*Membaca Al-Qur'an lebih utama*
Kemala pagi ini dikejutkan dengan kedatangan salah satu anggota aparat desa yang juga menjabat sebagai kepala sekolah di madrasah diniyah awaliyah di desanya, ia yang masih mengenakan dastre langsung berlari masuk kamar untuk mengenakan hijab yang cukup panjang untuk menutupi lengannya. Untung saja daster yang ia kenakan panjang, sehingga tidak perlu repot mencari celana panjang.
"Kenapa, Mang?" tanya Kemala heran, jarang-jarang nih seorang aparat desa datang ke rumah keluarga yang terkenal ayah dan anak tukang protes. Menginta hal itu, membuat Kemala geli, ia dengan bapaknya memiliki sifat yang sama yaitu paling sering memprotes keputusan aparat desa yang ia dan bapaknya rasa sangat mengada-ngada, seperti baru-baru ini, kepala desa dengan aparat desanya memutuskan secara sepihak membuat sungai di belakang rumahnya sebagai lubuk larangan desa, yang di mana warga masyarakat tidak diperbolehkan untuk mencari ikan di sungai tersebut sampai waktu yang tidak ditentukan,dan semua itu tidak ada runding atau rapat terlebih dahulu dengan masyarakat, hal yang membuat bapaknya dengan beberapa warga lainnya protes ke kantor desa.
"Gini, kan Dewana udah gak bisa lagi ngajar di sekolah kita itu, Mala sampai kapan di kampung? kapan balek ke medan nya?"
"Kemungkinan sih bulan 6 nanti udah sibuk karena semester akhir, Mang. awak cuma bisa ngajar paling satu semester." Jawab Kemala yang sebenarnya tidak tertarik mengajar, namun mengingat jika sekolah itu akan tutup sementara hingga dapat seorang guru membuat Kemala tidak tega, yah, sekolah MDA di kampungnya tidak seperti sekolah pada umumnya, sekolah itu dulu dibangun karena adanya inisiatif warga untuk membangun sekolah dari pada anak-anak harus ke kampung sebelah yang cukup jauh sekolahnya, dan ia ikut merasakan itu semua.
"Gak papa. Yang penting satu semester ini aman, kelas tiganya juga mau ujian nasional. jadi gak mungkin ditutup. bisa kan?"
Kemala mengangguk setuju, ia juga tidak mungkin akan mengajar di sekolah itu sampai lama, karena ia sebentar lagi mendekati waktunya skripsian, yang meminta dirinya untuk fokus sampai ia bisa wisuda tepat waktu.
"Yaudah, besok kau masuk aja. Minta jadwal, absen sama kapur papan tulis"
"Iya, Mang."
"Makasih yah, kalau gitu mamang pamit dulu, assalamualaikum."
Kemala menjawab salam tersbeut lalu kembali masuk ke dalam rumah, ia melihat emaknya yang tengah mengintip dari balik tiang pilar yang ada di ruang kelaurga.
"Ngapain mamang itu?"
"Nawarin aku ngajar, jadi aku iyakan aja dari pada sekolah itu tutup."
"Yaudah gak papa, bagus lah jadi ada pengalaman ngajar kau."
Kemala hanya mengangguk lalu berjalan menuju dapur, hingga ia seakan mengingat sesuatu yang janggal sepertinya tadi ia bukan ingin ke dapur? tapi ia juga tidak ingat mau ke mana dirinya tadi. mamak Kemala yang melihat anaknya mulai bertingkah aneh segera mendatangi putrinya. ia menepuk pelan bahu Kemala lalu bertanya apa ang terjadi.
"Mal, ngapain kau bawa sendok nasi ke dapur? kan tempat nasi di sebelah tv."
Kemala mengerjapkan matanya lalu melirik centong nasi yang sedang ia genggam, lalu menggelengkan kepalanya saat tidak mengingat apa pun yang sedang ia lakukan.
"Baru juga masih mau ngajar udah stress dia, linglung," cibir emaknya lalu pergi masuk ke dalam kamar.
***
ke esokan harinya, Kemala dengan gamis merah maroon bersiap menuju sekolah yang akan menjadi tempatnya mengajar, sekolah yang letaknya hanya beberapa meter saja dari rumah itu tampak sudah di penuhi oleh anak-anak yang kisaran umurnya masih sekitar 7-10 tahun.
Kedatangannya disambut antusias oleh calon muridnya, bahkan ada yang langsung memberikan salam sebagai tanda pengenalan. Ia sebenarnya merasa geli ketika anak-anak yang biasanya memanggil ia dengan sebutan kakak malah memanggilnya dengan panggilan ibu, bahkan yang menggelikan lagi ia memiliki sepupu yang merupakan anak wawak nya sehingga seharusnya ia memanggil anak berusia tujuh tahun itu dengan panggilan kakak. Mungkin karena sudah terbiasa memanggil dirinya adik, anak yang bernama arum itu terus saja berteriak memanggil dirinya adik di depan murid lain, al hasil terjadi keributan akibat perdebatan anatara bocil itu mengenai panggilan untuknya.
"Gak soPan kau , Arum. masa manggil ibu malah adek," celetuk salah satu anak yang Kemala kenal bernama sifa.
"Yah memang dia adekku, kalau gak percaya tanya aja sama ayahku," jawab Arum yang membuat Kemala meringis seketika, terlebih ketika abang kembar dari Arum malah ikut membela adiknya, yang jelas ketiga bocah itu tidak memanggilnya ibu, melainkan adek.
"Udah duduk dulu, Kita baca doa dulu yah, Aufal baca doanya. "
Dengan semangat anak-anak itu membaca doa kuat-kuat yang mungkin suaranya bisa kedengaran sampai di lapangan dekat pegunungan itu.
"oke, Assalamualaikum semuanya, udah pada kenal ibu kan? atau ada yang belum kenal sama sekali?"
"Udah, Bu." Jawab anak-anak itu dengan serentak.
Kemala melihat kembali jadwal yang ada di buku milik teman yang sebelumnya mengajar di sekolah ini juga. Lalu matanya menatap papan tulis yang masih menggunakan kapur sebagai alat tulisnya, ia hanya bisa pasrah jika nanti dirinya akan kesulitan mencari penyetok kapur tulis yang saat ini hanya tersisa satu tokoh saja menurut dari keterangan temannya.
Selama mengajar, Kemala hanya bisa memandang miris kondisi sekolah yang jauh dari kata layak, seperti kursi dan meja yang digunakan para siswanya sangat lah tidak pantas digunakan, kondisi sekolah yang berada di sebelah kebun karet yang cukup semak membuat sekolah ini terkesan jorok dan seram. Mungkin setelah sholat istirahat dan sholat ashar nanti ia akan meminta siswa nya untuk kebersihan
Pukul 15:15 WIB, Kemala memutuskan untuk mengistirahatkan anak didiknya. Ia melihat kondisi sekolah yang lagi lagi membuat dirinya meringis, sekoah yang tampilannya seperti kandang sapi. Semua siswanya menuju mesjid guna melaksanakan sholat Ashar berjamaah, namun hal yang membuatnya kesal adalah, beberapa siswa nya bukan menuju mesjid melainkan pergi ke warung sebelah mesjid membeli jajanan. Pantas saja temannya sering mengeluh capek menghadapi anak didiknya, bahkan sampai beberapa kali menangis, ternyata begini lah modelan anak-anak yang akan ia didik.
"Aufal, Reno. gak denger ibu ngomong apa tadi di kelas?"
"Bentar, Bu. Jajan dulu." Jawab siswa yang bernama Reno dengan santai, bahkan bocah yang tengah menggenggam minuman berperasa itu duduk santai dengan sesekali meneruput minuman yang ada di tangannya.
Kemala merasa sangat takjub, di hari pertamanya mengajar sudah memiliki siswa semacam Reno yang sepertinya membuat kesabaran yang ia tumpuk terkikis dengan cepat.
"Ibu hitung sampai 3, jangan salahkan ibu kalau kelereng kalian ibu sita dan gak ibu kembalikan. Satu..."
"Dua, Bu." Jawab Aufal sambil terkikik geli bersama dengan Reno. Kemala mendesah lelah, demi apa pun ini pertama kalinya ia menemukan murid spesies dua bocah ini, sangat-sangat menguras tenaga. Padahal ia pernah mengajar di sekolah MDA di kota Medan, akan tetapi siswanya kebanyakan disiplin padahal rata-rata merupakan anak yang orang tuanya sibuk bekerja.
"Yaudah, terserah kalian. Toh yan rugi juga enggak ibu, kan? Ibu tetep dapet gaji walaupun kalian gak sholat, nanti juga yang masuk neraka kalian gak ibu." Setelah mengatakan itu, Kemala memilih melihat siswa yang lain yang sedang mengambil air wudhu, hingga tak lama ia bisa melihat kedatangan dua siswa yang tadiny aenggan untuk wudhu dengan cepat, dalam hati Kemala tersenyum puas ketika ia tidak perlu repot mngeluarkan suara dan tenaganya untuk membujuk anak-anak yang sedang dalam masa keras kepala itu.
Sholat Ashar yang seharusnya khusyuk berubah menjadi ricuh karena aksi saling dorong mendorong antar siswanya, Kemala yang memantaunya hanya bisa terdiam dengan serangkaian cara menghukum para bocah itu dengan tepat. Hingga derin ponsel miliknya yang sedari tadi sama sekali tidak ia sentuh membuatnya penasaran.
Ada sedert kalimat pesan yang dikirimkan oleh Adi si buaya sss, langsung saja Kemala yang sejak kejadian proposal itu menjadi dekat dengan Adi membalas pesan pemuda asal Lampung itu.
Buaya sss.
"La, lagi apa?"
Kemala sedikit terenyuh pasalnya untuk pertama kali Adi menanyakan demikian , mereka lebih sering saling bercarita tanpa bertanya satu sama lain.
"Lagi ngawasin anak-anak sholat."
Sembari menunggu balasan pesan dari Adi, Kemala kembali melirik anak-anak didiknya yang tampaknya semakin menjadi di rakaat shalat yang terakhir.
Buaya Amazon
"Lah anak-anak siapa?"
"Anak orang lah, maksudnya itu murid-murid," balas Kemala sembari terkekeh geli. Tak ada balasan lagi dari Adi, bahkan nomor pemuda itu sudah centang satu yang membuat Kemala yakin jika Adi sedang ada kegiatan lain. Sampai setelah Kemala kembali masuk mengajar setelah memberikan hukuman untuk semua siswanya dengan tidak diperbolehkan istirahat, Kemala belum juga menerima balasan dari Adi, hal yang membuat Kemala geram adalah ketika Adi asyik berbalas ria di grup kepenulisan, akan tetapi tidak membaca pesannya sama sekali. Dengan menahan kekesalannya, Kemala yang baru saja memubarkan anak-anak yang sedang praktek sholat langsung bergegas pulang. Namun dering ponselnya membuat ia mengurungkan niat itu dan sedikit melihat siapa yang sedang memvideo call nya.
Dan alangkah terkejutnya ia begitu melihat sederet nama Buaya sss menghiasi layar ponselnya, ia sedikit terkejut dan merasakan panik yang cukup banyak lantaran untuk pertama kalinya Adi memanggilnya dengan melakukan video call, bagaimana jika Adi langsung menjauh ketika melihat wajahnya? atau lebih parah lagi Adi malah merasa ditipu olehnya karena sering mengupload foto yang menggunakan filter.
Dengan segala keberanian yang ia punya, Kemala pada akhirnya ia mengangkat panggilan tersbeut dan hampir menjerit kaget ketika melihat pemuda berambut gondrong di atas motor tengah tersenyum kepadanya. Kemala sedikit linglung pasalnya untuk pertama kalinya ia melihat Adi yang ia kira berpenampilan dengan rambut rapi, yang ada malah rambut gondrong, tapi itu yang membuat Kemala kagum, lantaran sosok Adi yang berani tampil apa adanya,dan dari sini Kemala bisa menilai sosok Adi yang memiliki kebobrokan sama seperti dirinya.
"Udah pulang ngajar?" pertama kalinya Kemala mendengarkan suara Adi,dan yang paling mengejutkan lagi Adi bisa berbahasa jawa dengan logat yang sangat kental, sangat berbeda dengan dirinya yang bersuku jawa dan tinggal dilingkungan jawa saja tidak bisa menggunakan bahasa jawa.
"Udah, Bang. Baru aja."
Tampak Adi yang tengah bercakap-cakap dengan temannya, sedangkan Kemala memilih diam dan memantau serta meneliti Adi dari balik layar ponselnya, ia tidak menyangka akan mengenal sosok Adi si buaya grup sedekat ini, bahkan sampai video call an.
Adi yang awalnya Kemala pikir memiliki sifat bar-bar sangat berbeda dengan yang saat ini tengah berdiskusi dengannya, sosok Adi yang dewasa yang mungkin banyak anak penulis yang tidak tahu, sudah lebih dari satu jam mereka berdiskusi banyak hal. dari mulai membahas dunia kepenulisan, berghibah membahas teman mereka, dan banyak hal yang membuat Kemala lagi lagi tertawa geli sampai-sampai membuat si emak penasaran dan menanyakan siapa yang menelpon anak gadis nya di waktu yang hampir magrib ini.
"Udah mau magrib, Mala tutup dulu yah, mau sholat."
Adi mengangguk pelan. " Oke, nanti kit alanjut lagi ngegabutnya."
"Oke sip, Bang, assalamualaiku."
Panggilan video call itu terputus, menyisakan Kemala yang asyik merenung dan masih terbayang akan rambut gondrong Adi yang tadi digerai layaknya seorang model iklan sampho.
"Gila, calon laki aku ngalahin rambutku yang kayak ekor tikus, minder. Batin Kemala dengan sesekali melihat sebuah hasil tangkapan layar video call nya tadi, di sana jelas terlihat Adi yang sedang tersenyum dengan rambut tergerai semrawut.
"PAPA SAM, KOK PENULISNYA KALI INI KAYAK ANAK TEHNIK DI KAMPUS MALA?"