Chapter 4

1069 Words
Dengan bergegas Ilham menghampiri Bunga yang masih tertegun takut, ia menyentuh bahu Bunga setelah sadar wanita yang sedang berjongkok tak lain adalah istrinya. “Ya Allah Mas!.” Pekik Bunga yang benar-benar kaget, ia pikir tangan besar yang menyentuh bahunya adalah tangan laki-laki tadi. “Kamu kenapa sih?!.” Balas Ilham sambil menyeritkan alisnya, kacamata yang bertengger dihidungnya sampai melorot ingin jatuh. “Mas tuh, ngagetin aku ajah!” Kesal Bunga, ia kemudian menarik Ilham keparkiran. “eh.. eh.. tunggu kita belum ijin pulang sama Ningsih dan Genta.” Tolak Ilham, ia ingin melepaskan pegangan erat Bunga diujung lengan bajunya. “Udah.. soal ijin mah besok saja, ditelepon juga bisa kok, yang penting sekarang kita keluar dulu dari sini.” Putus Bunga cepat, Ilham dan Bunga telah sama-sama di dalam mobil, Bunga terlihat mengurut dadanya tanda lega telah berhasil sampai kemobil dengan selamat, sesekali ia menengok kebelakang khas orang yang curiga akan dibuntuti orang lain. Setelahnya ia membelai lembut pipi Syena yang masih tertidur pulas. “Kamu kenapa sih?!” Ilhan tahu ada sesuatu hal yang menganjal pikiran Bunga sampai ia bertindak seperti orang yang baru saja ketahuan maling. “tadi ada bapak-bapak yang nanyain Syena, Mas” Cerita Bunga, ia masih berbisik seolah akan ada orang yang mampu mendengar pembicaraannya dari yang didalam mobil. “terus...?” Tanya Ilham tak mengerti, apa salahnya seseorang menanyakan Syena putri mereka. “kok terus sih mas! Gimana kalau dia bapak kandungnya Nena, terus mau ambil Nena, terus kita gak bolehin ketemu Nena lagi, terus Nena dibawa keluar Negeri. gak! aku gak mau sampai kejadian kayak gitu” Dengus Bunga kesal. Ilham hanya menggeleng dengan semua pemikiran Bunga, Ia tak menyangka semenjak ada Nena Bunga semakin parno saja. tak ingin menanggapi Ilham segera melajukan mobilnya keluar dari area rumah sakit, ia tak mau membuat Bunga semakin takut saja jika terlalu lama dirumah sakit. ---- Tak ada hari yang lebih mengembirakan saat Bunga bersama dengan Syena juga Ilham disampingnya, bahkan rasa bahagianya jauh lebih besar dibandingkan saat Ilham membelikannya sebuah apartemen atas namanya sendiri,, yah. Bunga memang bukan wanita yang materialistis. Ia sadar sebanyak apapun uang yang ia punya keluargalah yang paling penting baginya. Apalagi kedua orangtua Bunga dan adiknya Mawar sangat menyayangi Nena juga, mereka yang tahu Nena anak adopsi Bunga dengan jalur seharusnya merasa lega akhirnya Bunga mau mengadopsi anak. “seorang anak itu tak semestinya hanya lahir dari rahim wnaita, tapi mereka juga terlahir dari hati karena itu ibu sama sekali gak mempermasalahkan kamu mengadopsi anak, ibu tahu kamu sudah begitu berusaha, dan mungkin ini jalannya, semua orang punya jalan hidup yang berbeda nak” Nasihat Hanifah ibu kandung Bunga, Bunga hanya mampu tersenyum, apa yang dibilang ibunya begitu mengena dalam hatinya, guratan keriput dikulitnya menunjukkan betapa ia telah banyak memakan asam garam kehidupan. dan Bunga sama sekali tak ingin membantah, bahkan hanya sekedar mengatakan ia setuju dengan pemikiran ibunya. Bunga menyandarkan kepalanya ke bahu sang ibu, hanya disinilah tempat yang paling nyaman Bunga rasakan disaat betapa kerasnya hidup menerpa jiwanya sebagai seorang wanita. Tak pernah ia menyangka bahwa masih ada wanita yang rela membuang darah dagingnya sendiri, pahadal jika saja ia mempertahankan anak tersebut bukan tak mungkin anak itu akan berbakti padanya, lagipula apa semua hal harus mendapat imbalan yang setimpal ? tidak... karena masih ada Tuhan yang maha adil yang akan membalasnya, tugas manusia hanyalah taat, masalah lain baiknya serahkan semua ke yang maha kuasa. --- Sementara ditempat lain seorang wanita tengah kepayahan, sejak pagi perutnya tak enak karena mual. Bukannya anita itu tak paham karena ini memang kehamilannya yang ketiga. “mami.. mai gak papa?” Tanya laki-laki kecil bernama Cio. “gak mami cuma mual ajah.” Sahut Carmel sambil membelai lembut surai Cio, sepertinya rencananya untuk mengikat Seto berhasil, meski ia harus merasakan moment yang menyebalkan lagi bagi dirinya yaitu hamil. “hahahaa... apa kau sedang hamil?” Tanya bram yang mendengar suara muntahan Carmel. Carmel hanya berjalan tanpa berusaha sedikitpun menjawab pertanyaan Bram, ayah tirinya. Ia justru mengajak Cio masuk kekamarnya meninggalkan Bram mematung seorang diri disana. "Cih... dasar b*****h, ia hanya menginginkan aku sebagai pencetak uangnya." Gumam Carmel, tentunya setelah menidurkan Cio. Ia tak ingin anak kesayangannya mendengarkan umpatan kasar dari bibir maminya. Malam ini Seto kembali datang, ia ingin menjumpai Carmel wanita pujaannya. "Hai Seto" Sambut Bram saat membuka pintunya, Seto hanya menggaruk keningnya tak suka melihat Bram yanf membuka pintunya, laki-laki itu begitu culas. Ia bisa melakukan apapun agar dirinya bisa membeli minuman berakohol. "Sepertinya aku akan menjadi kakek lagi" Sahut Bram tanpa diminta, mata seto membola ia seakan tak percaya dengan perkataan Bram. "Selamat Carmel mengandung anakmu" Tambah Bram kemudian, Seto masih saja terdiam. Ia sendiri tak yakin anak yang dikandung Carmel murni anaknya, ia tahu betapa ganasnya Bram menjual tubuh Carmel. "Apa itu benar?!" Sahutnya berpura-pura bahagia, selama ia masih mau memanfaatkan tubuh Carmel baginya tak masalah predikat calon ayah disematkan olehnya. toh.. ia hanya seorang pengangguran yang beruntung dapat mencicipi tubuh Carmel. "Silahkan kau tanya padanya jika kau tak percaya." Ada guratan kebahagian disorot mata Bram, tapi tentunya itu bukan karena kebahagian seorang kakek yang akan mendapat cucu lagi. tepatnya itu hanya kebahagian karena misinya menjebak Seto berhasil, tapi sayang sepandai-pandainya tupai melompat ia akan jatuh juga, begitu pula dengan Bram. sepandai-pandainya ia menipu suatu hari ia akan tertipu juga. Tanpa permisi Seto masuk kekamar Carmel mengagetkan wanita itu yang maaih menggunakan lingerienya karena ia malas ganti baju, semenjak mual-mual Carmel seakan tak memperdulikan penampilannya, dan itu sering kali membuat Bram naik pitam. "Aaahhhkkk.. apa yang kamu lakukan" Pekik Carmel tak suka, ia marah karena Seto tak menjaga privasinya. "Hahahhahaa.. untuk apa marah? Aku sudah lebih dulu melihat bahkan merasakan tubuh indahmu." Sarkas Seto. nampak Carmel yang mencibik tak suka. "Tapi kau bisa membangunkan anakku" Desisnya tajam, ingin rasanya ia mendorong Seto keluar, jika saja tak ingat misi dari Bram. "Oowh.. jadi itu anakmu?" Tanyanya yang lebih terkesan mengejek. Carmel tahu laki-laki seperti Seto tak mudah ditipu. Ia hanya mengangguk membenarkan pertanyaan Seto. tiba-tiba saja Cio terbangun, sepertinya ia terganggu dengan obrolan dua orang dewasa diambang pintu. buru-buru Carmel menghampiri Cio. Ia mengambilkan segelas air putih, karena memang Cio selalu merasa haus tiap kali terbangun. melihatnya menbuat hati Seto menghangat, tidak salahkan jika ia berharap kedua orang didepannyamenjadi bagian dari keluarga kecilnya tentu saja bersama anak dalam kandungannya Carmel. sungguh bukan maslaah bagi Seto semua masa lalu Carmel. baginya lebih penting menatap masa depan daripada terus menengok kebelakang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD