata objektif tampaknya tak lagi mereka sandang. Objektif apanya kalau mereka bekerja tergantung di mana atasannya berpihak? Padahal kerusuhan lalu bukan diakibatkan oleh mahasiswa yang terlibat demo. Semua ini bermula dari salah seorang aparat yang menghalau kami menyuarakan protes dengan tindakan kasar dan berujung kerusuhan. Lagipula, tak ada korban berjatuhan karena aku langsung meminta kawan-kawan mengalah dan bubar. Bukan Anarki namaku kalau aku tak mampu bersikap anarkis. Kendati bukan melalui perbuatan, aku akan bertindak anarkis melalui wacana kritis. Sambil mengutak-atik blog untuk memposting tulisan seperti biasa, aku dengarkan cerocosan Femi, terus-menerus menyenggol tanganku yang bebas dari laptop. “Yang!” ia membentak. “Apa sih?” Kali ini aku memandangnya kesal. “Kamu dengerin aku ngomong nggak, sih?” Dengan kasar ia menutup laptopku untuk meminta perhatian. What the... Mulutku terbuka hendak protes, tetapi ia mendahului dengan kalimat, “Kapan kamu nikahin aku? Papa udah tanyain terus nih.” Baru saja ia bilang apa? “Nikah?” aku mengulang agak keras. Ia mengangguk-angguk, kembali menjelaskan bahwa bapaknya memintaku segera menikahinya karena ia menganggap kami sudah sangat matang untuk berumah tangga. Yang benar saja! Aku belum menyelesaikan kuliahku, belum mendapatkan pekerjaan, dan sudah dituntut menikahi anak ini? Anak yang manja dan menghabiskan waktunya dengan mematut diri di cermin? Anak yang hobi belanja barang-barang mahal? Anak yang pergi ke Amerika hanya untuk menonton konser? “Papa udah tanyain, kapan kamu ke rumah dan ngelamar aku.” Dimainkannya lagi tanganku dengan manja. Tak kusangka, seorang dosen Filsafat bisa berpikir sependek ini. Pak Herman, bapak Femi, salah satu dosen di fakultasku. Ia mengajar Filsafat Sosial dan Politik Perkotaan yang mengenalku sejak di semester satu, bahkan menjadi dosen pembimbing skripsiku pula. Saking cintanya dengan dunia Filsafat, anak-anaknya ia namai dengan berbagai teori Filsafat; Feminisme atau pendeknya Femi (yang sekarang sedang merengek-rengek minta aku nikahi), Eksistensialisme atau Sisi (untung panggilannya bukan Sial), dan yang paling bungsu (yang sialnya juga menjalin kasih dengan Sabrang, adikku) Kolonialisme, Nia! Nama macam apa yang sedang aku eja sekarang ini? “Aku masih semester tujuh loh.” “Tapi Papa pengen kamu cepat-cepat nikahin aku.” Digenggamnya tanganku, memandangku mengiba dengan bibir mencebik ke bawah. Aku anti berhubungan dengan perempuan yang hanya mampu berpikir jangka pendek. Niatku mendekati Femi hanya agar Pak Herman memudahkan urusan skripsiku, mengapa jadinya seperti ini? Padahal aku hendak memutusnya begitu skripsiku kelar tepat waktu! Aku yakin ini bukan atas kemauan Pak Herman. Mana mungkin ia meminta pacar putrinya yang belum lulus dan memiliki pekerjaan tetap melamar anaknya. Pasti akal-akalan Femi sendiri. “Femi.” Aku mengelus telapak tangan Femi yang menggenggam tanganku, menatapnya dalam dan melihat adanya harapan sekaligus keyakinan di dalam matanya. Orang lain mungkin tak tega melihat tatapan memelas sok polos gadis ini. Tapi tatapan sok polos dan memelas itu tak akan pernah berlaku padaku. “Kita putus.” Lantas kukemasi barangku ke dalam ransel dan meninggalkan Femi yang menatapku tak percaya di kafe ini seorang diri. Di belakang, aku dengar ia menangis sesenggukan. Perempuan yang selalu menuntut lelakinya memikirkan masa depan tanpa memerhatikan apa yang diinginkan lelakinya tentu bukan wanita idamanku. Bisa dibilang, aku sepertinya tak akan menemukan wanita idaman. Hampir semua wanita di dunia ini sama: matanya hanya dipenuhi duit dan angan-angan konyol. Barangkali Maman adalah wanita terakhir yang bersikap dan berpikir tak seperti perempuan di luar sana. Ada penyesalan mengapa aku tak dilahirkan sebelum Papa bertemu Maman sehingga kemungkinanku bisa bertemu wanita hebat itu dan mendapatkannya sangat besar—bukan berarti aku i***s, ini hanya perumpamaan. Tetapi, tentu bila Papa dan Maman tak dipertemukan, eksistensiku juga tidak akan pernah ada. Menikah itu sebuah komitmen yang bukan hanya mengandalkan cinta. Uang dan logika pun harus jalan. Coba bayangkan saja bila aku menikahi Femi di kemudian hari, bisa-bisa aku mati muda setiap hari mendengarkan rengekannya saat tak kuturuti keinginannya mengkoleksi tas terlangka di dunia. Aku tak akan menikahi siapapun bila ia bukan seorang perempuan yang tak hanya berangan-angan setinggi langit! “Bonjour, Nala!” Sampai di rumah aku disambut suara Maman yang merdu. Ia melepas apron dan meletakkannya di sandaran kursi, langsung menghampiriku untuk mencium pipiku. Tak seperti biasanya ia bertindak macam ini. Maman bukanlah seorang ibu yang gemar memanjakan putranya dengan ciuman di pipi. Kalau ia melakukan hal itu, artinya ada sesuatu yang membuat hatinya berbunga. “Bonjour,” aku membalas keheranan. “Kamu nggak ada kuliah? Kok sepagi ini udah balik?” Ia berbasa-basi menanyakan pertanyaan retoris, memandang pada jam dinding yang jarum pendeknya baru menunjuk angka sepuluh. “To the point aja deh, Ma.” “Jadi, gini, Sayang. Kan Maman diajak reuni sama teman-teman jurnalis zaman masih muda dulu. Kamu jangan bilang-bilang Papa ya.” Nah, kan. Benar saja ia tampak sumringah. Kawan-kawan jurnalisnya, diantaranya adalah mantan kekasihnya. Biarpun tak lagi berhubungan, Papa tidak suka Maman dekat-dekat dengan lelaki dari masa lalunya. Rasa cemburu Papa mengalahkan kecemburuan Maman—bahkan aku sangsi Tuhan hanya memberikan satu persen kecemburuan ketika menciptakan Maman. Sepanjang mereka hidup sebagai suami-istri, Maman tak pernah sekali pun mencemburui kedekatan Papa dengan perempuan lain. Sabdanya sederhana: “Kamu boleh bergaul dengan perempuan di luar sana, bahkan selingkuh juga boleh. Tapi jangan larang aku juga dong. Harus adil. Kita selingkuh barengan aja.” Sejak mendengar sabda itu, Papa mentasbihkan diri sebagai suami paling setia dan tak akan mengkhianati cinta Maman. “Iya...” “Nala emang baik deh.” Maman mencubit pipiku. “Kalau hari ini nggak ada kegiatan, bantu Maman yuk nyiapin makanan buat reuni.” Ia berlarian kecil menghampiri dapur melanjutkan kegiatan memasaknya. “Nanti kamu dapat bonus cupcake satu kotak. Ya?” Dikira aku anak kecil yang bisa disogok dengan cupcake? Aku memang bisa memasak, tapi kalau imbalannya hanya sekotak cupcake rasanya tak adil. Lebih-lebih aku sudah membantunya untuk merahasiakan reuninya. “Non.” Aku menghampiri pantri, melihat sebatang rokok yang masih menyala di atas asbak bersebelahan dengan sebuah buku bersampul warna ungu. “Terus kalau nggak mau cupcake, Nala mau dikasih apa?” Suara blender menggerus bahan-bahan bumbu dapur menepikan pikiranku sejenak. Rupanya kebiasaan buruk Maman masih berlanjut. Kalau Papa tahu, akan terjadi perang Bharatayuda jilid dua di rumah ini dan hasil kemenangan berada di tangan Maman. Alih-alih bertanya soal rokok itu, aku justru memungut buku bergambar perempuan surealis bertajuk SerpihanRindu Bunga Dandelion yang ditulis Padang Bulan. Buku ini seakan menyihirku, seperti mengemban mantra-mantra yang sanggup mencengkeram mataku untuk tak beralih dari benda ini. Menyandarkan pinggul pada pantri, kubuka halaman demi halamannya untuk menengok isinya.   Kidung Untuk Cintaku   Cintaku, suara-suara mengerikan dari bukit nun jauh di sana masih menarik kencang telingaku dan lengkingannya membelenggu kakiku  Kurasai logam dan tanah itu di lidahku, bercampur bersama ludah yang turun menyentuh empedu  Tak terkira pedihnya  Tak terhingga sakitnya  Tak terlukis pahitnya  Kini jemariku yang ringkih nan rapuh meraba dinding-dinding melumut yang membungkus kesenyapan di antara jejeritan itu  Sisa-sisa darah masih terasa manis di sudut bibirku, telah mengalir di kerongkonganku yang sempat tandus tanpa kehadiran setetes mata air  Cintaku, betapa ketakutan telah meraba hati ini  Rupanya, tanah terkutuk ini masih kupijak  Getarnya terasa hingga denyut jantung dan nadiku  Bunyi derit pintu tua, gesekan parang, lenguhan mengerikan, dan jeritan pilu merasuk di dalam ceruk telingaku  Cintaku, rupanya kita telah mati  Kita mati di tanah terkutuk ini    “Nalaaa! Kok diem?” Aku mengangkat wajahku melihat Maman mendelik sambil berkacak pinggang. Tadinya aku menginginkan imbalan agar ia mengijinkan aku ikut ekspedisi panjat tebing di Citatah bersama pemanjat lainnya—sebab Maman tak akan pernah mengijinkan pemanjatan di kawasan berbahaya seperti Citatah. “Buku ini boleh aku ambil, Ma?” “Heh?” “Ini aja bayaran tutup mulut dan bantuin nyiapin makanan buat reuni.” Kupamerkan kumpulan puisi SerpihanRindu Bunga Dandelion di depan muka Mama yang menampakkan ekspresi tak percaya. Ia tahu, aku bukanlah putranya yang dengan mudah diperintah jikalau imbalannya tidak memberatkannya. Menyelipkan senyum kecil, aku masukkan buku ini ke dalam tas dan mulai membantunya memasak di dapur tanpa memberi alasan mengapa aku tertarik mengambil buku tersebut. Kau tahu, ini kali pertamanya aku dibikin jatuh cinta dengan seseorang melalui tulisannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD