Tersesat

1104 Words
Merapatkan jaketnya ke tubuh Adista berdiri di dekat halte, menunggu busway yang lewat dengan tujuan alamat rumahnya. Dia hendak berpamitan terlebih dulu dengan keluarga, sebelum Nepal benar-benar mengurungnya, dan tidak membolehkan pergi ke mana pun. Entah dosa apa yang dia perbuat? Sehingga Tuhan menghukum seberat ini, diperalat oleh Nepal Belzio yang telah mengambil sebagian hidupnya entah sampai kapan. Di dalam mobil Nepal memperhatikan Adista, dia terus mengamatinya tanpa berpaling sedikitpun. Mulai dari tatapan kosong gadis itu, hingga ekspresi yang gembira saat dia melihat busway. Percaya atau tidak Nepal tidak beranjak sebelum busway itu melaju meninggalkan halte. Kehadiran Adista tidak tahu kenapa seakan-akan menariknya untuk mengenali lebih jauh. Jauh dari lubuk hatinya Nepal yakin tidak sedang jatuh cinta, gadis itu bukan tipenya. "Jalan, Ben!" Perintah Nepal sambil menunjuk busway di depannya, dia memang sengaja mengikuti Adista diam-diam, memastikan jika gadis itu tidak kabur. Tidakkah ini aneh? Seorang Nepal Belzio ikut turun tangan menangani gadis miskin yang baru saja magang di perusahaannya, terlebih lagi mengikuti Adista sampai berhenti pada sebuah rumah. Dia tidak mengerti dengan jalan pikirannya, bukan hanya soal jas, tetapi Nepal cukup sadar jika dirinya sudah sangat berlebihan. Mengambil ponsel, Nepal mencoba untuk tidak peduli dengan gadis di depannya, yang sudah masuk ke dalam rumah. Dia melirik jam tangan, lantas meminta sopir kembali mengendarai mobil menuju jalan pulang. Setidaknya, saat ini Nepal masih sadar jika perbuatannya sudah di luar batas. Setelah hari ini dia berjanji tidak akan pernah lagi memasuki perkampungan kumuh, apalagi sampai mengekori Adista yang tidak ada keuntungan baginya. Andrew calling ... "Ya, halo." Nepal menjawab malas, dia baru saja tiba di kamarnya melepas penat. Telepon Andrew mengacaukan waktu istirahatnya. "Kau di mana?" tanya orang di seberang. "Aku baru saja tiba di apartemen, ada keperluan apa kau meneleponku?" Dengan tegas Nepal menuding, karena rasanya tumben sekali Andrew menelepon tiba-tiba. "Bisa kita bertemu malam ini? Ada hal yang penting ingin aku bicarakan padamu." Suara Andrew yang terdengar serius membuat Nepal penasaran, sahabatnya itu memang selalu memiliki rahasia besar. "Baiklah, aku tunggu di tempat biasa," tukas Nepal sebelum memutuskan sambungan telepon, lalu dia pun langsung beranjak mengambil kunci mobil yang tergeletak. Nepal mengendarai mobil sendiri, dia tidak bisa diam saja ketika Andrew sudah ingin bertemu dengannya, karena mereka yang sejalan dan memiliki satu visi misi memang akan bahu membahu. Tidak membutuhkan waktu yang lama akhirnya Nepal tiba, dia langsung berjalan menuju meja yang sudah dipilih Andrew. Dua minuman sudah ada, terhidang di meja dengan asap mengepul. Tidak lama menunggu Andrew pun datang, pria itu masih dengan jas resminya berjalan menghampiri Nepal yang tengah membalas pesan Fanza. Mantan kekasihnya yang terus menerus mengganggu, maka dari itu Nepal sangat membutuhkan seseorang supaya dia terbebas dari Fanza Dayeng. Model papan atas, yang wajahnya terpajang di sepanjang jalan raya. Berhentilah mengejarku, Fanza. "Oii, apa kabar?" Andrew menjabat tangan Nepal, lalu pria itu pun duduk dengan sopan. "Maafkan aku sudah merepotkanmu." Nepal tersenyum miring, dan dia mengangguk. "Sejak kapan kau tidak merepotkanku? Urusanmu selalu menjadi urusanku, dan itu sepertinya juga berlaku untuk sekarang." Pria itu menyengir, dengan cepat Andrew mengeluarkan selembar foto yang sudah disimpannya sejak lama, lalu memberikan pada Nepal. Untuk seperkian detik Andrew mengernyit saat melihat ekspresi Nepal yang seakan terkejut, lalu detik berikutnya dia mengambil napas dan berusaha tenang. Bagaimana tidak kaget? Foto itu adalah milik Dwi Adista. Meski wajahnya tampak sedikit lebih muda, tetapi Nepal yakin sekali jika gadis itu Adista. Dia benar-benar tidak menduga gadis sepolos Adista memiliki masalah yang besar dengan Andrew. Sekalipun Andrew belum menjelaskannya Nepal sudah tahu apa yang sahabatnya itu inginkan. "Dia magang di perusahaanmu, kan?" tanya Andrew setelah menarik kembali selembar foto yang terlampir di atas meja, lalu dia pun menyimpannya ke dalam saku. "Aku perlu akses supaya dekat dengannya, Pal." "Kau ingin membunuhnya?" Nepal langsung menebak, dia tahu pasti pekerjaan gelap yang Andrew tangani beberapa tahun lalu. Menyalakan rokok dengan pemantik, Andrew mengisapnya perlahan, lalu mengembuskannya gusar. "Ya, mungkin." Nepal menatap Andrew semakin tajam, bingung hendak menjawab apalagi selain diam, dan berpikir keras. "Kau pasti terkejut mendengarnya, aku pun juga begitu, tapi ini adalah pekerjaan. Mau tidak mau aku harus melakukannya, meski dengan cara yang paling halus. Bukankah itu suatu kebaikan? Aku berencana tidak langsung membunuhnya, karena aku tahu itu sangat menyakitkan." Andrew berkata seperti membaca koran harian, begitu lancar, dan tanpa jeda. Membuang muka, Nepal lebih memilih menatap ke arah lain daripada harus memandang wajah tanpa dosa sahabatnya itu. Beberapa kali Nepal memang terlibat ke dalam misinya, dengan mengatur strategi, bahkan mendukungnya secara tersembunyi. Tetapi sekarang Nepal merasa enggan, dia sama sekali tidak tertarik dengan rencana kotor itu, meski baginya akan sulit menolak. Cukup lama Nepal tidak memberikan jawaban, dia masih syok sekaligus bingung. "Kuharap, besok aku sudah bisa masuk dan mendapatkan tugas di perusahaanmu," kata Andrew lagi sambil menyesap kopi yang berada di hadapannya, lalu dia pun bangkit. "Kau tampak lelah, sepertinya kita harus segera pulang." Di parkiran Nepal dan Andrew berpisah, keduanya membelah jalan raya dengan mobil masing-masing, dan arah yang berlawanan. Pikiran Nepal berkecamuk, sebelumnya dia tidak pernah seperti ini, tetapi sekarang entah kenapa dirinya sangat mencemaskan Adista. Gadis lugu yang bukan siapa-siapa baginya, namun sangat sulit untuk tidak peduli. Tanpa sadar tangannya mencari kontak Adista, lalu Nepal meneleponnya setelah menghentikan mobil di pinggir jalan. Dia harus berbicara dengannya, mengenal lebih jauh sosoknya yang seperti menjadi misteri. Bagaimana bisa seorang gadis lugu mempunyai musuh? Nepal tidak bodoh untuk mengenali watak setiap orang yang ditemuinya, dia yakin Adista gadis baik-baik. "Kau di mana?" tanya Nepal begitu telepon diangkat, suaranya terdengar berat dan menggebu. "A-ku lagi mengemas pakaianku, maaf, ada keperluan apa?" Adista balik bertanya, nada suaranya yang malas bisa didengar jelas oleh Nepal. "Kupikir aku akan mulai bekerja besok pagi, dan itu sesuai kesepakatan." "Sekarang, aku mengubahnya, kau akan bekerja mulai malam ini di apartemenku. Bisakah kau ke luar? Aku menjemputmu di bawah jembatan tempat tinggal kumuh itu." Dengan tegas Nepal berkata, belum sempat Adista menjawab dia sudah memutuskan sambungan telepon sebelah pihak. Hanya menunggu kurang lebih sepuluh menit akhirnya Adista muncul dengan ransel yang bertengger di punggungnya, perlahan namun pasti gadis itu menghampiri mobil Nepal, lalu dia langsung masuk ketika pintu mobil terbuka. Dengan keheranan Adista pun duduk di samping kemudi, meski kebingungan, tetapi dia juga enggan bertanya. "Kenapa berubah pikiran?" Adista bertanya saat Nepal menatapnya lekat, meskipun dia terus berusaha menghindar. "Kau tidak perlu tahu," jawab Nepal acuh. Adista mengangguk paham, dia memang tidak perlu bertanya sesuatu yang bukan menjadi urusannya. Nepal Belzio memiliki kekuasaan yang tidak diperoleh oleh banyak orang, jika dia bisa mengatur dan memerintahkan siapa saja tanpa pandang bulu. Namun ... Tatapan Nepal kali ini berbeda, Adista bisa melihat pancaran sinar yang tulus di kedalaman matanya, dan dia seperti tersesat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD