Bab 13 : Mood buaya dan pawang nya.

1069 Words
*Membaca Al-Qur'an lebih utama* Mas Udah, udah aku hapus. Lah? Kemala menelan ludahnya kasar ketika sederet kalimat pesan yang membuat ia menyadari jika kekasihnya itu tengah berada di ambang batas mood yang baik. Sangat jarang sekali Adi seperti ini, kecuali jika pemuda itu tengah ada masalah dengan keluarganya. "Mas, maaf. Mala becanda loh, kok yah jadi serius." Balas Kemala yang sudah ketar-ketir di tempat. Mas Iya, yaudah gak papa. Please! Kenapa Adi malah seperti cewek saja, gak papa padahal ada apa-apa, seharusnya ia dong yang kayak gitu. Kenapa jadi si buaya sss? "Mala minta maaf tau," balas Kemala dengan memberikan emoticon mata berkaca-kaca di akhir pesan. Salah satu emot andalan my ketika Adi tengah marah atau tengah menegurnya. Kemala menunggu pesan Adi dengan hati yang tidak tenang, segala praduga miliknya memenuhi otak dan sifat yang sangat tidak nyaman ia sukai dari dirinya adalah over thingking. Sifat yang terlalu berpikiran yang berlebihan. Mas Yaudah gak papa, lagian aku juga salah tadi. Akh, selalu begini. Salah satu yang paling Kemala sukai dari Adi adalah sifatnya yang sering mengalah dan tidak ingin memperpanjang permasalahan seperti ini. Sesuatu yang berbeda yang ia rasakan ketika menjalani hubungan dengan masa lalunya dulu, bukan hendak membanding, akan tetapi ia hanya sedikit mengingat kebodohan nya dulu yang jika dipikir-pikir sangat keterlaluan. "Yaudah, maaf yah mas. Love you." Oke mari kita mulai obrolan bucin seperti ini, bucin virtual yang terkadang malah membuat dirinya nyesek sendiri. Mas Iya yaudah gak papa. Lah? Serius? seperti ada yang gak beres. "Serius ini pesan aku gak dijawab yang ini?" Tanya Kemala penasaran, pasalnya ia sudah mengumpulkan keberanian penuh untuk mengetik tiga kata sakral yang baru pertama kalinya ia tuliskan untuk seorang Adi. Berbeda dengan kekasihnya itu yang sudah berulang kali mengatakan hal demikian. Mas Gimana? Enak gak dibalas? Anjir! Lah balas dendam ceritanya. Seriously? Buaya balas dendam? Kemala menggeleng kan kepalanya takjub dengan tingkah Adi yang baru pertama kali ia ketahui. Dan jujur saja memang nyesek sih ketika kita mengungkap kan kalimat cinta dan si doi malah gak membalas, kesannya kayak cinta bertepuk sebelah kaki gitu, gak kesampaian. "Maaf yah, Mas. Janji gak gitu lagi." Mas Yaudah gak papa udah jangan dibahas. Eh, udah? Ngambeknya cuma segini doang? Serius? Gak ada gitu adegan saling menyalahkan satu sama lain? Atau gak menggunakan rumus wanita gak pernah salah? Kenapa malah Adi datar-datar saja? Di luar ekspektasi semua ternyata. Akan tetapi tetap saja Kemala hanya bisa tersenyum manis membaca pesan Adi. Begitu menyadari jika Ngambeknya buaya itu beda dari yang lain, kalau kebanyakan cowok akan marah atau bahkan ngamuk, kalau Adi sendiri hanya sebatas beberapa kalimat yang langsung membuat doinya sadar atas kesalahan nya. Dan itu sering terjadi. Kemala yang selalu mencari gara-gara dan Adi yang akan terpancing memilih langsung off menenangkan diri dan muncul lagi setelah amarahnya reda. Begitu seterusnya. "Mala, kapan jadinya ke Medan?" Tanya sang emak yang tiba-tiba muncul di depan pintu kamar . "Tanggal 27 nanti aku pergi." Jawab Kemala sembari membereskan kertas-kertas tugasnya yang berserakan di lantai. "Mau ngapain sih ke Medan? Mamak belum ada uang. Gajimu udah cair itu?" Mendengar kalimat itu, kemala menghela nafasnya lelah. Selalu begitu jika dirinya yang membutuhkan biaya. "Udah kok Mak, kan aku cair gaji ngajar tanggal 18." "Yaudah pake itu dulu," ujar sang emak lalu pergi ke arah dapur. Meninggalkan Kemala yang merasa miris ketika uang yang ingin ia gunakan untuk membayar ongkos Ika yang kebetulan mau ikut ia ke Medan, harua terpakai untuk dirinya sendiri. Kalau sudah begini ia harus membongkar tabungannya sisa gaji menulis. "Gini amat dah. Pantang liat punya duit pasti ada aja yang harus dibayar." Batin Kemala. Ia menyusun buku pelajaran yang akan ia gunakan nanti, tapi begitu melihat jika sudah waktunya yang mepet dengan persiapan acara isra mi'raj, ia memilih meninggal kan buku itu dan segera mandi. *** Kemala melihat murid-murid nya yang sudah membentuk sebuah formasi barisan sempurna sesuai yang ia ajarkan, namun yang membuatnya terdiam sedari tadi adalah beberapa murid yang ikut baris asyik bercerita bahkan saling senggol menyenggol tanpa mendengarkan apa yang ia sampaikan. Dan ketika dirinya diam, beberapa murid itu malah semakin menjadi dan tidak mempedulikan tatapan tajam nya, karena mood yang sudah berantakan dari rumah, dengan cepat ia menarik murid itu mengeluarkan dari barisan. "Sifa, keluar. Jangan lagi masuk barisan." Keadaan hening, bahkan siswa lain tidak ada yang mengeluarkan suaranya. Kemala melirik Sifa yang menunduk takut. "Apa ibu bilang tadi? Suruh diem dulu kan? Kalian mau tampil seminggu lagi, masa harus koar-koar dulu mulut ibu baru kalian dengerin. Apa harus ibu main pukul, iya Sifa?" "Enggak, Bu." "Enggak, tapi dari tadi ribut terus, senggol sana senggol sini. Dah, kemarin ibu bilang apa? Yang gak serius keluar dari barisan dan gak akan tampil kan?" "Iya Bu," jawab semua murid dengan kompak. Kemala menatap anak bernama Sifa yang merupakan anak sepupunya dari keluarga mamak. "Jadi Sifa, kamu ibu keluarkan." "Gak mau." Lirih sifa dengan suara yang bergetar lalu lama-lama semakin kuat dan berakhir dengan sebuah tangisan. Bocah yang masih berusia 9 tahun itu sudah menangis dengan keras, namun bukannya di tenangkan, teman-teman nya yang lain malah kembali membantu barisan dengan rapi tanpa kemala perintah lalu bernyanyi dengan keras berusaha menyeimbangkan suara tangis Sifa. Alhasil suara nyanyian sholawat dengan auara tangis saling bersahutan membuat murid kelas tiga yang tidak termasuk di dalam barisan tertawa ngakak, begitu puka dengan Kemala yang duduk di depan pintu tepat di sebelah Sifa terkekeh geli, muridnya bisa sejahil ini ternyata, temennya menangis bukannya dihibur malah diejek.. "Udah? Udah capek nangisnya?" Tanya Kemala begitu melihat jika Sifa sudah tidak menangis keras lagi. Sifa mengangguk dengan polos. Wajahnya yang memerah karena tangis terlihat sangat menggemaskan di mata Kemala. Mood nga yang tadi anjlok sekarang sudah naik marwna melihat tingkah semua muridnya yang terkadang di luar logika. "Jadi, masih mau ikut lagi?" "Masih." Jawab sifa dengan nada sumbang. Kemala merapikan anak rambut yang keluar dari hijab milik Sifa. "Yaudah, masuk sana. Jangan ribut lagi. Yang lain juga jangan ribut, kalau ribut lagi ibu keluarkan dari barisan. Mau?" "Gak mau, Bu." Kemala malah twrasa geli mengingat kembali bagaimana tadi Adi ngambek dan berakhir dengan kalimat saling maaf-maaf an seperti lebaran. Tingkahnya hampir sama seperti Sifa, jika diibaratkan yang menjadi Sifa adalah dirinya, dan Adi berperan sebagai guru. Harua EXTRA sabar dalam menghadapi semua tingkah nya yang memang b****k dari lahir. Awal kenal doang sok malu-malu, makin ke sini makin terlihat sifat aslinya yang semua di atas normal. "Buaya sama pawang sama aja. Sama-sama mood bobrok."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD