Ancaman musuh

1077 Words
Adista berjalan gontai menuju kamar yang Nepal berikan untuknya, dia tidak tahu harus bagaimana setelah mendengarkan seluruh ancaman yang tengah menekannya supaya menerima bantuan ini semua. Sebagai gadis lemah dan tidak tahu menahu Adista hanya bisa bersedih, betapa malangnya dia hidup di kelilingi masalah. Satu yang menjadi pusat penyesalannya, Adista merasa sangat sial setelah bertemu dengan Nepal Belzio. Menutup wajahnya gusar Adista hampir akan menangis, lalu gadis itu menggeleng dan mendongak menahan air matanya yang hendak ke luar. Dia ingat pesan dan nasehat kedua orangtuanya. Untuk menghadapi setiap persoalan Dwi Adista harus tangguh. Menangis tidak membuat masalah berakhir, justru malah semakin membuatnya tersiksa. Dengan hati yang sedikit membaik Adista pun menurunkan ranselnya, lalu dia duduk di ujung ranjang. "Aku pasti bisa melewatinya," kata Adista penuh tekad, bibirnya menyunggingkan senyum lebar meski matanya berkaca-kaca. Sekali lagi Adista mengusap wajahnya kasar, mengerjapkan mata beberapa kali Adista baru sadar jika sekarang dia berada di dalam ruangan yang sangat nyaman. Tempat tidur yang empuk dengan ukuran jumbo, televisi menempel di dinding, serta lemari pakaian dan lemari hias yang terletak berdampingan. Kamar ini bukan seperti untuk pembantu, dia bahkan merasa tidak pantas berada di sini. Adista berdiri dengan gerakan memutar, dia memperhatikan sekelilingnya. Sebuah kamar bernuansa kecokelatan. Tidak jauh dari tempatnya pilar kaca jendela menarik perhatian Adista, lalu gadis itu berlari untuk melihat pemandangan luar dari lantai atas apartemen. Dia tertegun dan takjub, tetapi pada detik berikutnya Adista kembali sadar. "Tuan ..." Gadis itu berlari ke luar kamarnya, Adista menghampiri Nepal yang tengah duduk di ruangan utama dengan menghadap laptop. "Tuan, apa ini tidak berlebihan?" "Kamar yang kau berikan terlalu bagus." "Aku tidak bisa menerimanya," jeritnya lagi. Menutup laptop di depannya Nepal menoleh, kening pria itu mengernyit saat melihat Adista yang berlari-larian. Mengapa gadis itu selalu berlari? Tingkahnya yang kekanakan membuat Nepal mulai tidak nyaman. "Katakan ada apa?" Suara Nepal yang dingin terdengar mengintimidasi, sehingga Adista spontan langsung diam. "Aku sangat sibuk." Tidak langsung menjawab, Adista malah tertunduk, dan tidak berani menatap Nepal. "Adista, katakan ada apa?" Nepal menekan kalimatnya, lama-lama dia bisa emosi jika Adista tidak kunjung bersuara. Menggaruk tengkuknya gelisah Adista pun mendongak dengan perlahan, membalas tatapan Nepal yang tajam. "Anu, aku ingin pindah kamar." "Kau ingin kita tidur sekamar?" Nepal bangkit dari duduknya, mengamati perubahan wajah Adista yang spontan memerah. "Kamar di apartemen ini hanya ada dua." Sontak, Adista pun menggeleng keras. Balik arah, sepertinya Adista harus segera pergi dari hadapan Nepal, jika tidak ingin pria itu terus menggodanya. Dengan wajah yang bersemu Adista memukul pelan pipinya, lalu dia beranjak dan mulai melangkah pergi. Apakah dia sedang dipermainkan? Mengingat, betapa buruknya Nepal membuat Adista berpikir jika ancamannya hanya tipuan belaka. Seumur hidup Adista tidak pernah memiliki musuh, tetapi begitu dirinya bermasalah dengan Nepal tiba-tiba ancaman itu datang. Oh ... Mengapa semuanya terasa aneh? "Bikinkan aku kopi." Perintah Nepal menginterupsi langkah Adista, sehingga gadis itu pun berhenti. "Jangan terlalu pahit, dan jangan terlalu manis." Tanpa menoleh Adista berlalu menuju dapur, dia masuk ke ruangan lain yang baru pertama kali di tapakinya. Dengan cepat Adista menyalakan kompor, dan memasak air panas. Dapur di apartemen Nepal sangat bersih dan tertata dengan baik, bahkan saking terawatnya alat-alat masak yang tersedia sebagian besarnya masih ada label serta dibungkus plastik. Adista ingin heran, tetapi orangnya Nepal, pria itu seakan-akan memang membutuhkan asisten pribadi. Mengambil kotak yang berisikan kopi dan gula, Adista pun membuatnya sesuai dengan yang Nepal inginkan. Mulai besok Adista akan sering berada di dapur, memasak untuk Nepal, dan merawat ruangannya dengan baik. Hutang tetaplah hutang, meski Adista merasa hidupnya telah dipermainkan, tetapi dia juga tidak memiliki kekuatan untuk bebas atau melarikan diri. Hal yang bisa dilakukannya hanya mengikuti apa yang Nepal perintahkan, dan selama itu wajar Adista akan menurutinya sampai permainan berakhir. "Kopi pertama untuk Tuan Nepal Belzio yang terhormat." Adista tersenyum lebar, setelah menaruh segelas kopi dia berdiri di samping pria itu, menunggunya untuk minum. Kembali mendongak Nepal menatap tajam Adista yang kedengarannya begitu sinis, lalu dia pun berkata. "Kau bisa pergi beristirahat." "Bolehkah aku tetap di sini?" tanya Adista dengan hati-hati, sebelum nyalinya kembali menciut dia akan menggunakannya dengan sebaik mungkin. Kening Nepal mengernyit, tatapannya semakin lekat menilik wajah Adista yang tenang. "Sepertinya, kau sudah bisa menerima ini semua." "Aku tidak ingin berlarut sedih dan dalam ketakutan. Soal ancamanmu itu, sungguh, aku belum bisa sepenuhnya percaya. Bisa saja kau berniat semakin menjebakku, atau bisa jadi sebagai alat agar kita tinggal satu atap, lalu membuatku terkurung di sini." Adista berkata begitu lancar, tidak ada lagi ketakutan yang terlihat, dia seperti mengobrol dengan temannya. "Apakah dugaanku itu benar, Tuan?" Nepal tidak langsung menjawab, dia mengakhiri pekerjaannya, lalu menutup laptop yang terasa sudah panas. "Kau seharusnya berterima kasih padaku," kata Nepal seraya bangkit, lantas pergi menuju kamar meninggalkan Adista begitu saja. Menghela napas panjang Adista berusaha menahan diri agar tidak mengejar langkah Nepal, ada banyak hal yang ingin dia tanyakan, tetapi sepertinya pria itu enggan berbicara dengannya. Sikap angkuh yang mendarah daging membuatnya tidak sudi terlalu sering mengobrol dengan Adista. Mereka bagaikan langit dan bumi, wajar saja Nepal akan membatasi dirinya jika hendak berbincang oleh asistennya. Adista masih belum beranjak, dia merenung dan memikirkan banyak hal yang sulit dipecahkan. Dia pikir masalahnya akan berakhir jika mengabdikan diri pada Nepal, tetapi nyatanya tidak. Ancaman yang entah dari mana muncul, Nepal memperingatinya, bahkan memberikan tempat untuk bersembunyi. Meski di lain sisi Adista juga kebingungan dengan bantuan yang Nepal berikan. Andrew calling ... Perhatian Adista spontan teralihkan pada ponsel yang tergeletak di atas meja, benda pipih itu berdering menampilkan sebuah nama. Adista tahu itu ponsel milik Nepal. Tanpa berpikir panjang Adista pun bergerak hendak meraih ponsel tersebut, ketika dia berhasil menggenggamnya dari arah samping tiba-tiba Nepal datang, dan merebutnya paksa. "Tuan, maaf, aku hanya ingin memberikannya padamu," kata Adista merasa bersalah saat melihat wajah Nepal yang tegang. Tanpa berkata apapun Nepal balik badan, dan berlalu pergi sambil menjawab telepon. "Kenapa dia terlihat begitu marah?" Adista bertanya-tanya pada dirinya sendiri, karena wajah tegang Nepal mengingatkannya saat pertama kali mereka bertemu. Pada waktu itu, Adista menumpahkan kopi di jas mahalnya Nepal, dan wajar saja jika dia marah. Tetapi sekarang? Adista menggeleng gusar, enggan berpikir terlalu jauh, yang hanya akan membuat kepalanya pusing. Beranjak dari tempatnya Adista pun kembali ke kamarnya dengan setengah hati, besok akan menjadi hari yang panjang, maka dia harus tidur lebih awal. Membaringkan tubuh di atas ranjang yang terlalu nyaman untuknya, Adista berusaha memejamkan mata meski tidak tenang. Baru saja alam bawah sadarnya melayang wajah angkuh Nepal muncul, sontak Adista bangun dengan jantung yang berdebar kencang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD